Subscribe Us

KELABU DI HATI RINDU

Kubuka majalah yang diberikan adiku, beberapa menit yang lalu.
“Mas Aley hebat Mbak, dia sudah jadi orang terkenal sekarang.” Ujar Arini dengan wajah antusias.
Aku menelan ludah getir, hebatnya dimana ? Bagiku jalan yang di pilih Aley tidak lebih sebagai sebuah kesalahan yang fatal.
Ah...Aley kenapa harus jalan ini yang kau pilih, tidak adakah jalan lain yang bisa mewujudkan eksistensimu sebagai seorang lelaki?
Aley  hebat bagi sebagian orang yang mulai mengakui keberadaannya. Dia berhasil menjadi juara pertama  dalam kontes kecantikan Waria se Indonesia. Tak jauh beda dengan kontes-kontes lain seperti Putri Indonesia, Miss Indonesia cuma bedanya WI kurang mendapat tempat, memicu pro dan kontra. Sebagai sebuah kelainan yang bila di akui statusnya akan menimbulkan bencana, begitu kata sebagian orang. Tapi bagiku mungkin negri ini, sudah kehilangan kekamilannya. Yang membuat negri ini  semakin bobrok.
Majalah ini memuat profile Aley, dia tampak begitu cantik dengan gaun birunya. Aku tidak percaya Aley yang tampan bisa di sulap jadi Putri biru. Sepertinya Aley sangat bangga dengan kewariaannya. ‘Life is full choice’ kata dia mengakhiri obrolannya di media.
Hm...masih bisakah aku menariknya kembali ke jalan Nya, sebagaimana  jalan yang kulalui dulu bersamanya.
Aley adalah sepupu tiriku beda nenek, dulu kakeku menikah lagi dengan nenek Aley yang berdarah Prancis itu. Kami sangat dekat karena selalu bersama kemanapun. Masuk sekolah yang sama sampai waktu kuliah, cuma bedanya  saat SMU dan Kuliah tak pernah satu jurusan. Tapi kedekatan itu masih tetap ada, apalagi Aley adalah perantaraku dalam mengenal islam menjadi muslimah seperti sekarang.  Aley lebih dulu hijrah di banding aku, tapi kini dia berbalik arah meninggalkanku semenjak kejadian setahun lalu yang membuat  jiwanya terguncang hebat.
“Ririn pengecut!” teriaknya marah di hadapanku. “Kenapa dia buka identitas masa laluku pada semua orang dengan mengatakan aku anak hasil selingkuhan, ibuku sebagai perebut suami orang. Hingga aku menjadi cibiran orang lain.” Ujarnya dengan kebencian  bercampur luka yang meraja.
Aku menarik nafas berat merasakan rasa sakit yang di rasakan Aley, dan aku cuma bisa mengatakan sabar mungkin Allah sedang mengujimu.
“Sabar  Rin, sudah bertahun-tahun aku bersabar. Tapi, kesabaranku tak pernah menjelma permata. Yang ada adalah duka. Aku di caci, di maki, di hina, di anggap sampah bahkan ketika menjadi orang baikpun di anggap sebelah mata. Padahal kesalahan itu bukan miliku, tapi milik nenek dan ibuku. Tapi kenapa aku yang harus menanggungnya? Menanggungnya Rindu?”
“Iya, kenapa?” bisik hatiku perih merasakan luka  di hati Aley, padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan. Ketika dia belajar agama sungguh-sungguh masih di anggap  sebelah mata. Mungkin manusia terlalu picik, kesalahan satu generasi harus ditumpahkan pada generasi selanjutnya.
“Padahal aku sama sekali nggak pernah meminta di lahirkan dari perempuan yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Nggak sama sekali!! Tapi kenapa Rin,aku yang harus menanggung kebencian orang-orang pada Ibuku, kenapa?!”
Aku menggigit bibir sakit, dan perasaanku seperti di cabik-cabik melihat Aley terluka. Aku sangat mengerti kesabaran manusia ada batasnya.
“Apakah salah jika aku ingin jadi orang baik-baik? Apakah jadi orang baik-baik harus terlahir dari orang tua yang baik juga? Dimana ke adilan Tuhan, Rin ? Dimana? Di saat aku tersaruk dalam perih, kenapa   Dia biarkan aku tetap terpuruk? Dimana kasih sayang Nya, yang selama ini kudambakan? Dari dulu hidupku tidak pernah berubah, perih luka,derita.” Ujarnya pahit merejam ulu hatiku.
Aku hanya bisa diam dengan airmata berderai. Haruskah ku jawab inikah ujian untukmu Akhie, demakin  tegar kau menghadapinya semakin tinggi nilaimu di mata Tuhan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam surat Al-ankabut  lalu berulang kali ku ucapkan kata sabar. Sementara bila kepahitan itu menimpaku,apakah aku akan sanggup menghadapinya?
“Rindu...tolong jawab kenapa?”
Aku diam hanya air mata yang mampu menjawab pertanyaannya.
Ya Allah kenapa Ririn setega itu, mengkoyak-koyak perasaan Aley. Padahal Aley saudaranya sendiri, meskipun saudara seayah tapi kenapa dia buka aib  dirinya pada semua orang, kalau Aley adalah anak dari seorang Ibu yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Mungkin dia punya dendam tersendiri karena ibunya telah di sakiti.
Apakah  harus  kusalahkan juga Tante Audry perempuan cantik itu?
Kesalahan masalalu yang seharusnya  terkubur waktu, kenapa harus terkuak menggoreskan sembilu bagi orang yang tak pernah tahu di mana letak kesalahannya?
“Rin, kenapa kamu tetap diam? Bahkan kamu orang terdekatku yang harusnya lebih mengerti aku, tidak mampu menjawab luka yang merejam di jiwaku.”
“Aley, kamu ini ngggak salah. So, nggak usah dengar  semua asumsi orang-orang tentang kamu.  Jika kamu terus menerus menelan omongan mereka, hanya akan membuat dirimu makin hari makin hancur. Aku ingin kamu setegar dulu Ley, jangan biarkan orang-orang menginjak harga diri kita,”
“Tapi aku sudah lelah menghadapi semua ini,  Rindu.  Ketegaranku  sudah terkikis habis.  Aku benci Tuhan, karena dia terus membiarkanku kesakitan. Aku benci Mama, perempuan yang bisanya cuma merusak kebahagiaan orang lain, tak jauh beda dengan nenek. Aku juga benci dengan Papa, laki-laki yang tidak punya kesetiaan pada keluarga, tiap melihat perempuan cantik sedikit ingin saja mengambilnya untuk di jadikan Istri. Seandainya Papa lelaki yang baik, tentu dia akan setia pada keluarganya, tanpa harus menikahi Ibuku dan aku tak akan pernah menderita seperti ini!” geramnya marah.
Aku  bergidik ngeri ketika mendengar nama Tuhanpun ikut dipersalahkan.
“Istigfar Ley, hadapi semua dengan kesabaran. Saat kau terus di uji, maka ketakwaanmu semakin meninggi.”
“Sudahlah Rindu, jangan pernah nasehatiku lagi, aku lelah. Mulai detik ini aku tidak percaya lagi pada Tuhan...pada semuanya...biarkan aku memilih jalanku sendiri.”
Dan aku hanya bisa menangis ketika mendengar kata-kata terakhir Aley. Semakin hari dia semakin jauh dari Aley yang  dulu. Kabar yang paling menyakitkan ketika  mendengar dia bergaul dengan komunitas gay.
“Kenapa? Kau benci dengan jalan yang ku pilih, Rindu? Muak, jijik...aku  tak peduli kau memandangku seperti apa, tapi inilah jalan yang kupilih dan tak akan ada seorangpun yang bisa menghalangi jalanku.” Ujarnya penuh keyakinan ketika aku menanyakan kebenaran tentang kabar Aley  menjadi Gay.
Aku menangis sedih tak bisa menyadarkannya.
“Aley masih ingatkah tentang kisah kaum Shodom...?”
Aley tersenyum sinis.
“Dongeng masa lalu, pengantar tidur...kalau pun benar kenapa mereka pengikut kaum shodom yang ada saat ini, nggak dikutuk Tuhan? Mereka sudah ada dalam jumlah yang besar  Rindu, tapi toh kehidupan aku dan mereka tenang-tenang saja.”
“Astagfirullah...apakah bencana memang harus datang untuk...”
“Ya...kalau kisah itu memang benar, tentang kaum Shodom yang dikutuk Tuhan berarti kami pun akan mengalami nasib yang tak jauh beda. Buktinya fine-fine aja.”
“Aley...bertahun-tahun kita bersama dan ketika hidayah itu datang kepadamu, menerangi jiwamu dan membagikannya kepadaku...apakah kau akan melepaskannya begitu saja?”
“Pergilah Rindu, aku muak mendengar kata-katamu. Jika kau sudah tak mau menerimaku, pergilah jauh. Di matamu aku memang menjijikan! Kau terlalu suci untuk berada di dekatku.”
 Dan akupun pergi, Aley sudah memilih jalannya  meski sekuat tenaga aku mengajaknya kembali, dia malah habis-habisan membenciku. Teman-teman di Rohis menanyakan kenapa Aley berubah, aku hanya bisa menggeleng termasuk saat mama dan papa bertanya keberadaan Aley.
“Kenapa Rin, kamu kan yang paling dekat dengan Aley? Kamu pasti lebih tahu banyak tentang dia.”
“Mama  dan Papa bisa tanya  pada Aley langsung, kenapa dia lebih memilih jalan terkutuk itu.” Ujarku kesal plus masih sakit hati atas pengusiran Aley terhadapku.
“Astagfirullah, Rindu, kamu nggak boleh berbicara seperti itu.” Tegur Mama tidak suka mungkin aku menyebut jalan terkutuk yang di pilih Aley.
“Iya Rindu, dia masih tetap saudaramu yang meski di ajak pulang. Semua ini pasti ada sebabnya Aley berubah.” Papa ikut menimpali.
“Mama dan Papa bisa tanyakan pada Tante audry, Om San,  juga nenek, dan Ririn karena merekalah sumber kebencian Aley yang membuat dia berubah.”
Mama dan Papa saling pandang.
“Kenapa harus mereka?” Mama tidak mengerti.
“Karena merekalah yang membuat Aley menderita seumur hidupnya. Menanggung kesalahan yang tidak pernah dibuatnya. Tante Audry yang sudah merebut suami orang, Om San laki-laki yang tidak bisa setia pada satu keluarga, nenek Alice yang juga merebut suami orang lain, juga Ririn yang sudah membongkar identitas Aley bahwa dia adalah seorang anak hasil perselingkuhan di depan semua orang, di kampus. Itulah yang membuat  Aley menderita.
Mama dan Papa saling pandang.
“Hanya itu?” Papa seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan.
Aku mengngguk lelah.
“Rindu, kamu yang paling dekat dengan Aley, dan yang paling mengerti perasaannya. Mama pingin kamu bisa membawanya kembali pulang. Please nak, kamu sayangkan sama dia? Mama yakin kamu bisa.”
Glegh...aku menelan ludah pahit. Apakah aku harus mengemis-ngemis agar dia kembali pulang dengan mendakwahinya sepanjang jalan kenangan ,lalu aku di caci maki dengan kata- kata kasar dan di usir nya pulang?
“Lakukan Rindu, jangan biarkan Aley semakin jauh berlari dari kita. Kau bisa Nak, Papa sangat yakin.” Suara Papa penuh ketegasan membuatku tak berkutik menuruti keinginannya.
Tapi aku tak bisa janji, karena risalah hati seseorang adalah rahasia Nya.

Dan hal yang paling ku benci ketika Tante Audry menangis menghiba di hadapanku agar  aku bisa membawa Aley pulang  untuk menjadi pemuda yang saleh seperti dulu. Kenapa tidak wanita cantik ini sendiri yang melakukannya? Kemana dia, di saat Aley menjadi aktivis Islam yang tak lelah menebarkan risalahnya. Dia malah sibuk dengan gila shopingnya berkeliling Eropa, menclek di Paris, kiblat segala mode fashion dunia, sibuk memburu berlian untuk di jadikan bahan koleksinya atau tenggelam dengan bisnis butiknya yang penuh dengan orang- orang  kelas atas. Ibu yang seharusnya bangga memiliki pemuda saleh seperti Aley, jangankan untuk memotivasi menengok pun sangat  jarang, paling sesekali menanyakan kabar dan kamu butuh uang berapa?
“Tante malu Rin, punya anak seorang waria.” Ujarnya dengan air mata bercucuran.
Malu?  Bukannya Aley lebih malu memiliki Ibu yang bisanya cuma merusak rumah tangga orang lain. Berstatus sebagai  istri simpananan seorang  pejabat teras.
“Saya sudah mencobanya Tante, tapi Aley malah mencaci maki dan mengusir saya. Coba sama Tante sendiri, tante kan Ibunya.”
Air mata wanita cantik itu malah semakin deras, entah apa yang ada dalam pikirannya. Ibu yang tak pernah ada, begitu Aley menyebutnya. Karena Aley lebih suka menganggap mama dan papaku sebagai orang tuanya ketimbang Tante Audry.  Jadi wajar kalau mama, papa  lebih terpukul dan pantas bersedih ketika Aley memilih jalan yang bagi sebagian orang adalah sebuah kelainan.
“Tante dan Om San sudah kesana Rindu, menemui Aley di apartemennya, tapi dia malah mengusir Tante. Dan dia mengatakan pada Tante akan menikah dengan pacarnya minggu depan di Belanda. Tante sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan Aley, makanya Tante kesini memintamu sekali lagi untuk menyadarkannya. Tante mohon rindu, karena hanya kamu yang paling dekat dengannya.
Ah...kenapa semua orang memintaku? Padahal aku ini siapa? Bukan siapa- siapa, hanya seorang hamba yang tertatih mencari kebenaran Nya. Sementara Rasulullah sendiri tak mampu mengajak pamannya untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
“Rindu akan mencobanya lagi Tante, do’akan semoga hidayah itu kembali hinggap di hatinya.”
“Semoga berhasil Rindu, Tante sudah banyak berhutang budi kepadamu. Maaf jika Tante sering merepotkanmu.”
“Tidak apa- apa Tante, jika sudah bersangkutan dengan masalah akidah semua orang wajib untuk ikut andil menyadarkannya tak peduli perih akan menyapa di dalamnya.
                       ****
Rumah bergaya minimalis itu sudah berada di hadapanku. Ada rasa tidak enak menyelinap ruang hatiku. Ah...aku harus maju tak boleh mundur jika sudah berada disini.
“Mbak cari siapa?” tiba seorang wanita setengah baya membukakan pintu .
“Saya saudara sepupunya Aley...apa dia...” belum tuntas aku menyelesaikan kalimatku, tiba- tiba dari dalam rumah keluar sosok yang aku kenal mendorong travel bagnya, di iringi seorang lelaki tampan berdarah indo. Pikiranku semakin kacau, teringat ucapan Tante Audry jika Aley akan menikah di Belanda minggu depan. Jangan- jangan...
“‘Rindu..” Aley terlihat kaget melihatku. “Untuk apa kamu kemari?” tambahnya dengan raut wajah tidak suka melihat kedatanganku.
“Aley...” tiba-tiba lidahku kelu.
“Sudahlah Rindu, kamu jangan bermimpi aku bisa jadi bagian dari masalalumu, kecuali kamu dan semua orang yang pernah hadir dalam hidupku bisa menerimaku dengan keadaan yang sekarang.”
“Aley apa kamu tidak ingat...”
“Tentang kaum shodom yang di kutuk Tuhan, tentang dosa, Syurga juga Neraka. Sudahlah Rindu, aku bukan anak kecil lagi, yang bisa ditakuti dengan cerita-cerita semacam itu. Jika kamu muak dan jijik pergilah, tapi ingat aku bahagia dengan keadaanku yang sekarang.”
Aku menelan ludah pahit, ternyata  susah banget untuk menarik Aley kembali.
“Aku di suruh Mama, Papa dan Tante Audry untuk datang kemari.”
“Aku tak peduli.  Meski kau datang di suruh seorang Nabi,  kamu tidak akan mampu mengubah apa yang aku jalani saat ini. Tiga hari lagi aku menikah di Amesterdam, kenalkan ini calon suamiku, Wiliam.” Ujarnya sambil menunjuk lelaki tampan yang ada di sebelahnya.
“Hai, hello. My name is wiliam. Nice to meet you.” Dia menyodorkan tangannya.
Aku terdiam beku.
“Dia nggak bersalaman, honey.”
“Oh...I’m sorry.”
“Sorry   Rindu, sekarang aku harus pergi ke Bandara buat pergi ke Amesterdam.”
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, mendung  menguasai jiwaku.  Tuhan apakah nggak ada cara lain untuk mengembalikan saudaraku agar bisa kembali lagi pada Mu. Dengan perasaan perih aku berbalik pergi tanpa sempat pamit.
THE END

           

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini