Subscribe Us

[NOVEL] MERAJUT BENING CINTA # 13



    

           Alif mulai rewel menanyakan Yoga, setiap saat yang ditanyakan adalah Yoga sampai Santi sendiri kewalahan. Ikatan ayah dan anak sudah terbangun begitu kuat dan Santi berusaha merampasnya.
          Maafkan mama sayang. Desisnya sambil membelai Alif yang tertidur pulas karena kecapekan menangis gara-gara Santi menghancurkan mobil remot kesanyangann Alif  pemberian Yoga. Karena dia merasa kesal dengan anak itu yang mulai susah diatur. Bibi maryam memarahi Santi.
        Mama memang kejam, tapi percayalah sebenarnya mama sayang sama kamu hanya mama belum siap menerima papamu membaur dalam keluarga kita dan ingin memilikimu seutuhnya. Santi mulai terisak-isak sendiri.
       “Yoga itu baik, San. Penyayang, ibadahnya juga mulai rajin karena dia ingin benar-benar berubah. Bahkan kalu kamu mau kembali padanya dia bersedia meninggalkan dunianya dan memilih menjadi orang biasa untuk mendampingimu dan membesarkan Alif disini.” Ujar bibi maryam kemarin.
        “Benarkah?” Tapi rasanya tidak adil kalau Yoga mengorbankan dunia yang telah dijalani dan disenaginya hanya demi dirinya.
        “Dia sudah menyesali perbuatan kasarnya dulu pada kamu. Saat itu dia menerima kamu dengan terpaksa masih ingin bebas dan segera mewujudkan impiannya. Dia menawarkan pernikahan kembali untuk menebus dosa masa lalunya dan bersama membesarkan Alif.”
         Santi menggigit bibir perih. Bayangan saat komputernya dihancurkan, kepalanya di jedugkan ke dinding terus membayanginya. Saat itu dia masih bisa sabar dan sudah memberikan Yoga kesempata berubah, tapi Yoga semakin berada diatas angin, tidak menghargai pernikahannya. Gonta-ganti pacar, lantas... ah... sudahlah. Santi berusaha menghalau bayangan itu.
          “Alif itu penyemangat hidupku, darah dagingku. Aku akan melakukan apa saja untuknya, asal kamu mengijinkan agar aku tetap bersamanya.” Ujar Yoga lewat telpon selulernya sebelum dia kembali ke Jakarta karena Santi saat itu sedang berda di sekolah bersama Alif. Santi tidak berkata apa-apa dia segera menutupnya.
          Santi berusaha untuk menahan isaknya supaya tak terdengar keluar kamar sambil terus menatap wajah Alif yang tertidur pulas. Sebagai seorang ibu ingin sekali memberikan kebahagiaan terindah untuk Alif. Berkata jujur kalau Om Yoga adalah ayahnya tapi rasa sakit membuat ia bertahan.
****
          Haris kecewa juga ketika mendengar penuturan adiknya, jika Santi belum siap menikah lagi.
         Apakah karena wanita itu masih menanti Yoga. Apalagi dia tahu sekarang Yoga sudah duda dan dia juga tahu laki-laki itu mulai berubah seperti yang diperbincangkan media.
         “Sudahlah Ris, Santi mungkin masih trauma atau dia iangin membesarkan anaknya tanpa campur tangan orang lain. Dan kesiapan seseorang itu tak bisa dipaksakan.” Ujar Rianto, dia sudah tahu Santi punya anak dari Yoga. Haris yang bilang tapi media belum tahu.
         “Aku nggak apa-apa kok, mungkin aku tak berjodoh dengannya. Tapi kalau ngomongin pernikahan aku selalu maju mundur dibuatnya.”
         “Kenapa? Usia antum sudah mendekati kepala tiga, soal ekonami tak kekurangan, mental rasanya sudah siap jadi pemimpin. Ayolah Ris, tunggu apalagi. Ane juga mau nyariin muslimah buat antum. Kebaikan jangan ditunda-tunda, menggenapkan separuh agama lho.” Rianto menyemangati.
        “Susah mempertahankan pernikahan diabad ini.”
        “Lho kok antum jadi terpengaruh perkawinan para artis yang kawin cerai. Itukan mereka yang batas pergaulannya tidak terjaga antara perempuan dan laki-laki, sedangkan kita kan tahu batasannya. Bukan ane menjelekan mereka, lagian menikah juga kan menjaga pandangan.”
        “Entah lah aku masih enjoy sendiri.”
        “Hati-hati lho Ris. Entar antum malah keasyikan sendiri. Tahu-tahu antum sudah kepala empat.”  Canda Rianto.
         Haris berusaha bersikap cuek tidak menanggapinya. Orang tuanya juga sering ngomel-ngomel tentang kesendirian Haris, bahkan orangtuannya berusaha memilihkan jodohnya. Tapi no there is choice. Emangnya zaman Siti nurbaya. Tapi aneh anak-anak zaman sekarang sudah diberi kebebasan untuk memilih tapi paling susah cari jodohnya, mungkin terlalu banyak persyaratan seperti Haris yang punya banyak kriteria.
****
         Hati Yoga diteror perasaan gelisah, dia baru selesai konser. Para wartawan segera mengerubutinya.
        “Anda sekarang jadi banyak berubah?”
        “ Maksudnya?” Ujar Yoga sambil tersenyum tipis.
        “Setelah bercerai dari Rafika anda jadi lebih kalem dan matang tidak seagresif dulu.”
        “Mungkin sudah saatnya saya merubah image pribadi saya yang anda kenal sangat buruk. Sesuatu yang sudah terjadi di belakang biarlah menjadi milik masa lalu dan saya tidak ingin mengulangnya lagi.”
        “Apa sudah berniat untuk menikah lagi?”
        “Bagaimana ya, pengen juga sih. Tapi saya harus selektif memilih istri tidak terburu-buru. Pinginnya yang alim biar bisa membimbing saya.”
        “Kabarnya dekat dengan seorang ustadz, apa itu sebagai jalan mencari istri yang muslimah?”
         “Hm... itu sebagai kesadaran saya. Mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan pada saya dan  juga ingin menjadi manusia lebih baik biar tidak di cap jelek terus.”  Ujar Yoga sambil tertawa lebar. Selesai itu ia segera naik kemobil bersama teman-temannya untuk beristirahat dihotel.
       Teman-temanya juga mengakui kalau Yoga banyak berubah meski tak terlalu besar tapi bagi mereka itu sudah sangat mencengangkan. Yoga rajin ngasih nasihat pada teman-temannya dan panggilan pak ustadz pun kerap terdengar dari teman-temannya tapi Yoga tak ambil pusing, siapa tahu jadi ustadz beneran, amien.
****
          Alif sudah dua hari ini sakit, panasnya belum turun-turun dalam sakitnya yang dipanggil terus om Yoga. Santi mulai resah, wajahnya pucat dan tidak mau makan.
        Sudah beberapa kali kompresnya diganti. Bibi Maryam dan paman Hendra menyarankan untuk menghubungi Yoga.
       “Lakukan saja semuanya demi Alif, Santi.”
       “Tapi...” Santi diam sesaat. “Saya rasa Alif sakit biasa sebentar lagi juga panasnya turun, kenapa harus menghubungi Yoga?”
      “Santi...!” Paman Hendra marah, selama ini dia belum pernah marah sama keponakannya. “Kamu jangan terlalu mempertahankan egomu hanya karena masa lalu. Lihatlah anakmu dia merindukan sentuhan ayahnya. Bagi Alif itu bertemu dengan Yoga sangat berarti.”
        “Saya akan membawanya ke Rumah sakit.” Ujar Santi keras kepala.
         Menurut keterangan dokter di rumah sakit Jampang, Alif divonis sakit jantung bawaan atau disebut juga gagal jantung kognesif, katup verticularnya rusak. Dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap di kota sekalian melakukan operasi secepatnya, karena kalau dibiarkan akan berujung dengan kematian. Meskipun segalanya hanya Allah yang menentukan. Tapi Alhamdulillah penyakit jantungnya bisa dideteksi sejak dini.
        Untuk sesaat Santi terkejut mendengar penuturan dokter Anto dan tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya bisa menangis. Keceriaan Alif hilang, bocah lucu itu terbaring dengan lemah, selang-selang berseliweran ditubuhnya. Benar-benar menyentak hati nurani Santi.
       Paman dan bibinya menyuruhnya untuk segera menghubungi Yoga, dia harus dikasih tahu. Tidak ada cara lain lagi, untuk sementara egonya luruh demi Alif akan dia lakukan asal Alif sembuh. Santi segera mengambil Hp ditasnya.
       Yoga entah kenapa dari kemarin perasaannya gelisah sekali, bayangan Alif terus menari-nari. Matanya sulit dipejamkan meski sangat lelah dan Yoga pun tidak bernafsu untuk makan.
       Twit..twit... Hp yang tergeletak dimeja berbunyi.
     “Assalamualaikum.” suara disebrang sana menyadarkan keresahannya yang bergejolak.
     “Wa’alaikumsalam, San.” Yoga merasakan suara itu terdengar basah.
       “Iya ini aku. Maaf, aku mengganggumu sebentar.”
       “Tidak apa-apa, ada apa San?” Yoga penasaran.
       “Alif sakit dan selalu manggil nama kamu. Aku mohon... kamu...” Santi tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia malah terisak-isak.
        Deg, dada Yoga berdebar kencang. “Sakit apa?”
       “Kata dokter... sakit jantung bawaan dan dia harus segera di operasi...”
       “Baiklah, rumah Sakit mana?”
       “Dokter menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit dikota. Mungkin ke Assyfa dulu kalau ngak mampu baru ke jakarta.”
       “Ya udah, jaga Alif baik-baik, ya? Nanti aku kesana.” Klik pembicaraan terputus.
        Yoga menarik nafas sedih. Alif anak yang lucu terkena gagal jantung kognesif, kasihan. Ya Allah mudah-mudahan Kau masih memberi dia kesempatan untuk hidup, agar aku.... mata Yoga berkaca-kaca. Dia segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa termasuk persiapan uang yang cukup untuk bekal pengobatan Alif.
          Ketika Yoga datang di Rs.Assyfa rumah sakit swata di sukabumi, wajah Alif berbinar senang meskipun tubuhnya terbaring lemah.
        “Om, jangan tinggalin Alif lagi ya? Alif ingin selalu ada di dekat Om.”  Ujarnya lemah.
       “Tidak sayang, Om nggak bakal ninggalin Alif lagi.” Yoga mengusap kepala Alif penuh sayang.
        Mata Santi berkaca-kaca tidak kuat mendengar kepolosan Alif. Alif tidak pernah tahu kalau laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun ikatan yang sudah terasa begitu kuat membuat mereka begitu dekat. Sementara Santi sebagai seorang ibu berusaha ingin memisahkan rekatan kasih itu. Ibu macam apakah aku? Batinnya perih.
        “Ma, Om yoga baik kan? Dan nggak akan ninggalin Alif lagi.” Alif menatap Santi meminta sebuah jawaban.
          “Iya sayang, Om Yoga nggak akan ninggalin Alif lagi.” Mata Santi semakin menganak sungai. Yoga menyodorkan saputangannya.
         “Terimakasih.”
         Alif kini sudah terlelap dengan tidurnya.
        “Aku ingin kita bersatu lagi dan bersama membesarkan Alif. Dan aku janji bakal memperbaiki semua kesalahan di masalaluku.” Sinar mata Yoga penuh kesungguhan.
       “Bukankah mas Yoga tak pernah mencintaiku? Jadi percuma kita bersatu pun hanya akan memperlebar jurang perbedaan.”
       “Jangan pernah terikat pada masa lalu. Dulu aku melakukannya karena ayah tapi sekarang karena kesadaranku, bahwa kaulah perempuan yang pantas untuk mendampingi hidupku. Aku rela meninggalkan karierku untuk membina rumah tangga yang bahagia. Terus terang aku saja aku sudah capek jadi orang terkenal, aku ingin menjadi orang biasa tanpa seorangpun mengganggu kita.”
        Hm... Santi terdiam  sesaat. Hening diantara mereka. Bibi Maryam sudah tertidur kelelahan dibalut sleeping bag dilantai ruang tunggu rumah sakit meringkuk memberi kesan lucu yang menyaksikan. Paman Hendra beberapa kali menguap. Orang tua Santi dan Yoga sudah ditelpon dan mereka berjanji akan datang besok.
       “Berikan aku kesempatan untuk memikirkannya.” Ucap Santi.
       “Baiklah, sekarang kamu istirahat saja dulu biar aku yang menunggu Alif.”
****
         Setelah melakukan operasi katup jantung di Mount Elizabeth Singapura. Kodisi Alif berangsur-angsur pulih setelah melakukan perawatan hampir satu bulan di negri Lee Kuen Yew itu.
         Yoga yang mengusulkan untuk operasi disana karena technik medikal disana sudah maju. Kini Alif sudah dibawa pulang tiga hari yang lalu namun dia kini tidak seaktif dulu lagi. Mudah capek, jadi perlu pengawasan yang teratur. Yoga dan Santi tentu paling bahagia melihat buah hatinya sudah sehat lagi.
         Mama, papa dan orang tua Yoga menyuruh mereka untuk rujuk kembali. Setelah berpikir lama dan perhatian Yoga yang baik hati Santi luluh juga.
        “Gue mendukung banget Ga, kalau loe mau comeback lagi pada Santi. Dia perempuan baik, terbukti kan kesetiaanya nunggu loe insyaf he...he... Lagian loe beruntung punya anak yang lucu. Gue jadi ngiri deh. By the way loe masih punya stock yang kayak gitu nggak Ga, gue mau deh.
        “Uh... emangnya barang.” Celetuk Yoga.
         “He...he... kemana nih mau bulan madunya?” Canda Sandi lagi.
         “Belum tahu nih, loe bisa nunjukin tempat-tempat fresh dan romantis nggak?”
         “Bali...”
         “Dulu sama Rafika ke Bali.”
         “Ya, sudah dirumah saja. Ngirit biaya oii.”
         “Betul juga San, mendingan biaya bulan madunya dipakai untuk biaya yang lain, ditabung buat biaya anak sekolah.”
        “Bagus, kamu jadi lebih dewasa deh, gue senang dengarnya.” puji Sandi.
        “Hm... jadi mekar deh hidung gue.”
       “Awas lho meledak.” Mereka saling bercanda di telpon.
        Ditempat paman Hendra
        Alif sedang asyik bermain komputer. Dia sedang menulis cerita tentang kerinduannya pada seorang ayah, dengan kata-kata yang khas seusia Alif.
      “Mama lihat ceritanya bagus nggak?”
       Santi yang sedang membaca majalah dakwah bangkit dan mendekati Alif. Santi terenyuh membacanya.
      “Jadi Alif pengen ketemu papa?”
      “Iya, Alif kangeeen banget sama papa. Kenapa sih papa lama banget sekolahnya?”
      “Sebentar lagi papa Alif akan datang.”
       “Kapan ma?”
       “Sekarang.”
       “Benar Ma?”  Mata Alif mencari kesungguhan.
        “Iya...” Santi mengangguk yakin.
        “Asyik, Alif bakal ketemu papa.” Ujar anak itu riang.
        Ini foto papa Alif.” Santi memberikan foto ukuran post card. Foto pernikahannya dulu yang dia sembunyikan dari Alif.
       “Ini mama waktu nikah kan? Hem... eh... tapi pengantin laki-lakinya mirif Om Yoga...”
       “Karena sebenarnya Om Yoga itu papa Alif.” Suara Santi tenggelam.
       Alif menatap mamanya, meminta kepastian.
       “Iya sayang, Om Yoga itu papa kamu. Maafkan mama ya, telah bohong sama Alif. ujar Santi disesaki rasa bersalah.
       Tapi anak itu bukan bahagia ketika mendengar penjelasan mamanya. Wajahnya berubah muram.
       “Mama jahat, udah bohongi Alif. Kata mama papa sekolah di luar negri, tapi mama bohong!” Protesnya. Alif segera berlari kekamarnya dan mengurung diri disana. Dia benar-benar marah.
        Santi terhenyak tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Santi segera menyusul anak itu.
       “Alif benci sama mama yang sudah bohongin Alif!” Anak itu masih ngambek.
        Santi memejamkan matanya, perih tiba-tiba merambah kedadanya. Selama ini ia tak mengira akan sejauh ini jadinya, tapi justru malah mengguncang jiwa Alif. Santi menarik nafas panjang. Banyak yang diajarkan kepada Alif terutama untuk tidak berbohong ternyata hanya sebatas retorika.
       “Maafkan mama sayang. Mama...” Santi malah terjebak dalam tangisannya. Dia berusaha mengusap kepala Alif tapi anak itu malah menepisnya.
       Ya Allah, Santi terperanjat. Ada luka dihati Alif, hal yang tak pernah ia duga. Kenapa sebagai seorang ibu tak dapat menyelami permata hatinya.
       “Kenapa mama harus bohongin Alif kalau om Yoga itu papa Alif? Kenapa mama harus bilang kalau papa Alif itu sekolah diluar negri?”  Protesnya dengan wajah masih kerkerut-kerut.
         Untuk sesaat Santi tidak menjawab. Sungguh anak seusia Alif bisa berkata seperti itu. Pertanyaan yang terlampau dewasa untuk anak seusianya. Ketika anak lain masih merengek manja, dia sudah diajarka untuk tidak manja dan harus mandiri. Bahkan di usia seperti ini dia sudah melahap banyak buku dengan rakus setelah melakukan tahap seleksi dulu mana buku-buku yang boleh dibaca.
        “Alif...”  panggil Santi pelan. “Maafkan mama sayang. Mama sudah bohongin kamu tapi semua itu...” suara Santi tenggelam disusul dengan air matanya. Apakah Alif harus tahu sekarang tentang segala yang pernah terjadi.
       “Karena apa, Ma?” Ujar Alif mulai bersimpati dengan tangisan mamanya. Matanya memancar sebuah keingintahuan.
        “Karena...” Santi menghela nafas berat. “Karena papa Alif dulu tak pernah sayang sama mama, sehingga mama pilih cerai dari papa. Tapi sekarang papa sudah menyadari kesalahannya. Mama harap Alif bisa memaafkan semua kesalahan papa.”
         “Ma...” kata Alif pelan sambil memegang tangan mamanya. “Kata mama Allah juga maha pemaaf pada ummatnya jadi Alif juga harus memaafkan papa, biar Allah semakin sayang sama mama dan Alif.” Ujar Alif polos namun menyentuh ruang hati Santi.
         “Alhamdulillah, mama sangat senang dengarnya.” Santi memeluk putra semata wayangnya.
        Terdengar  diluar suara mobil masuk ke pekarangan paman Hendra, Santi mengintipnya ke tirai jendela.
       “Siapa ma?” Mata Alif berbinar
        “Papa Alif datang.”
       “Papa,”  pekik anak itu senang. Pendar dimatanya terlihat bahagia. Ah... belum pernah ia melihat kebahagiaan seperti ini di wajah Alif. Kerinduan anak itu tentang ayah mulai terbayar. Alif segera bangkit dari tempat tidurnya dan menarik tangan Santi.  “Mama ayo kita temuin papa.” Santi menurut mengikuti langkah Alif.
       Yoga segera turun dari mobil BMWnya, dia menurunkan barang bawaan dari bagasi mobilnya. Alif berlari menuju papanya.
       “Papa...!” ujar Alif dengan penuh keceriaan.
       “Alif...” Untuk sesaat Yoga tertegun seperti dihipnotis mendengar kata panggilan papa dari Alif,  benar-benar sebuah panggilan menyejukan. Akhirnya panggilan yang dirindukan itu datang juga.
       “Papa, bagaimana kabarnya? Alif kangen banget sama papa. Kita sekarang akan bersama kan, Pa?”
        “Alhamdulillah.”  Mata Yoga berkaca hari ini adalah kebahagiaan terindah bagi hidupnya kalau dirinya  benar-benar sudah menjadi seorang ayah dan tanggung jawab menanti dihadapannya. “Kabar papa baik dan papa juga sudah kangen banget sama Alif. InsyaAllah kita akan selalu bersama. Kata Yoga sambil memeluk Alif.
        Santi yang menyaksikan menangis diam-diam.
       “Mama...”  Alif kembali menghambur mamanya.
       “Alif senang kalau mama bisa memaafkan papa dan kita bisa sama-sama lagi.”
       Santi mengusap air matanya dengan ujung jilbabnya, lalu matanya perlahan menatap Yoga. Yoga membalasnya dengan senyuman cerah.
       “Aku bahagia, kamu telah mendidik Alif dengan sebaik-baiknya. Seandainya dari dulu aku menyadari tentang pilihan pendamping yang terbaik...”
         “Mungkin harus seperti itulah jalan hidup kita. Sebuah ujian untuk sebuah kesadaran. Biarlah masa itu berlalu yang akan kita tapaki adalah masa depan. Mudah-mudahan masa depan yang akan kita jalani lebih baik dari masa lalu.”
         Angin berhembus lembut. Yoga menghirup udara segar semerbak cinta mulai mewangi bagai sekuntum mawar yang baru mekar. Tak lupa laungan syukur pada Tuhan dia panjatkan lewat bisikan hatinya.

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini