Subscribe Us

[NOVEL] MERAJUT BENING CINTA # 11



           “Bu Santi!” Seorang gadis dengan jilbab lebar berlari-lari dipematang sawah menuju dirinya.
        “Ya ampun Ayu.” Santi terkejut sekaligus bahagia ketemu anak didiknya yang kini sedang kuliah semester empat disebuah PTN favorit di Jakarta. Dulu jilbab gadis itu masih biasa saja sekarang sudah lebar lengkap dengan kaos kakinya. Senang melihatnya Ayu terlihat begitu anggun.
        “Apa kabar Bu?”  Ujar Ayu sambil mencium tangan gurunya.
        “Alhamdulillah baik. Ibu pangling lho, lihat kamu makin cantik dan shaleh.”
        “Amien. Ibu lagi ngapain disini?”
        “Ibu lagi nemenin Alif nyari belalang. Tuh dia, tangan Santi menunjuk kearah Alif yang aktif menangkap belalang. Tapi...
        “ Aw.... mama...!” teriak Alif. Tubuh anak itu terperosok kedalam sawah, tubuhnya belepotan lumpur dan basah. Alif menangis meraung-raung. Santi segera berlari menolongnya.
        “Kata mama juga apa? Alif itu harus hati-hati.” Santi segera membantu Alif naik.
          “Hu...hu... belalang Alif pada lepas, Ma.”
         “Biarin, biar belalangnya pada lepas. Besok kita nangkap lagi, sekarang Alif mesti pulang.” Santi segera menuntun Alif menuju sungai membersihkan tubuh Alif yang penuh lumpur.
        “Seneng banget deh, Ayu bisa ketemu lagi sama Alif sekarang udah gede lucu lagi.”
         “Dan nakal.” tambah Santi.
         “Hm...” sebuah deheman kecil menyadarkan mereka.
         “Eh mas Haris nyusul kemari.” Tanya Ayu
          Santi menoleh dan terkejut ketika melihat wajah itu.
         “Haris kan?”
          Haris tersenyum dingin.
        ”Masih ingat juga kamu sama aku San? Oh ya, selepas dari Yoga kamu mengasingkan diri kemari. Ini anakmu kapan kamu menikah lagi?”
         Ayu terbengong.
        “Mas Haris kenal sama bu Santi?”
        Haris ternyum kecut. Kami dulu satu angkatan namun beda jurusan.” Jawab Haris singkat.
        “Jadi kamu berasal dari sini, Har?”
       “Ya, aku memang berasal dari kampung. Ibuku berdarah Sunda tapi Ayahku Jawa.”
       “Mas Haris ini kakak saya yang paling sulung bu, dia sampai sekarang masih belum menikah, katanya broken heart.”
       “Kata siapa?” Haris memelototi wajah adiknya.
        “Hehe... bercanda, buktinya masih betah jadi PTN(pemuda telat nikah).”
        Seperti slide film yang diputar ulang. Santi ingat kesungguhan Haris yang ingin melamarnya. Waktu itu masih semester tujuh tapi Santi menyuruh Haris untuk datang langsung ke orangtuanya hasilnya Haris ditolak papa, laki-laki itu cukup down juga.
         Setahu Santi ,Haris itu pemuda jenius dengan IP selalu di atas 3.5, waktu lulus pun dia mendapat nilai cum laude. Haris memang pintar sama dengan adiknya Ayu maulida.
        “Kamu sudah lama mengenal bu Santi, Yu?” Tanya Haris ketika pulang silaturahmi dari rumah gurunya.
        “Dari sejak SMU kelas dua aja, bahkan kami sangat dekat. Bu Santi itu guru Favorit Ayu. Cara ngajarnya enak dan dekat dengan semua murid, juga mempunyai wawasan yang luas. Dia juga yang membimbing Ayu soal agama dan kepenulisan.”
        “Dulu dia pernah jadi ketua keputrian rohis, aku sempat mengaguminya.” Ucap Haris jujur.
       “Terus mas Haris kecewa?”
       “Entahlah, tapi mas kecewa ketika Santi menikah dengan seorang penyanyi yang kata teman-teman dijodohkan orangtuanya.”
        “Apa penyayi?” Ayu seperti tak percaya. “Bu Santi tidak pernah bilang kalau dia telah menikah dengan seorang penyayi, dia cuma pernah bilang kalau suaminya lagi kuliah di Jerman.”
        “Ya, Yoga Rahardi Subroto.”
        “Vocal, the power lion kan?” Ujar Ayu cepat. Dia dulu sempat mengidolakan penyayi itu bahkan mengoleksi kaset-kasetnya tapi sekarang udah ngak lah. Penyayi play boy yang sering gonta-ganti pacar, lagian ngak pantas seorang muslimah mengidolakan seseorang terlalu berlebihan kecuali kagum atas proses pencapaiannya menjadi bintang tenar, masih boleh lah.
       “Betul.”
       “Ya ampun, pantesan Ayu merasa pernah melihat bu Santi di TV waktu masih bersama Yoga. Ternyata...”
       “Apakah dia sudah menikah lagi?” Tanya Haris
       “Setahu Ayu belum.”
       “ Apa mungkin anak itu hasil pernikahanya dengan Yoga, Mas lihat banyak kemiripan anak itu dengan Yoga.”
      “Bisa saja, mungkin waktu mereka cerai Yoga tidak tahu bu Santi lagi hamil.”
         Perempuan yang malang. Tapi Haris kagum dengan ketegaran Santi. Tiba-tiba dia kembali  memiliki  harapan untuk kembali  wanita itu, mungkin masih ada kesempatan. Tapi..... dia dihinggapi rasa ragu. Mungkin Ayu bisa membantunya.
        “Hayo, Ma Haris lagi ngelamunin perempuan ya?” Goda adiknya. Haris segera membuang muka tidak suka, ketahuan lagi ngelamunin seseorang.
        “Cepetan pulang ah.” ajak Haris pada adiknya nyuruh cepat-cepat jalan.
        “Yee... emang kita mau pulang kok.” Ayu cemberut.
****
         Yoga mulai lega sidang perceraiannya sudah kelar dan akhir-akhir ini dia juga tak terlalu banyak jadwal nyayi. Jadwal minggu ini kosong, minggu depan ada tour kebeberapa kota jadi ia bisa beristirahat melepas penatnya sambil menyusun langkah dan strategi kembali mendekati Santi, yang utama adalah Alif meskipun baru sekali bertemu tapi dia begitu sayang dan rindu pada bocah kecil itu. Semangatnya hidup kembali setelah sidang perceraian yang membuat seluruh jiwa dan raganya lelah tersedot memikirkan masalah itu.
         Aku telah menjadi seorang ayah. Hatinya begitu bungah tiada tara lebih dari kebahagiaanya waktu menikah dengan Rafika dulu.
         Yoga sudah membeli banyak mainan untuk Alif. Ada mobil-mobilan pakai remot, kapal-kapalan, pistol-pistolan beberapa stel baju dan makanan. Mudah-mudahan Alif senang. Yoga jadi tak sabar untuk bertemu dengan anak itu pikirannya terus membayangkan perjumpaan nanti dengan Alif.
        Bagaimana reaksi Santi? Biarlah itu soal nanti. Yoga segera membawa barang bawaanya ke bagasi mobil. Dia sudah dandan serapi mungkin, rambutnya yang gondrong diikat dengan rapi dan memakai kaca mata bening. Dia terlihat lebih intelek dan berkelas. Dadanya dag..dig..dug.. plas. Sesekali dia bersenandung riang.
        “Mas Yoga riang banget.” Ujar mbok Jum pembantunya.
       “Tentu, karena hari ini aku lagi bahagia.”
       “Bahagia apa nih?” Goda mbok jum. Hubungan antara pembantu dan majikan itu sekarang sudah milai cair tidak seperti masih ada Rafika yang seperlunya saja dan mbok Jum sudah ikut hampir tiga tahun dengan Yoga.
     Pokokya supraise, nanti juga mbok bakal dikasih tahu. Sudah dulu ya mbok, aku pergi dulu. Hati-hati dirumah. Pesan Yoga.
     Yoga sengaja pergi sendiri biar lancar, inikan termasuk masalah yang privat banget.
***
         Benar Aa, mata Ayu berbinar, mendengar penuturan  Haris tentang keinginannya segera menikah.
          Haris mengangguk
          “Ayu senang banget kalau bu Santi jadi kakak ipar Ayu, tapi apa Aa Haris bersedia menerima Alif dan mampu menjadi pigur ayah untuknya.”
           “Soal itu tidak sulit, tapi kamu tanyain soal itu padanya. Nanti kasih kabar ke Aa ya?”
           “Ok!”
            Hari ini juga Haris mau kembali lagi ke Jakarta karena masa cutinya selama tiga hari sudah habis. Ayu yang masih punya waktu libur beberapa hari terlihat enjoy aja.

            Ketika hal keinginannya dikonfirmasikan pada Rianto, sahabatnya. Rianto cukup antusias juga. 

           “Menurut ane baik juga Ris, emang antum harus secepatnya menikah apalagi usia antum sudah melebihi usia Rosulullah. Insya Allah dia baik buat dijadikan umi buat jundi-jundi antum nanti.  Eh taarufannya sudah belum, kira-kira sudah sampai mana? He..he.. bolehkan ane tahu.”  Rianto jadi berane antum kini dia sudah menikah dengan muslimah shalehah.
           “Baru rencana saya saja, To.”
           “Kalau begitu cepetan, sekalian istikhoroh dulu.” Saran Rianto di telpon.
            Saat keinginan kakaknya disampaikan Ayu pada Santi. Untuk beberapa menit Santi berpikir. Sama sekali dia belum berniat menikah lagi tapi jika ada seseorang dengan kualitas yang baik dan mau menyayangi Alif datang melamarnya, apa harus ditolak? Menikah itu adalah pilihan, apakah Alif mau menerimannya. Memang dia memerlukan figur seorang ayah, tapi ah... mendadak Santi tak rela  ada laki-laki lain menggantikan ayah kandungnya untuk Alif bukan berarti Santi mengharapkan Yoga. Hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan.
            “Bagaimana,Bu?”
             Santi merasa bingung juga dikasih pertanyaan seperti itu, sebab dituntut untuk memberi sebuah jawaban, tidak menjawab sekarang berarti membuat harapan itu tumbuh berkembang untuk menanti dan mengharap bukankah ketegasan saat ini lebih baik walaupun itu pahit.
           “Untuk saat ini ibu belum berniat menikah lagi.”  Jawaban itu untuk sesaat membuat Ayu kecewa tapi dia sadar semuanya tak bisa dipaksakan.
          “Tidak apa-apa kalau ibu tidak siap, mungkin suatu saat jika hati ibu sudah siap, bisa dibicarakan lagi. Tuntas Ayu mengakhiri kata-katanya.
****
           Yoga menghentikan mobilnya dan segera keluar dan memanggil seorang bapak yang kebetulan pulang dari sawah.
          “Maaf ya pak, ini kampung simpang bungur bukan?”
           Bapak intu mengeryitkan keningnya.
          “Wah disini ngak ada nama alamat itu, Nak. Saya kurang hapal.”
           “Memangnya ini nama kecamatan apa?”
           “Disini waluran, ujang mau kemana?”
            “Jampangkulon.”
            “Oh... masih jauh dari sini.”
            “Makasih pak.” Yoga kembali naik kemobilnya.
             Setelah tanya sana-sini akhirnya sampai juga. Yoga menghentikan mobinya dipinggir lapangan bola. Segerombolan anak kecil sedang asyik bermain bola tak peduli dengan keringat yang mengucur dan baju yang kotor karena debu tanah. Yoga memperhatikan mereka, tiba-tiba pandangannya tertuju pada anak kecil yang bermata bundar dia terjatuh terdorong sama teman-temannya yang sibuk menendang bola, anak itu kembali bangkit dan berlari mengejar bola.
            Betapa riangnya anak-anak yang tinggal dikampung, berbaur tanpa kungkungan, beda sekali dengan anak-anak yang ada dikota mereka mungkin tak akan mengenal galaksin, main bantengan, kucing-kucingan dan sederetan permainan lainnya yang membuat masa kecil mereka penuh warna.
            Bug.. sebuah bola mendarat dipantatnya. Hup.. Yoga segera mengambil bola itu. Anak-anak itu serentak berhenti dan wajah polos mereka terlihat ketakutan.
           “Alif ayo kamu yang ambil karena kamu yang nendang. Suruh teman-temannya ramai dan kamu harus minta maaf.
            Alif memainkan rambut ikalnya dan berlari kearah Yoga. “Maaf ya, Om. Alif ngak sengaja bolehkan Alif ambil bolanya?
           “Boleh.”  Yoga berjongkok dan memandang wajah didepannya dengan penuh kerinduan. Pasti Santi sudah mendidiknya dengan baik, ingin rasanya Yoga segera memeluknya.
          “Alif tahu ngak, Om datang kesini sengaja mau nemuin Alif.”
          “Memangnya Om siapa?” Tanya Alif penasaran.
          “Kita kan pernah ketemuan waktu Alif ke Jakarta.”
           Anak itu tampak berpikir.
          “Waktu Alif diajak mama beli buku”. Jawab anak itu antusias.
          “Betul.” Yoga senang dengan kepintaran Alif.  “Alif mau ngak nganter Om ke rumah Alif?”
          “Mau.” Jawab Alif.
           Yoga segera mengeluarkan oleh-oleh yang dibelinya untuk Alif, wajah anak itu kelihatan sumigrah.
           Paman Hendra terkejut ketika Alif datang dibarengi lelaki dewasa. Rasa-rasanya dia pernah melihat laki-laki yang datang. MasyaAllah bukannya itu Yoga, untuk apa dia datang kemari tapi paman Hendra berusaha menyambut tamunya dengan ramah. Alif sudah mulai lekat dengan Yoga, tentu saja karena dia ayahnya bukankah naluri seorang anak lebih tajam jika dalam tubuhnya ada darah ayahnya yang mengalir.
           Santi paling shock dengan kedatangan Yoga tanpa diundang. Dia tahu laki-laki itu telah cerai dari istrinya dan dia juga tahu dengan semua yang terjadi dengan laki-laki itu, bukankah media ramai membicarakannya. Tapi apa maksud dia datang kemari? Mungkin dia tahu kalau dari pernikahannya dengan Santi yang sebentar menghasilkan keturunan. Bu Subroto pasti membicarakannya.
           “Untuk apa kamu datang kemari?” Tanya Santi dengan sikap dingin.
            “Aku ingin nengok anakku.”
            Santi tersenyum sinis.
           “Dia itu anakku dan aku yang membesarkannya jadi aku yang lebih berhak memilikinya seutuhnya tanpa campur tangan kamu.”
           “Tapi dalam tubuh Alif ada darahku juga.”
           “Kamu hanya menitipkan gen ditubuhnya, sedang aku yang berperan lebih besar mengurusnya.”
           “Santi...!”
           “Aku tidak mau Alif punya ayah seperti kamu. Aku tak mau dia teracuni duniamu. Jadi biarlah dia tumbuh disini, kamu urusi saja duniamu.
           Kata-kata Santi menohok jiwanya.
           “Apakah kamu tega mau memisahkan seorang ayah dengan darah dagingnya sendiri.”  Suara Yoga basah, matanya berkabut.
          “Aku hanya tidak ingin Alif punya sikap kasar seperti kamu.”
           Kata-kata Santi mengores luka dihati Yoga. Ternyata Santi belum bisa memaafkannya. Santi segera berlalu menuju kamarnya. Dia benar-benar kesal, sedih, kecewa membaur jadi satu. Dia juga manusia yang punya sisi implusif dikala hatinya sedang terenyuh.
         “Jangan sekasar itu bersikap sama Yoga, San. Dia datang kesini wajarkan, karena Alif anaknya. Harusnya kamu bahagia.” nasihat Bibi Maryam lembut.
          Santi diam tak membantah, bibi tidak tahu suasana hatinya saat ini. Kenangan bersama Yoga bermunculan kembali. Kesabaran, kesetiaan hanya dibalas dusta. Dia berusaha untuk menjadi istri yang baik tapi Yoga membalasnya dengan kekasaran, cacian dan bilang tidak pernah mencintainya sedikitpun. Lalu sekarang datang dengan alasan ingi bertemu Alif anak yang tak pernah diketahuiya sekian lama. Benar-benar memuakan.
           Dia tak sempurna seperti kata orang-orang buktinya ia juga punya rasa sakit, benci karena karena ia bukan orang yang selalu tegar dihempas badai. Setelah dia berusaha melupakan Yoga hampir empat tahun lebih, kini laki-laki itu datang dengan lebih matang. Ada sisi tidak rela kalau Alif punya ayah seperti Yoga yang pernah membuat hatinya terluka, tapi menjauhkan Alif dari Yoga juga tidak adil.
          Santi hanya bisa menangis dikamarnya, sedangkan Alif ramai berceloteh dengan Yoga yang dianggap sebagai Omnya. Anak itu kelihatan begitu gembira mempunyai barang mainan yang dikasih Yoga. Yoga pun tak kalah bahagia bisa sedekat ini dengan Alif, naluri kebapakannya tumbuh setelah sekian lama menanti dari perkawinannya dengan Rafika.
****
           Santi bersikap cuek dengan kehadiran Yoga dirumah pamannya, dia berusaha tak peduli dan tak ambil pusing. Dia malah menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan positif di sekolah, mengisi pengajian, dan fokus menulis. Yoga perhatiannya  pada Alif sangat besar itu bisa dirasakan oleh Santi, mungkin saja dia ingin mengambil hatiku. Sinis hatinya yang kegeeran.
          Ternyata praduganya tak salah, ketika bibinya mengajak berbicara pada Santi.
         “Bibi merasa senang, Alif bisa sedekat itu pada Yoga, San... dan...”
          “Dan apa, Bi?” Kejar Santi.
          “Yoga menyuruh Bibi menanyakan pada kamu, apakah kamu bersedia kembali padanya.?”
           Santi tersenyum dingin. “ Jangan pernah bermimpi!”
          “Pikirkan Alif dong, San. Kamu jangan egois memikirkan diri sendiri. Bibi yakin Yoga bisa menjadi suami yang baik dan dia sekarang sudah banyak berubah.”
          “Aku pernah merasakan hidup bersamanya Bi, sakit.” Suara Santi bergetar.
          “Kamu tidak sayang Alif?”
         “Kenapa bibi tanya itu? Sebagai ibunya tentu aku menyayanginya, namun rasa sayang itu tak harus diartikan aku bersedia kembali pada Yoga.”
         “Baiklah itu terserah kamu, segalanya tak bisa dipaksakan apalagi soal hati.”
         “Syukurlah kalau Bibi mengerti.” Tegas Santi.
          Paman Hendra yang dulu selalu membelanya kini malah menyuruh Santi kembali pada Yoga demi Alif. Santi tidak mengerti kok paman Hendra dan bibi Maryam mudah sekali menerima kebaikan Yoga yang baru dikenalnya selama beberapa hari. Punya daya tarik apa laki-laki itu, sehingga bisa meluluhkan hati paman dan bibinya.
          Sedang Yoga yang jadi pusat pembicaraan lagi jalan-jalan bersama Alif keliling desa.
         “Alif pengen punya ayah nggak?” Tanya Yoga.
         “Pingin banget,Om.”  jawab anak itu polos dengan pikiran menerawang.
         “Bagaimana kalau Om saja yang jadi ayahnya?”
         “Alif sih mau, tapi Mama pasti marah karena kata Mama, Om Yoga itu jahat!”
         Jahat...! Yoga tercekat. Santi bilang seperti itu pada anak sekecil Alif. Yoga menggeleng-geleng tak percaya, tapi mana mungkin berbohong anak seusia Alif.
         “Dan kata Mama, Alif juga punya ayah tapi sekarang lagi sekolah diluar negri. Alif sebenarnya kangen banget pengen ketemu Papa. Kata Mama, luar negri itu jauh dan harus naik kapal. Kalau Alif pengen kesana harus rajin nabung, celengan Alif udah mau penuh.” Celoteh anak itu menyusup haru dihati Yoga.
         “Mungkin Alif bisa pergi keluar negri kan Om? Kalau tabungan Alif sudah penuh.” Ujar Alif polos membuat mata Yoga berkaca-kaca.
          “Om bisa kan?” tanya Alif lagi.
          “Bisa... bisa...”   jawab Yoga cepat sambil tersenyum lebar berusaha menutupi rasa sedihnya.
          “Lho, Om Yoga kok nangis?”
          “Kata siapa?” Yoga segera menghapus air matanya.
          “Om jangan bohong kalau Om nangis. Bohong itu dosa lho, itu mata om basah.”
           Hm... Yoga kehilangan kata-kata.
          “Kata mama laki-laki itu ngak boleh cengeng, Alif aja masih kecil jarang nangis”.
         “Habis om sedih...”
        “Lho kenapa harus sedih, kan ada Alif.”
       “Maksud Om itu mau bilang bahagia bisa bersama Alif.”
       “Bener ya, Om?”
        Yoga mengangguk.
       “Alif juga bahagia bisa ketemu Om Yoga yang baik, Alif juga sayang sama Om.”
       Yoga makin terenyuh, dipeluknya Alif dengan penuh rasa sayang.
****
        “Santi, aku ingin bicara sebentar sama kamu?” Cegat Yoga.
        “Untuk apa?” terdengar dingin suara itu.
         “Soal Alif.”
         “Rasanya tidak ada yang perlu untuk di persoalkan.”
         “Aku mohon banget.” ujar Yoga memelas.
         “Baiklah kamu mau bicara apa?” Suara Santi masih dingin
         “Aku ingin Alif tahu kalau aku adalah ayahnya. Kamu tidak baik berteka-teki dengan anak sekecil itu. Sudah saatnya dia tahu jati diriku yang sebenarnya.”
        “Aku rasa belum saatnya, dia terlalu dini untuk mengerti persoalan kita.”
        Yoga menarik nafas putus asa.
       ” Jadi kamu ingin menyembunyikan sampai dia dewasa dan kamu sengaja ingin merampas masa kecilnya tanpa kasih sayang aku.”
       “Itu hak aku, lagian Alif tak merasa kekurangan kasih sayang karena paman hendra sudah cukup jadi figur ayah untuknya.”
       Kamu banyak berubah. Kamu yang jelas-jelas mengerti agama tapi bersikap seperti itu. Sampai kapan kamu mau membohongi Alif?”  Tatap Yoga tajam.
      “Cukup! Kamu tak punya hak untuk menghakimi aku.” Santi bangkit.
      “Kalau begitu biar saja aku yang menjelaskannya pada Alif.”
      Santi tak peduli dengan kata-kata terakhir Yoga.
         Hari berikutnya Santi tak membiarkan Alif bersama Yoga. Sudah cukup ke bersamaan Alif dengan ayahnya. Santi membawa Alif ke sekolahnya, tentu saja Yoga merasa kecewa dengan sikap Santi seperti itu, tapi dia tak bisa apa-apa.
        Kesal juga diperlakukan seperti itu. Akhirnya dia pulang ke Jakarta, lagian masa senggangnya sudah habis dan dia akan disibukan oleh tugasnya sebagai penyayi.
****

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini