Subscribe Us

Aqeela # Part 3

Aku menunggu Nyonya Hutama berbicara lebih dahulu di kafe yang ada di sebrang rumah sakit. Setelah aku memeriksa putra kesayangannya, dia memintaku untuk berbicara empat mata. Ku tunggu dia dengan sabar. Aku tidak ingin memulai pembicaraan jika bukan dia yang memulai. Kecuali jika itu bersangkutan dengan pekerjaanku.

"Sudah lama kita tidak bertemu. Sepuluh tahun ya, bagaimana kabarmu?" ujarnya datar. Raut mukanya tetap tidak menunjukan keramahan.

"Baik…" jawabku singkat sambil mengaduk-aduk juice jeruk yang ada didepanku. Berbicara dengan perempuan ini membutuhkan energi besar maka aku harus tetap tenang. Emosiku tidak boleh terpancing.

"Setelah bercerai dengan putraku, siapa lagi laki-laki yang sudah kau jebak untuk bisa jadi suamimu?" ujarnya sinis.

Aku membelalakan mata lebar. Pempuan ini benar-benar keterlaluan! Dari dulu mulutnya tidak pernah bisa di jaga. Pedas dan tajam. Sungguh aku ingin tertawa. Orang yang jelas-jelas mengaku keluarga terhomat, tapi kata-katanya seperti keluar dari orang yang tidak berpendidikan saja. Kekepoannya ini bikin aku muak. Sungguh aku telah membuang-buang waktu meladeni kata-katanya yang tidak berfaedah. Tapi aku harus bisa meladeninya dengan tenang.


"Apakah Nyonya merasa terganggu jika saya mendapat suami yang lebih kaya?" tanyaku setenang mungkin.

"Bersyukurlah anakku terlepas darimu." ujarnya sinis.

"Ok, tidak masalah." jawabku berusaha tetap tenang dan datar.

"Saya cuma mau memperingatkan sama kamu, tolong jaga batasanmu selama merawat putraku. Jangan pernah bermimpi bisa kembali lagi padanya." kata Nyonya Hutama tajam.

Aku terdiam sesaat. Kata-katanya sungguh menyakiti perasaanku. Pantaskah perkataan itu di ucapkan? Bukankah aku yang harusnya berbicara seperti itu. Dulu anaknya tergila-gila padaku, dan sekarang anaknya di selingkuhi wanita pilihan ibunya, seperti berita yang kubaca tadi di media. Bisa sajakan putra si Nyonya sombong ini, justru yang masih memiliki perasaan cintanya padaku. Aku perempuan yang sudah di sakiti luar dalam, akan berfikir berulang kali untuk mencintai laki-laki yang akan terus berkonflik dengan ibunya.

"Tentu. Tanpa di ingatkanpun saya sangat paham sekali, Nyonya. Saya tidak akan mencampur adukan antara profesionalisme dengan kisah usang. Nyonya tidak usah khawatir, kisah saya dengan anak nyonya sudah berakhir semenjak keluar dari rumah itu. Yang harus di peringatkan itu justru anak nyonya."

"Kenapa harus anak saya?" Nyonya Hutama tidak terima.

"Karena saya tetap baik-baik saja, meskipun sudah Nyonya perlakukan secara tidak manusiawi. Tapi anak Nyonya, yang sedang tidak baik-baik saja. Saya sudah membaca berita online, yang hari ini jadi trending topic. Jika istri Adyan Hutama berselingkuh dan itu di kaitkan dengan penyebab kecelakaannya oleh wartawan kurang kerjaan. Apakah Nyonya belum baca beritanya?"

Nyonya Hutama langsung diam. Kenapa berita perselingkuhan Ardina bisa sampai jadi konsumsi publik? Sangat memalukan. Perempuan itu segera membuka gawainya, dan benar saja berita di medsos sangat ramai tentang perselingkuhan Ardina Zahira dengan pengusaha asal Malaysia.

"Jika menurut Nyonya dulu aku adalah menantu yang buruk, Ardina jauh lebih buruk. Karena jelas dalam ikatan pernikahan aku dengan Mas Adyan, tidak ada perselingkuhan, dan tidak ada sepeserpun harta yang kudapat. Jadi sebenarnya wanita parasit yang memeras dan menyakiti suaminya itu siapa Nyonya? Dan sangat jelas itu bukan aku. Dan hal yang harus Nyonya ketahui, bagi saya keluar dari keluarga Hutama itu adalah anugrah. Karena jika aku masih bertahan, mungkin aku sudah menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Karena memiliki mertua egois seperti anda."

Nyonya Hutama diam tidak bisa membalas serangan verbal kata-kataku, mantan menantu yang sangat dia benci sampai kini. Pasti dia tidak akan pernah menyangka, jika perempuan lugu dan polos itu akan mengucapkan kata-kata tajam. Tapi tentu saja waktu bisa mengubah seseorang bukan? Jika dia membenci dengan alasan nggak jelas, bukankah mantan menantunya juga wajar untuk membenci dengan alasan luka masalalu.

"Permisi Nyonya Hutama, saya masih ada banyak pekerjaan." aku bangkit meninggalkannya.

Nyonya Hutama membrengut kesal. Sungguh hari ini dia telah kalah kata-kata.

"Apa lagi yang Mama inginkan dari Aqeela." suara dingin itu menyentak lamunan Nyonya Hutama.

"Papa…"

"Belum cukup juga rupanya menyerang wanita tak berdosa itu heh…"

"Se…sejak…kapan Papa…di sini?" Nyonya Hutama tampak gelagapan.

"Sejak kau masuk, aku sudah ada di kafe ini, Ma. Kenapa Mama masih menyerangnya heh… ? Dia sudah tidak ada hubungan lagi dengan anak kita. Seharusnya si menantu kebanggaanmu itu, yang harusnya kau serang. Bukan Aqeela yang sudah tidak punya hubungan apa-apa dengan kita.

"Mama hanya ingin memperingatinya, siapa tau dia masih berharap pada anak kita…" Nyonya Hutama membela diri.

"Cuma wanita tidak waras yang mau memiliki mertua seperti kamu untuk kedua kalinya. Kapan sih Mama akan sadar? Suatu saat kau akan tua dan lemah, siapa yang mau merawatmu jika selalu berkonflik dengan menantu? Laras… Rangga…atau istri Adzwar kelak. Papa nggak yakin mereka mau merawat mama. Karena selama ini, mama tidak pernah menunjukan rasa hormat pada mereka. Uang itu tidak selamanya bisa membuat bahagia dan menolong kita. Jadi tolong, turunkan ego Mama. "

Wajah Nyonya Hutama semakin memberengut mendengar kata-kata suaminya.

"Tanpa di ulangpun, Mama masih ingat kata-kata Papa." ketus Nyonya Hutama.

"Dan sayangnya, itu cuma masuk kuping kiri ke luar kuping kanan." Sindir Pak Hutama.

"Terus mau Papa, Mama itu harus bagaimana? Bersikap manis pada mantan menantu kita gitu, yang membuat Adyan melupakan Ibunya?"

"Ckk…jangan berlebihan, Ma. Adyan tidak pernah melupakanmu. Dia hanya ingin kamu bisa menerima siapa yang dia cintai. Tapi sudahlah, tidak usah di bahas, toh Aqeela sudah bukan siapa-siapa lagi untuk Adyan. Papa cuma minta tolong perlakukan Laras, Rangga dan Istri Adzwar kelak dengan baik. Yang menjalani kehidupan rumah tangga adalah anak kita. Jadi stop ikut campur didalam rumah tangga mereka. Standar pilihan menantu yang Mama inginkan jangan minta di samakan dengan standar pilihan anak-anak kita. Cukup do'akan mereka untuk bahagia, bukan ikut terlibat di dalamnya. Sebagaimana Bunda yang tidak pernah ikut campur pada rumah tangga kita. Bisa?"

Nyonya Hutama diam tidak memberi respon apa yang di ucapkan suaminya. Rasanya gampang banget meminta dirinya berubah. Padahal apa yang dia lakukan adalah sebagai bukti sayang seorang ibu pada anak-anaknya.***


Aqeela # Part 2

" Ini semua gara-gara perempuan gila itu, anakku jadi begini?" keluh Nyonya Hutama merasa tidak terima anaknya mengalami kecelakaan seperti ini.

"Menurut Mama siapa?" ujar Tisa tidak suka. Ibunya ini adalah wanita yang paling keras kepala. Terlalu dominan, terutama pada adiknya Adyan. Pernikahan pertamanya gagal gara-gara Mama terlalu banyak ikut campur. Pernikahan keduanya dengan Ardina si perempuan matrealistis malah di selingkuhi. Dan Tisa cukup terkejut ketika tadi dia melihat mantan adik ipar yang selalu di rendahkan Mamanya telah menjadi dokter, spesialis lagi. Sepuluh tahun tidak bertemu, Aqeella sudah terlihat matang. Dia anggun dan terlihat smart. Tapi sangat dingin, pendiam dan terkesan menghindar dari kelurganya. Tisa cukup paham dengan perasaan Aqeela yang sudah banyak kehilangan dan terluka.


"Si Ardina wanita gila itu!" dengus Mama tidak suka.

"Oww…" Tisa pura-pura terkejut dengan membelalakan mata hazelnya.

"Kenapa kamu terkejut seperti itu?" ujar Nyonya Hutama gemas dengan reaksi putrinya.

"Ckk… dia itu menantu kesayangan Mama kalau Mama tidak lupa. Wanita itu yang dulu selalu Mama banggain di arisan sosialita Mama. Ini lho menantu kesayanganku….ini lho menantu…."

"Itu dulu. Sebelum dia berselingkuh dan menguras uang keluarga kita." potong Nyonya Hutama.

"Mama, Tisa belum selesai bicara. Tolong jangan di potong dulu." Ujar Tisa tidak suka. "Mama marah pada Ardina, lantas bagaimana dengan Adyan yang harus mengorbankan perasaannya untuk Mama. Papa, aku, Mas Farhan bukankah dulu sudah memperingatkan siapa Ardina. Tapi, demi rasa persahabatan Mama pada keluarga culas itu, Mama memaksakan kehendak sendiri. Tanpa berkompromi dengan perasaan Adyan. Sukakah dia, bahagiakah dia? Ini yang tidak pernah Mama pikirkan. Karena Mama orang tua paling egois di muka bumi, yang mengukur segalanya dengan standar materi. Gadis sebaik Aqeela Mama buang hanya karena menurut Mama tidak ada kepantasan. Jadi sekarang tidak usah menyalahkan orang lain, seburuk apapun Ardina dia adalah menantu yang pernah Mama pilih dan di banggakan pada semua orang. Jadi terimalah konskwensinya. Jika harus ada yang disalahkan, itu tidak lain adalah keegoisan Mama sendiri." ujar Tisa merasa lega sudah mengeluarkan semua unek-uneknya yang sudah lama mengganjal di hatinya.

"Kamu …" mata Mama bersinar marah.

"Maaf jika omongan Tisa menyinggung Mama, tapi ini semua benarkan, Ma. Tisa peduli sama Adyan yang tidak pernah bahagia selama sepuluh tahun ini. Dia pura-pura bahagia tapi sebenarnya sakit. Semoga nasib buruk Adyan tidak terjadi pada Adzwar." ujar Tisa sambil bangkit dan meninggalkan Mamanya. Dia tidak peduli Mama akan kecewa dengan kata-katanya barusan, karena jujur dia lebih banyak kecewa dengan sikap Mamanya yang tidak berubah. Dia hanya peduli kehormatan, koleksi berlian dan jumlah sahamnya ketimbang perasaan anak-anaknya.

"Dek…" Suara Mas Farhan menghentikan langkah Tisa.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Mas Farhan.

Tisa melirik jam tangannya. Sebenarnya dia hari ini ada janji dengan seseorang.

Tisa mengangguk. "Tapi sebentar ya, Mas?"

Farhan mengangguk. Dan mengajak adiknya ke kantin rumah sakit. Setelah memesan minuman ia mengajak adiknya bicara.

"Kamu kenapa seemosional itu pada Mama? Bukan karena melihat Aqeela kan?"

Tisa menarik nafas jengah. Kakaknya ini adalah orang yang terlalu perhatian pada Mama, meskipun statusnya hanya sebagai anak tiri.

"Aku hanya ingin Mama sadar dengan sikapnya yang egois, itu saja Mas. Apakah aku salah?"

"Tapi Mama sedang bersedih?"

"Mas, sudahlah jangan membela Mama terus. Aku lelah. Mas juga jangan naif, kalau Mama itu nggak pernah sayang sama kamu Mas, tapi kenapa sih Mas masih belain dia? Yang terluka itu kita, Mas. Kamu, aku dan Adyan. Pernikahanku juga bermasalah dengan Rangga, itu semua gara-gara Mama yang banyak ikut campur. Begitupun dengan Adyan."

"Mas tahu itu, meskipun Mama bukan ibu kandung, tapi berkat dia Mas merasa punya keluarga. Setidaknya dia masih membuat Mas bisa merasakan keutuhan keluarga, tidak menjauhkan Mas dengan Ayah dan juga kalian bertiga, adik-adik Mas. Soal harta itu tidak jadi masalah buat Mas. Tidak menjadi pewaris Hutama Crop bukan hal yang harus di persoalkan."

Tisa tersenyum miris. Entah dia harus berbahagia atau bersedih. Sesimpel inikah Mas Farhan memandang masalah pelik keluarganya. Dengan jelas ia melihat ketimpangan perlakuan ibunya pada kakak tirinya. Tapi tetap dia menjadi kakak yang sayang pada ketiga adiknya. Memperlakukan mamanya dengan santun. Tidak pernah menjadikan ketidak adilan ini menjadi masalah atau beban.

"Aku ingin memiliki hati yang luas sepertimu, Mas. Tapi sangat sulit."

"Maka belajarlah untuk mengikhlaskan. Seburuk apapun Mama dia tetap orang yang berjasa pada kita. Yang jasanya tidak sebanding dengan keburukan-keburukannya."

Tisa memandang kakaknya dalam diam. Kakak tirinya ini luar biasa baik, pasti ibunya dulu orang baik. Wanita yang sudah pergi kehariban-Nya saat Mas Farhan kelas 4 SD, begitu cerita dari Papa. Dan Mbak Laras juga istri yang sangat baik menurut Tisa. Pantas serumit apapun masalah yang di hadapi, dia selalu tenang dan berhati lapang.

"Jika kamu memang memiliki banyak beban, cerita pada Mas. Kita ini adalah saudara yang harus saling melindungi dan menguatkan."

Tisa ingin saja menangis. Jujur dia merasa terenyuh mendengar kata-kata dari abangnya. Sosok abang yang sangat mencintai adiknya. Yang berada di dekatnya selalu merasa aman dan terlindungi. Tapi itu dulu ketika masa anak-anak dan remaja. Sekarang rasanya segan mengadukan segala masalah pada abangnya.

"Thanks Mas, maaf Tisa harus segera pergi. Kasih tau Tisa kalau Adyan sudah sadar."

"Ok, hati-hati Dek." ujar Mas Farhan lembut.

Tisa membalas dengan mengangguk dan pergi meninggalkan pelataran rumah sakit. ***