Malam dingin dalam balutan hujan yang mengguyur deras meracah Marcapada. Angin yang berhembus kencang meliukan ranting-ranting dan daun-daun yang berderak mencipta irama yang sangat mengerikan, berkalaborasi dengan suara anjing yang melolong –lolong getir menambah wengit menembus malam yang penuh dengan irama kematian.
Sebuah langkah tertatih menembus kelam yang meraja. Hanya sesekali sinaran kilat menerangi, membantunya menapaki jalan yang penuh dengan akar-akar. Kadang membuat kakinya tersandung, dan terjatuh.
Tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan tubuh ringkihnya. Tinggal langit yang jadi tempat berlindung, dan bumi yang jadi pijakan. Semua orang menginginkan harga nyawanya sebagai tumbal sebuah tirani yang ingin bertahta di Marcapada tanpa memandang batas susila. Dan bila tirani itu mengakar kuat di bumi, maka kerusakan akan menjelma seperti alunan badai yang siap memusnahkan apa saja.
Nyeri merayap di seluruh tubuhnya, dibantu gigil yang mendera. Sabetan belati itu, mampu mengkoyak luka dibahunya.
Allah dimanakah kasih Mu? Desisnya di antara keputus asaan yang mulai mendera. Air mata mampu mengalirkan keperihan yang menyiksa. Luka di hatinya teramat sakit, melebihi sayatan belati yang mengkoyak bahu kirinya. Inikah jalan jihad? Begitu rumit, penuh jalan terjal, dan mendaki. Dan mungkin seperti inilah yang di dapatkan Rasul saat menyebarkan risalah agung ini, atau lebih dasyat dari ini.
Suara langkah kaki dari belakang yang menyusulnya, membuat ia semakin memacukan langkahnya dalam ketergesaan. Tidak boleh menyerahkan pada kematian begitu saja. Karena menjemput syahid pun harus dilakukan dengan berjuang. Seperti yang pernah di lakukan oleh sahabat Rasul; Umar, Usman dan Ali yang di bunuh para durjana
“Berhenti…!” Suara itu penuh nafsu durjana, karena hati yang tercipta adalah jelmaan iblis laknatullah.
Langkahnya semakin tertatih karena rasa letih yang semakin bertahta. Mungkin ia telah kehilangan energi untuk berpacu atau kematian memang sudah tiba waktunya. Dan kakinya terantuk batu membuat tubuhnya limbung terjatuh bergulingan ke bawah.
”Ha…ha…ha…” tiba-tiba sebuah tawa meledak memenuhi hutan sunyi, dan malam yang berjalan menuju titik kulminasi adalah saksi sebuah angkara yang akan berpencar menjadi sayatan kematian.
“Kau tidak akan bias berlari lagi. Minta tolonglah pada Tuhanmu, gadis manis. Jika dia memang benar-benar ada.” Dan tawa itu kembali meledak memuncratkan aroma kengerian yang tercipta.
Hasbiyallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man natsir…cukuplah Allah bagiku dan dia sebaik-baik pelindungku. Kullu nafsin da’iqotul maut…setiap jiwa akan mati, do’anya dalam detak jantung yang bergemuruh. Ketakutan memang ada karena dia juga manusia biasa.
“Kau memang terlalu usil dengan urusan orang lain, maka rasakan kematianmu yang tinggal beberapa saat lagi!” laki-laki yang haus darah itu menarik ujung jilbabnya, sehingga rambutnya yang panjang memburai dari gelungannya.
“Wajahmu memang bidadari, tapi sayang dirimu terlalu sok srikandi. Maka maut pun ingin segera menyergapmu. Sebelum semuanya berakhir, aku ingin menikmati keindahan darimu.” Suara itu penuh dengan aroma iblis, penuh birahi yang siap meluluh lantakan sebuah harga diri.
“Jangan, lebih baik kau bunuh aku!” gadis itu meronta.
“Hehe…tidak bisa gadis manis, malam ini akulah yang berkuasa menguasai tubuhmu!”
Laki-laki itu mulai kasar dan menarik tubuh di depannya. Tapi, sekuat tenaga tangan gadis itu meronta, menyikut, mencakar dan meludahi.
“Berengsek!” Dengan sekuat tenaga ia melumpuhkan gadis di depannya. “Jangan coba-coba kau melawan.” Laki-laki itu mulai mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, dan menodongkan pistol di kening si gadis.
Gadis itu menggigil ketakutan, karena aroma kematian menebar semakin dekat.
“Ya Allah lindungilah aku dari kejahatan nafsu iblis yang berwujud manusia binatang ini.”
Angin malam berhembus dingin menyibak daun-daun.
Krosaaak… terdengar suara ranting yang terinjak mengagetkan keduanya, laki-laki itu menegak dan bangkit memperhatikan sekelilingnya.
“Siapa kau?!”
Sepi tak ada jawaban, hanya lolongan Anjing yang terdengar dari kejauhan di bantu desau angin yang menambah wengit pelataran malam. Hujan sudah mereda dari tadi, tinggal menyisakan dinginnya saja yang menggigil.
“Keluarlah kau!” teriak laki-laki itu dengan penuh kesigaan. Instinknya berbicara kalau injakan ranting tadi bukan berasal dari kaki binatang. Tapi, berasal dari kaki manusia.
“Imperium tiranimu akan segera berakhir.” Suara itu muncul tak berwujud.
Hm…rasa-rasanya dia pernah mengenal suara itu, tidak asing di telinganya.
“Tak perlu kau tahu siapa aku, tapi bersiaplah untuk aku hantar ke neraka.”
Suara itu, ya ampun dia baru mengingatnya. Bukankah dia…?
“Pengkhianat, keluarlah kau!”
Sebuah percikana api dengan cepat merobohkan tubuhnya, timah panas itu berhasil mengkoyak dadanya. Rupanya orang yang datang sudah tidak mau bermain-main lagi dengan waktu.
“Akh…” ia memegang dadanya yang mulai basah oleh darah, dan laki-laki itu di jelma sakaratul maut yang menyiksa. Sedangkan gadis yang ada di sebelahnya terpekik kaget karena begitu murahnya sebuah harga nyawa tumbang. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba sebuah bayangan hitam sudah berada di depannya.
“Tempat ini tidak aman, ayo kita pergi dari sini.”
“Siapa kau?”
“Cepatlah, nyawamu sedang terancam. Kita harus segera menyelamatkan diri dan menghubungi polisi.”
Tanpa banyak tanya, bayangan hitam yang memakai kupluk ninja itu segera menyambar tangan si gadis, menariknya untuk segera meninggalkan tempat. Tersaruk-saruk dalam keremangan malam dan sesekali tersandung akar-akar.
“Percepatlah sedikit!” Lelaki asing itu membentaknya, karena dihinggapi rasa kesal. Terlambat sedikit berarti kematian akan segera menyambarnya. Banyak orang yang menginginkan harga kematian gadis ini, dan dia tak mungkin membiarkannya.
“Ak..aku…letih.”
“Sedikit lagi, ayo kita akan segera sampai di mobil.”
Dengan tenaga yang hampir habis akhirnya mereka sampai juga disebuah mobil Land Rover yang cukup tersembunyi dalam rimbun pepohonan.
Wuizzz…segera mobil melaju dalam kecepatan yang sangat tinggi walau medan yang dihadapi sangat kurang bersahabat. Jalannnya zig-zag tanpa aspal, dan entah dari mana munculnya sebuah Jip mengejar dibarengi dengan rentetan tembakan menegangkan keduanya. Sebuah pohon mahoni mendadak tumbang di hadapannya, menghentikan laju jalan mobil.
Ciiit…cekiiit… mendadak mobil di rem, menyebabkan benturan yang dasyat tak terkendali. Mobil terjungkal masuk kedalam jurang dan meledak.
***
Arggghhh…tiba-tiba dia merasakan kepalanya sakit dan perlahan matanya mulai terbuka. Pliyarrr… matanya terasa sakit akibat pantulan cahaya listrik yang terpantul dari ruangan serba putih itu.
“Alhamdulillah dia sudah mulai sadar.” Ujar suara di sebelahnya yang di angguki seoarang lelaki bermata teduh.
Suasana asing menyergap jiwanya. Perlahan dia mencoba bangkit meski selang-selang masih berseliweran di tubuhnya, tapi dia segera di tahan.
“Jangan dulu bergerak, tubuhmu masih lemah.” Ujar lelaki yang bernama dr. Faizal.
“Siapa kalian, dan dimana aku?” lirihnya.
“Kamu ditemukan menyangkut dipinggir sungai dalam keadaan tidak sadar, seminggu yang lalu. Saya pikir karena sebuah kecelakaan dan teman mu yang laki-laki ditemukan dalam ke adaan sudah tidak bernyawa lagi.”
Di sebuah sungai, kecelakaan, dan temannya meninggal. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak megerti dengan apa yang telah menimpa dirinya.
“Maaf…saya benar-benar tidak mampu mengingatnya.”
Gadis yang berada di sebelahnya, yang bernama Liana mengkerutkan keningnya lalu menatap kakaknya. Tidak mampu mengingatnya, apakah ada sesuatu yang telah terjadi dengan gadis ini? Kehilangan memorynya sehingga tidak mampu mengingat peristiwa yang sudah menimpanya.
“Siapa namamu dan berasal darimana?” tanya dr. Faizal pelan.
“Ap… apa?” gadis itu tergagap.
“Namamu siapa?” ulang Liana.
Gadis itu menggeleng, ia seperti orang linglung tak mampu sedikitpun untuk mengingat dirinya, juga keluarganya. Bahkan peristiwa tragis itu, semuanya masih sangat misteri.
“Dia hilang ingatan Ka, kasihan sekali. Apa mampu dia kembali seperti semula?”
"Insya Allah bisa, kita bantu sebisa mungkin agar dia mampu mengingat semuanya meski membutuhkan waktu.”
“Kasihan gadis secantik dia.”
“Sudahlah, aku mau Tahajud dulu. Kamu jaga dia baik-baik.” Faizal keluar dari ruang perawatan untuk pergi menuju Mesjid Rumah sakit.
Tinggal Liana dan gadis asing itu yang berada di ruang perawatan. Dengan penuh kasih sayang Liana menyelimuti gadis itu. (BERSAMBUNG)
***