" Ini semua gara-gara perempuan gila itu, anakku jadi begini?" keluh Nyonya Hutama merasa tidak terima anaknya mengalami kecelakaan seperti ini.
"Menurut Mama siapa?" ujar Tisa tidak suka. Ibunya ini adalah wanita yang paling keras kepala. Terlalu dominan, terutama pada adiknya Adyan. Pernikahan pertamanya gagal gara-gara Mama terlalu banyak ikut campur. Pernikahan keduanya dengan Ardina si perempuan matrealistis malah di selingkuhi. Dan Tisa cukup terkejut ketika tadi dia melihat mantan adik ipar yang selalu di rendahkan Mamanya telah menjadi dokter, spesialis lagi. Sepuluh tahun tidak bertemu, Aqeella sudah terlihat matang. Dia anggun dan terlihat smart. Tapi sangat dingin, pendiam dan terkesan menghindar dari kelurganya. Tisa cukup paham dengan perasaan Aqeela yang sudah banyak kehilangan dan terluka.
"Si Ardina wanita gila itu!" dengus Mama tidak suka.
"Oww…" Tisa pura-pura terkejut dengan membelalakan mata hazelnya.
"Kenapa kamu terkejut seperti itu?" ujar Nyonya Hutama gemas dengan reaksi putrinya.
"Ckk… dia itu menantu kesayangan Mama kalau Mama tidak lupa. Wanita itu yang dulu selalu Mama banggain di arisan sosialita Mama. Ini lho menantu kesayanganku….ini lho menantu…."
"Itu dulu. Sebelum dia berselingkuh dan menguras uang keluarga kita." potong Nyonya Hutama.
"Mama, Tisa belum selesai bicara. Tolong jangan di potong dulu." Ujar Tisa tidak suka. "Mama marah pada Ardina, lantas bagaimana dengan Adyan yang harus mengorbankan perasaannya untuk Mama. Papa, aku, Mas Farhan bukankah dulu sudah memperingatkan siapa Ardina. Tapi, demi rasa persahabatan Mama pada keluarga culas itu, Mama memaksakan kehendak sendiri. Tanpa berkompromi dengan perasaan Adyan. Sukakah dia, bahagiakah dia? Ini yang tidak pernah Mama pikirkan. Karena Mama orang tua paling egois di muka bumi, yang mengukur segalanya dengan standar materi. Gadis sebaik Aqeela Mama buang hanya karena menurut Mama tidak ada kepantasan. Jadi sekarang tidak usah menyalahkan orang lain, seburuk apapun Ardina dia adalah menantu yang pernah Mama pilih dan di banggakan pada semua orang. Jadi terimalah konskwensinya. Jika harus ada yang disalahkan, itu tidak lain adalah keegoisan Mama sendiri." ujar Tisa merasa lega sudah mengeluarkan semua unek-uneknya yang sudah lama mengganjal di hatinya.
"Kamu …" mata Mama bersinar marah.
"Maaf jika omongan Tisa menyinggung Mama, tapi ini semua benarkan, Ma. Tisa peduli sama Adyan yang tidak pernah bahagia selama sepuluh tahun ini. Dia pura-pura bahagia tapi sebenarnya sakit. Semoga nasib buruk Adyan tidak terjadi pada Adzwar." ujar Tisa sambil bangkit dan meninggalkan Mamanya. Dia tidak peduli Mama akan kecewa dengan kata-katanya barusan, karena jujur dia lebih banyak kecewa dengan sikap Mamanya yang tidak berubah. Dia hanya peduli kehormatan, koleksi berlian dan jumlah sahamnya ketimbang perasaan anak-anaknya.
"Dek…" Suara Mas Farhan menghentikan langkah Tisa.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Mas Farhan.
Tisa melirik jam tangannya. Sebenarnya dia hari ini ada janji dengan seseorang.
Tisa mengangguk. "Tapi sebentar ya, Mas?"
Farhan mengangguk. Dan mengajak adiknya ke kantin rumah sakit. Setelah memesan minuman ia mengajak adiknya bicara.
"Kamu kenapa seemosional itu pada Mama? Bukan karena melihat Aqeela kan?"
Tisa menarik nafas jengah. Kakaknya ini adalah orang yang terlalu perhatian pada Mama, meskipun statusnya hanya sebagai anak tiri.
"Aku hanya ingin Mama sadar dengan sikapnya yang egois, itu saja Mas. Apakah aku salah?"
"Tapi Mama sedang bersedih?"
"Mas, sudahlah jangan membela Mama terus. Aku lelah. Mas juga jangan naif, kalau Mama itu nggak pernah sayang sama kamu Mas, tapi kenapa sih Mas masih belain dia? Yang terluka itu kita, Mas. Kamu, aku dan Adyan. Pernikahanku juga bermasalah dengan Rangga, itu semua gara-gara Mama yang banyak ikut campur. Begitupun dengan Adyan."
"Mas tahu itu, meskipun Mama bukan ibu kandung, tapi berkat dia Mas merasa punya keluarga. Setidaknya dia masih membuat Mas bisa merasakan keutuhan keluarga, tidak menjauhkan Mas dengan Ayah dan juga kalian bertiga, adik-adik Mas. Soal harta itu tidak jadi masalah buat Mas. Tidak menjadi pewaris Hutama Crop bukan hal yang harus di persoalkan."
Tisa tersenyum miris. Entah dia harus berbahagia atau bersedih. Sesimpel inikah Mas Farhan memandang masalah pelik keluarganya. Dengan jelas ia melihat ketimpangan perlakuan ibunya pada kakak tirinya. Tapi tetap dia menjadi kakak yang sayang pada ketiga adiknya. Memperlakukan mamanya dengan santun. Tidak pernah menjadikan ketidak adilan ini menjadi masalah atau beban.
"Aku ingin memiliki hati yang luas sepertimu, Mas. Tapi sangat sulit."
"Maka belajarlah untuk mengikhlaskan. Seburuk apapun Mama dia tetap orang yang berjasa pada kita. Yang jasanya tidak sebanding dengan keburukan-keburukannya."
Tisa memandang kakaknya dalam diam. Kakak tirinya ini luar biasa baik, pasti ibunya dulu orang baik. Wanita yang sudah pergi kehariban-Nya saat Mas Farhan kelas 4 SD, begitu cerita dari Papa. Dan Mbak Laras juga istri yang sangat baik menurut Tisa. Pantas serumit apapun masalah yang di hadapi, dia selalu tenang dan berhati lapang.
"Jika kamu memang memiliki banyak beban, cerita pada Mas. Kita ini adalah saudara yang harus saling melindungi dan menguatkan."
Tisa ingin saja menangis. Jujur dia merasa terenyuh mendengar kata-kata dari abangnya. Sosok abang yang sangat mencintai adiknya. Yang berada di dekatnya selalu merasa aman dan terlindungi. Tapi itu dulu ketika masa anak-anak dan remaja. Sekarang rasanya segan mengadukan segala masalah pada abangnya.
"Thanks Mas, maaf Tisa harus segera pergi. Kasih tau Tisa kalau Adyan sudah sadar."
"Ok, hati-hati Dek." ujar Mas Farhan lembut.
Tisa membalas dengan mengangguk dan pergi meninggalkan pelataran rumah sakit. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini