Subscribe Us

KELABU DI HATI RINDU

Kubuka majalah yang diberikan adiku, beberapa menit yang lalu.
“Mas Aley hebat Mbak, dia sudah jadi orang terkenal sekarang.” Ujar Arini dengan wajah antusias.
Aku menelan ludah getir, hebatnya dimana ? Bagiku jalan yang di pilih Aley tidak lebih sebagai sebuah kesalahan yang fatal.
Ah...Aley kenapa harus jalan ini yang kau pilih, tidak adakah jalan lain yang bisa mewujudkan eksistensimu sebagai seorang lelaki?
Aley  hebat bagi sebagian orang yang mulai mengakui keberadaannya. Dia berhasil menjadi juara pertama  dalam kontes kecantikan Waria se Indonesia. Tak jauh beda dengan kontes-kontes lain seperti Putri Indonesia, Miss Indonesia cuma bedanya WI kurang mendapat tempat, memicu pro dan kontra. Sebagai sebuah kelainan yang bila di akui statusnya akan menimbulkan bencana, begitu kata sebagian orang. Tapi bagiku mungkin negri ini, sudah kehilangan kekamilannya. Yang membuat negri ini  semakin bobrok.
Majalah ini memuat profile Aley, dia tampak begitu cantik dengan gaun birunya. Aku tidak percaya Aley yang tampan bisa di sulap jadi Putri biru. Sepertinya Aley sangat bangga dengan kewariaannya. ‘Life is full choice’ kata dia mengakhiri obrolannya di media.
Hm...masih bisakah aku menariknya kembali ke jalan Nya, sebagaimana  jalan yang kulalui dulu bersamanya.
Aley adalah sepupu tiriku beda nenek, dulu kakeku menikah lagi dengan nenek Aley yang berdarah Prancis itu. Kami sangat dekat karena selalu bersama kemanapun. Masuk sekolah yang sama sampai waktu kuliah, cuma bedanya  saat SMU dan Kuliah tak pernah satu jurusan. Tapi kedekatan itu masih tetap ada, apalagi Aley adalah perantaraku dalam mengenal islam menjadi muslimah seperti sekarang.  Aley lebih dulu hijrah di banding aku, tapi kini dia berbalik arah meninggalkanku semenjak kejadian setahun lalu yang membuat  jiwanya terguncang hebat.
“Ririn pengecut!” teriaknya marah di hadapanku. “Kenapa dia buka identitas masa laluku pada semua orang dengan mengatakan aku anak hasil selingkuhan, ibuku sebagai perebut suami orang. Hingga aku menjadi cibiran orang lain.” Ujarnya dengan kebencian  bercampur luka yang meraja.
Aku menarik nafas berat merasakan rasa sakit yang di rasakan Aley, dan aku cuma bisa mengatakan sabar mungkin Allah sedang mengujimu.
“Sabar  Rin, sudah bertahun-tahun aku bersabar. Tapi, kesabaranku tak pernah menjelma permata. Yang ada adalah duka. Aku di caci, di maki, di hina, di anggap sampah bahkan ketika menjadi orang baikpun di anggap sebelah mata. Padahal kesalahan itu bukan miliku, tapi milik nenek dan ibuku. Tapi kenapa aku yang harus menanggungnya? Menanggungnya Rindu?”
“Iya, kenapa?” bisik hatiku perih merasakan luka  di hati Aley, padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan. Ketika dia belajar agama sungguh-sungguh masih di anggap  sebelah mata. Mungkin manusia terlalu picik, kesalahan satu generasi harus ditumpahkan pada generasi selanjutnya.
“Padahal aku sama sekali nggak pernah meminta di lahirkan dari perempuan yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Nggak sama sekali!! Tapi kenapa Rin,aku yang harus menanggung kebencian orang-orang pada Ibuku, kenapa?!”
Aku menggigit bibir sakit, dan perasaanku seperti di cabik-cabik melihat Aley terluka. Aku sangat mengerti kesabaran manusia ada batasnya.
“Apakah salah jika aku ingin jadi orang baik-baik? Apakah jadi orang baik-baik harus terlahir dari orang tua yang baik juga? Dimana ke adilan Tuhan, Rin ? Dimana? Di saat aku tersaruk dalam perih, kenapa   Dia biarkan aku tetap terpuruk? Dimana kasih sayang Nya, yang selama ini kudambakan? Dari dulu hidupku tidak pernah berubah, perih luka,derita.” Ujarnya pahit merejam ulu hatiku.
Aku hanya bisa diam dengan airmata berderai. Haruskah ku jawab inikah ujian untukmu Akhie, demakin  tegar kau menghadapinya semakin tinggi nilaimu di mata Tuhan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam surat Al-ankabut  lalu berulang kali ku ucapkan kata sabar. Sementara bila kepahitan itu menimpaku,apakah aku akan sanggup menghadapinya?
“Rindu...tolong jawab kenapa?”
Aku diam hanya air mata yang mampu menjawab pertanyaannya.
Ya Allah kenapa Ririn setega itu, mengkoyak-koyak perasaan Aley. Padahal Aley saudaranya sendiri, meskipun saudara seayah tapi kenapa dia buka aib  dirinya pada semua orang, kalau Aley adalah anak dari seorang Ibu yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Mungkin dia punya dendam tersendiri karena ibunya telah di sakiti.
Apakah  harus  kusalahkan juga Tante Audry perempuan cantik itu?
Kesalahan masalalu yang seharusnya  terkubur waktu, kenapa harus terkuak menggoreskan sembilu bagi orang yang tak pernah tahu di mana letak kesalahannya?
“Rin, kenapa kamu tetap diam? Bahkan kamu orang terdekatku yang harusnya lebih mengerti aku, tidak mampu menjawab luka yang merejam di jiwaku.”
“Aley, kamu ini ngggak salah. So, nggak usah dengar  semua asumsi orang-orang tentang kamu.  Jika kamu terus menerus menelan omongan mereka, hanya akan membuat dirimu makin hari makin hancur. Aku ingin kamu setegar dulu Ley, jangan biarkan orang-orang menginjak harga diri kita,”
“Tapi aku sudah lelah menghadapi semua ini,  Rindu.  Ketegaranku  sudah terkikis habis.  Aku benci Tuhan, karena dia terus membiarkanku kesakitan. Aku benci Mama, perempuan yang bisanya cuma merusak kebahagiaan orang lain, tak jauh beda dengan nenek. Aku juga benci dengan Papa, laki-laki yang tidak punya kesetiaan pada keluarga, tiap melihat perempuan cantik sedikit ingin saja mengambilnya untuk di jadikan Istri. Seandainya Papa lelaki yang baik, tentu dia akan setia pada keluarganya, tanpa harus menikahi Ibuku dan aku tak akan pernah menderita seperti ini!” geramnya marah.
Aku  bergidik ngeri ketika mendengar nama Tuhanpun ikut dipersalahkan.
“Istigfar Ley, hadapi semua dengan kesabaran. Saat kau terus di uji, maka ketakwaanmu semakin meninggi.”
“Sudahlah Rindu, jangan pernah nasehatiku lagi, aku lelah. Mulai detik ini aku tidak percaya lagi pada Tuhan...pada semuanya...biarkan aku memilih jalanku sendiri.”
Dan aku hanya bisa menangis ketika mendengar kata-kata terakhir Aley. Semakin hari dia semakin jauh dari Aley yang  dulu. Kabar yang paling menyakitkan ketika  mendengar dia bergaul dengan komunitas gay.
“Kenapa? Kau benci dengan jalan yang ku pilih, Rindu? Muak, jijik...aku  tak peduli kau memandangku seperti apa, tapi inilah jalan yang kupilih dan tak akan ada seorangpun yang bisa menghalangi jalanku.” Ujarnya penuh keyakinan ketika aku menanyakan kebenaran tentang kabar Aley  menjadi Gay.
Aku menangis sedih tak bisa menyadarkannya.
“Aley masih ingatkah tentang kisah kaum Shodom...?”
Aley tersenyum sinis.
“Dongeng masa lalu, pengantar tidur...kalau pun benar kenapa mereka pengikut kaum shodom yang ada saat ini, nggak dikutuk Tuhan? Mereka sudah ada dalam jumlah yang besar  Rindu, tapi toh kehidupan aku dan mereka tenang-tenang saja.”
“Astagfirullah...apakah bencana memang harus datang untuk...”
“Ya...kalau kisah itu memang benar, tentang kaum Shodom yang dikutuk Tuhan berarti kami pun akan mengalami nasib yang tak jauh beda. Buktinya fine-fine aja.”
“Aley...bertahun-tahun kita bersama dan ketika hidayah itu datang kepadamu, menerangi jiwamu dan membagikannya kepadaku...apakah kau akan melepaskannya begitu saja?”
“Pergilah Rindu, aku muak mendengar kata-katamu. Jika kau sudah tak mau menerimaku, pergilah jauh. Di matamu aku memang menjijikan! Kau terlalu suci untuk berada di dekatku.”
 Dan akupun pergi, Aley sudah memilih jalannya  meski sekuat tenaga aku mengajaknya kembali, dia malah habis-habisan membenciku. Teman-teman di Rohis menanyakan kenapa Aley berubah, aku hanya bisa menggeleng termasuk saat mama dan papa bertanya keberadaan Aley.
“Kenapa Rin, kamu kan yang paling dekat dengan Aley? Kamu pasti lebih tahu banyak tentang dia.”
“Mama  dan Papa bisa tanya  pada Aley langsung, kenapa dia lebih memilih jalan terkutuk itu.” Ujarku kesal plus masih sakit hati atas pengusiran Aley terhadapku.
“Astagfirullah, Rindu, kamu nggak boleh berbicara seperti itu.” Tegur Mama tidak suka mungkin aku menyebut jalan terkutuk yang di pilih Aley.
“Iya Rindu, dia masih tetap saudaramu yang meski di ajak pulang. Semua ini pasti ada sebabnya Aley berubah.” Papa ikut menimpali.
“Mama dan Papa bisa tanyakan pada Tante audry, Om San,  juga nenek, dan Ririn karena merekalah sumber kebencian Aley yang membuat dia berubah.”
Mama dan Papa saling pandang.
“Kenapa harus mereka?” Mama tidak mengerti.
“Karena merekalah yang membuat Aley menderita seumur hidupnya. Menanggung kesalahan yang tidak pernah dibuatnya. Tante Audry yang sudah merebut suami orang, Om San laki-laki yang tidak bisa setia pada satu keluarga, nenek Alice yang juga merebut suami orang lain, juga Ririn yang sudah membongkar identitas Aley bahwa dia adalah seorang anak hasil perselingkuhan di depan semua orang, di kampus. Itulah yang membuat  Aley menderita.
Mama dan Papa saling pandang.
“Hanya itu?” Papa seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan.
Aku mengngguk lelah.
“Rindu, kamu yang paling dekat dengan Aley, dan yang paling mengerti perasaannya. Mama pingin kamu bisa membawanya kembali pulang. Please nak, kamu sayangkan sama dia? Mama yakin kamu bisa.”
Glegh...aku menelan ludah pahit. Apakah aku harus mengemis-ngemis agar dia kembali pulang dengan mendakwahinya sepanjang jalan kenangan ,lalu aku di caci maki dengan kata- kata kasar dan di usir nya pulang?
“Lakukan Rindu, jangan biarkan Aley semakin jauh berlari dari kita. Kau bisa Nak, Papa sangat yakin.” Suara Papa penuh ketegasan membuatku tak berkutik menuruti keinginannya.
Tapi aku tak bisa janji, karena risalah hati seseorang adalah rahasia Nya.

Dan hal yang paling ku benci ketika Tante Audry menangis menghiba di hadapanku agar  aku bisa membawa Aley pulang  untuk menjadi pemuda yang saleh seperti dulu. Kenapa tidak wanita cantik ini sendiri yang melakukannya? Kemana dia, di saat Aley menjadi aktivis Islam yang tak lelah menebarkan risalahnya. Dia malah sibuk dengan gila shopingnya berkeliling Eropa, menclek di Paris, kiblat segala mode fashion dunia, sibuk memburu berlian untuk di jadikan bahan koleksinya atau tenggelam dengan bisnis butiknya yang penuh dengan orang- orang  kelas atas. Ibu yang seharusnya bangga memiliki pemuda saleh seperti Aley, jangankan untuk memotivasi menengok pun sangat  jarang, paling sesekali menanyakan kabar dan kamu butuh uang berapa?
“Tante malu Rin, punya anak seorang waria.” Ujarnya dengan air mata bercucuran.
Malu?  Bukannya Aley lebih malu memiliki Ibu yang bisanya cuma merusak rumah tangga orang lain. Berstatus sebagai  istri simpananan seorang  pejabat teras.
“Saya sudah mencobanya Tante, tapi Aley malah mencaci maki dan mengusir saya. Coba sama Tante sendiri, tante kan Ibunya.”
Air mata wanita cantik itu malah semakin deras, entah apa yang ada dalam pikirannya. Ibu yang tak pernah ada, begitu Aley menyebutnya. Karena Aley lebih suka menganggap mama dan papaku sebagai orang tuanya ketimbang Tante Audry.  Jadi wajar kalau mama, papa  lebih terpukul dan pantas bersedih ketika Aley memilih jalan yang bagi sebagian orang adalah sebuah kelainan.
“Tante dan Om San sudah kesana Rindu, menemui Aley di apartemennya, tapi dia malah mengusir Tante. Dan dia mengatakan pada Tante akan menikah dengan pacarnya minggu depan di Belanda. Tante sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan Aley, makanya Tante kesini memintamu sekali lagi untuk menyadarkannya. Tante mohon rindu, karena hanya kamu yang paling dekat dengannya.
Ah...kenapa semua orang memintaku? Padahal aku ini siapa? Bukan siapa- siapa, hanya seorang hamba yang tertatih mencari kebenaran Nya. Sementara Rasulullah sendiri tak mampu mengajak pamannya untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
“Rindu akan mencobanya lagi Tante, do’akan semoga hidayah itu kembali hinggap di hatinya.”
“Semoga berhasil Rindu, Tante sudah banyak berhutang budi kepadamu. Maaf jika Tante sering merepotkanmu.”
“Tidak apa- apa Tante, jika sudah bersangkutan dengan masalah akidah semua orang wajib untuk ikut andil menyadarkannya tak peduli perih akan menyapa di dalamnya.
                       ****
Rumah bergaya minimalis itu sudah berada di hadapanku. Ada rasa tidak enak menyelinap ruang hatiku. Ah...aku harus maju tak boleh mundur jika sudah berada disini.
“Mbak cari siapa?” tiba seorang wanita setengah baya membukakan pintu .
“Saya saudara sepupunya Aley...apa dia...” belum tuntas aku menyelesaikan kalimatku, tiba- tiba dari dalam rumah keluar sosok yang aku kenal mendorong travel bagnya, di iringi seorang lelaki tampan berdarah indo. Pikiranku semakin kacau, teringat ucapan Tante Audry jika Aley akan menikah di Belanda minggu depan. Jangan- jangan...
“‘Rindu..” Aley terlihat kaget melihatku. “Untuk apa kamu kemari?” tambahnya dengan raut wajah tidak suka melihat kedatanganku.
“Aley...” tiba-tiba lidahku kelu.
“Sudahlah Rindu, kamu jangan bermimpi aku bisa jadi bagian dari masalalumu, kecuali kamu dan semua orang yang pernah hadir dalam hidupku bisa menerimaku dengan keadaan yang sekarang.”
“Aley apa kamu tidak ingat...”
“Tentang kaum shodom yang di kutuk Tuhan, tentang dosa, Syurga juga Neraka. Sudahlah Rindu, aku bukan anak kecil lagi, yang bisa ditakuti dengan cerita-cerita semacam itu. Jika kamu muak dan jijik pergilah, tapi ingat aku bahagia dengan keadaanku yang sekarang.”
Aku menelan ludah pahit, ternyata  susah banget untuk menarik Aley kembali.
“Aku di suruh Mama, Papa dan Tante Audry untuk datang kemari.”
“Aku tak peduli.  Meski kau datang di suruh seorang Nabi,  kamu tidak akan mampu mengubah apa yang aku jalani saat ini. Tiga hari lagi aku menikah di Amesterdam, kenalkan ini calon suamiku, Wiliam.” Ujarnya sambil menunjuk lelaki tampan yang ada di sebelahnya.
“Hai, hello. My name is wiliam. Nice to meet you.” Dia menyodorkan tangannya.
Aku terdiam beku.
“Dia nggak bersalaman, honey.”
“Oh...I’m sorry.”
“Sorry   Rindu, sekarang aku harus pergi ke Bandara buat pergi ke Amesterdam.”
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, mendung  menguasai jiwaku.  Tuhan apakah nggak ada cara lain untuk mengembalikan saudaraku agar bisa kembali lagi pada Mu. Dengan perasaan perih aku berbalik pergi tanpa sempat pamit.
THE END

           

NOVEL: MUJAHID# 1



             Bagian Satu
Jum’at  bertepatan dengan bulan Ramadhan mendung menyelimuti persada tercinta. Wajah-wajah bersirat duka siap memuncratkan kristal beningnya karena hari ini bertepatan dengan ekskusi seorang mujahid menuju tiang gantungan. Mujahid yang di tuduh sebagai anggota jaringan teroris international yang sudah banyak melakukan kerusakan di negri ini dengan merusak fasilitas-fasilitas umum atas nama jihad.
Wajah lelaki itu tetap tenang meski sebentar lagi dirinya akan di iring ke tiang gantungan. Tubuhnya kokoh  menantang kematian yang sebentar lagi bakal merengutnya. Laungan dzikir tak henti mengaliri dadanya.
Rabb...jika memang tiang gantungan adalah akhir semua perjuanganku semoga   ini adalah jalanku untuk bertemu dengan engkau...
Tiba-tiba dua orang algojo bertubuh sanggar dan bengis menarik tubuhnya dengan kasar berjalan menuju tiang gantungan . Takbirpun bergumuruh dalam  dadanya, inilah penantian akhir yang selalu ditunggunya bahwa syahid adalah cita-cita terindahnya.
***

Ruang besuk Lembaga Pemasyrakatan, tampak seorang wanita usia tiga lima bermata sembab karena menangis menyadari suaminya sebentar lagi akan di ekskusi karena telah banyak melakukan kerugian terhadap negara, melakukan teror di berbagai tempat itulah tuduhan pemerintah yang di tunjukan pada suaminya yang  di sebut oleh sebagian orang adalah aktivis islam yang sangat radikal. Mujahid mengusap lembut air mata yang mengalir di wajah istrinya.
“Ummi kenapa kau menangis, apakah kau sedih Abi besok di ekskusi? Kematian bukanlah akhir kebersamaan kita, tapi kematiaan adalah perjuangan kita di hadapan Tuhan. Semua perjuangan yang telah kita semai tidak ada yang sia- sia sayang, bukankah Dinullah tak akan tegak tanpa pengorbanan?”
“Sedih adalah sesuatu hal yang wajar Abi, sangat manusiawi. Tapi Ummi juga bangga memiliki suami Syuhada, tujuan Abi sebentar lagi tercapai.”
“Alhamdulillah jika kau bisa tegar. Titip anak- anak ya, sayang jika besok Abi menghadap Allah. Didik Wafa agar dia bisa menjadi pemuda islam setangguh Muhamad Al Fatih, ingat dengan hadist Rasulullah, sayang. Tentang  janji pahlawan islam akan bisa  menaklukan Roma. Konstantinopel sudah berhasil di taklukan Muhamad Al- Fatih tinggal Roma menanti pemuda Islam merebutnya . Semoga anak yang terlahir dari keturunan kita yang bisa jadi penakluknya.  Titip Zahra juga, semoga dia bisa jadi wanita teladan secerdas Aisyah yang selalu di nanti ummat.”
Aisyah mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Sanggupkah esok dia menjalani hidup tanpa seorang pendamping yang selalu menguatkan perjuangan dakwahnya?
“Sayang  semalam aku mimpi bertemu Ibnu Taimiyah, kau tentu tahu siapa dia seorang ulama besar, pejuang Islam yang lahir di Harran itu beliau bilang ‘orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara hatinya dari Rabb-nya. Orang yang tertawan ialah orang yang di tawan oleh hawa nafsunya. Akupun berjumpa dengan Sayyid Qutub, Hasan Al banna, Syekh Ahmad Yassin mereka semua menasehatiku untuk bersabar menghadapi ujian ini.”
Aisyah mengangguk perlahan sambil berusaha tersenyum dan Mujahid menarik kepala istrinya kedadanya.
***
Pernikahan dua sejoli itu berakhir dengan indah meski dirayakan dengan sangat sederhana namun penuh dengan suasana islami. Wajah-wajah penuh bahagia terpancar dari wajah sepasang  pengantin  itu. Janji sudah terikrar, sekuat janji yang di ikrarkan para nabi dan rasulnya.
Perlahan  Mujahid membuka cadar  yang menutup wajah Aisayah bidadari yang telah di persutingnya beberapa menit yang  lalu dan menatapnya dengan penuh kelembutan.
“Mengapa kau mau menikah denganku, wahai bidadari penyejuk jiwa? Kau tahu pernikahanku denganmu akan membawa kita pada ujian yang begitu berat, karena jalanku adalah menempuh syuhada.” Ujar Mujahid bahagia sekaligus sedih membayangkan jalan yang Bakal direntas kedepan menjadi pejuang islam. Apakah Aisyah akan setegar Khadijah yang begitu tegar mendampingi perjuangan sang Rasul diawal penyebaran dakwahnya.
Cita-cita mujahid dari dulu memang menjadi mujahid seperti nama pemberian kedua orang tuanya. Menjadi pejuang islam menegakan Dinullah. Dari kecil umi dan abi sudah mendidiknya dengan ajaran tauhid yang kental, memberikan bacaan-bacaan yang berisi kisah para pejuang islam. Dia kagum dengan Khalid bin Walid yang di setiap gerak langkah perjuangannya selalu berhasil dengan kemenangan yang gemilang, senantiasa merindukan syahid namun wafatnya di pembaringan. Dia juga sangat kagum pada Muhamad al- Fatih karena di usia yang begitu muda delapan belas tahun sudah mampu menaklukan konstantinopel begitupun pada Salahudin Al- Ayubi yang bisa memenangkan peperangan di perang salib.
Mujahid pun sangat mengagumi pahlawan Hamas Syekh Ahmad Yasin, menginginkan menjadi Mujahid seperti Yahya Ayash yang membuat gentar para Yahudi laknatullah atau bisa seperti Jendral Dudayef, panglima Samil Baasayef dan para pahlawan dari checya semua itu sudah di persiapkan dengan matang mengkristal dalam jiwanya.
Aisyah menatap suaminya dengan pendar cinta.
“Karena impianku adalah menikah dengan pangeran yang langkahnya merentas jalan ke Syurga agar dari rahimku kelak terlahir pahlawan islam setangguh Khalid bin Walid...”
Laungan syukur membuncah di dada mujahid atas anugrah yang di karuniakan Allah kepadanya. Karena dia sudah mengirimkan bidadari sebagai pendamping hidupnya yang akan mendukung seluruh gerak perjuangannya. Dan Mujahidpun mengajak istrinya melakukan shalat dua rakaat di lanjutkan dengan berdoa meminta di berikan keturunan yang soleh-sholehah yang kelak dari keturunannya akan terlahir mutiara-mutiara islam yang mampu menerangi peradaban islam.*** (Bersambung)

CINTA DI ATAS BARA # 1



Aleya...
Cintamu menyapa dalam galau
Membius resah yang tak berkesudahan
Walau pesonamu tak memudar
Namun aku tak mampu memberimu keputusan
Menyandingmu dalam syurga para Raja

Malam bersinar rembulan, jelita menghias langit . Seorang lelaki termenung di atas balkon rumahnya di temani sepi dan dinginnya angin malam. Pertentangan yang hebat akan cintanya pada gadis Yahudi membuat dia ragu untuk memutus langkah, tapi cinta itu sudah mendarah dalam hatinya.
Pertentangan demi pertentangan dari keluarga dan teman-teman dekatnya, menggoncangkan imannya yang labil.
“Hati-hati terhadap cinta, Sayyid. Cinta terhadap dunia dan wanita adalah hal yang sangat membahayakan.” Ujar Amir menepuk bahu Sayyid lembut,membuyarkan kegalauannya.
“Aku sangat mencintai Aleya, Amir.” Jawab Sayid perih.
“Cinta yang harus menggadaikan Iman? Ingat kita ini muslim Sayyid, jika masih banyak muslimah yang lebih pantas kau nikahi, kenapa harus memilih Aleya yang Yahudi? Bukankah dengan menikahi muslimah akidah kita lebih  terjaga? Dan tentunya kita butuh generasi yang baik. Semua itu tidak akan kamu dapat jika menikah dengan Aleya.” Panjang lebar Amir mengingatkan sepupunya yang sudah terbius cinta.
“Tapi aku nggak bisa lari dari cinta ini, Amir. Aleya dengan segala pesonanya sudah mematikan sel-sel syarapku untuk menerima cinta lain.”
Amir menarik nafas berat. Akankah hal ini terjadi di keluarganya? Mencoreng noda hitam di sejarah keturunannya. 
Kakeknya seorang ulama besar yang pernah jihad ke Afganistan. Keluarganya sangat religius. Banyak hal yang berubah dengan Sayyid, sepulang dia dari pendidikannya di Amerika.
'Jika misimu menikah dengan Aleya cuma karena cinta,begitu lemahnya imanmu Sayyid. Sementara Aleya mampu membius cintamu, aku yakin dia mempunyai misi yang lain.
 Yahudi dengan segala kelicikannya takan mungkin begitu saja menerima cinta lelaki berbeda agama seperti engkau tanpa sebuah misi yang tersembunyi. Karena aku tahu dan engkaupun pasti tahu Sayyid, jika Aleya dengan kekentalan Yahudinya, dia tidak akan semudah itu menyerahkan cintanya pada seorang muslim. Dari kecil dia sudah didik untuk membenci agama kita, islam.
Kekalahan mereka  di perang salib membuat Louis IV dan para pengikutnya sangat benci terhadap islam. Dan mereka berpikir terus menerus bagaimana caranya menghancurkan islam. Misi mereka berhasil dengan menyebarkan paham-paham sekuler mereka, dengan mengatas namakan demokrasi atas nama HAM dan westernisasi besar-besaran yang akhirnya bisa menghancurkan Khilafah terakhir Turki Usmaniyah.
Lantas ketika mereka berhasil mengobrak-abrik kaum muslimin di seluruh penjuru dunia , kau malah mempertahankan cintamu dengan segala cara pada gadis yahudi itu. Ini sangat melukai hatiku Sayyid, juga kakek buyut kita. Umat islam saat ini sedang sakit, sakit yang teramat parah. Harusnya kita sebagai generasi muda berpikir keras untuk membangkitkan kejayaan yang telah hancur. Mengumpulkan kembali keping mutiara yang berserakan.
Kemana ketaatanmu pada Allah dan Rasul Nya yang dulu sempat engkau miliki, Sayid?  Kemana mengaburnya keinginan jihadmu, ketika musuh-musuh Islam berhasil menciptakan ‘genocide’ di belahan negri-negri muslim?  Seperti  Palestina, Checya, Somalia, Bosnia, Afgan juga Irak.  Bukankah dulu engkau begitu merindukan Syahid di medan juang? Iklim Amerika yang liberal, begitu mudah mengikis idealismemu yang sempat membaja dihati dan akupun kagum akan ghiroh islammu.'
Kekhawatiran ini berbuah nyata, ketika aku begitu takut Amerika akan mengubah cara berpikir mu, ketika kau memutuskan untuk mengambil S2 mu di New york University. Saat itu aku bertanya mengapa engkau tak memilih Al- Azhar atau Universitas Umul Quro di Madinah?
“Aku akan baik-baik saja Amir selama ada di Amerika nanti. Kamu tahu kesempatan untuk dakwah disana lebih luas. Insya Allah selain mencari ilmu aku juga memiliki kesempatan untuk berdakwah.” Katamu sangat yakin.
Namun kini, ah...sungguh engkau begitu jauh dengan dirimu sebelum berangkat ke Amerika. Aku sedih Sayyid, kehilangan separuh dirimu yang dulu sangat ku kagumi. Selain cerdas kau begitu religius dan aktivis harapan islam dalam menyebarkan Dinullah. Ketika semuanya sudah terkontaminasi yang tersisa hanya kerapuhan.
“Hanya Aleya yang bisa memahami diriku, Amir.” pelan  Sayid berucap.
“Karena engkau begitu sangat mencintainya.” Perih aku mengucap kata-kata itu. 
“ Mungkin, ya.  Sehingga hari- hariku tak lepas untuk memikirkannya.”
“Wanita adalah racun yang paling berbahaya, Sayid. Yang meruntuhkan kesejatian laki-laki.”
“Tapi membela cinta bukan sebuah dosa. Kau tahu sejarah telah mencatat para pembesar dunia dalam mempertaruhkan cintanya pada seorang wanita. Ketika Napaleon Bonaporte harus tersingkir dari tampuk kekuasaannya, karena membela cintanya terhadap Margaret Yospian, Julius Caesar yang begitu tergila- gila pada Cleopatra dan bahkan sang sastrawan besar seperti Khalil Gibran pun pernah merasakan hidupnya sengsara karena cintanya pada Sema Al Kharami tidak kesampaian akibat di rebut penguasa.”
“Cinta adalah sesuatu hal yang wajar Amir untuk dirasakan oleh setiap manusia. Jika Tuhanpun menciptakannya untuk di nikmati manusia dengan segala pesonanya, mengapa engkau sendiri melarangnya?”
Aku terdiam dalam kebekuan angin malam. Bukan- bukan diam karena pembelaanmu tentang cinta, tapi aku merasa ada sesuatu yang telak menampar jiwaku. Seperti sebuah slide yang di putar ulang ingatanku berputar ke masa lima tahun silam. Aku mengenalmu sebagai sosok yang religius dengan pemahaman Islam yang bagus.  Memiliki jiwa leader yang hebat sehingga wajar  jika engku pernah di amanahi sebagai ketua Rohis Kampus. Masih ingat saat engkau mengisi kajian dengan tema  ‘ Manajemen Cinta’ di depan peserta yang kebanyakan adalah remaja SMU, kau beberkan  pengaruh pacaran masa kini dan bagaimana Islam memandangnya? Teorimu menyedot antusias remaja untuk bertanya. Dengan gaya bicara yang mengalir, hangat dan kocak, kau membuat para peserta kajian puas dengan semua penjelasanmu.
“Kau masih ingat dengan kajian manajemen cintamu saat jadi pembicara di kajian Isalm remaja lima tahun lalu, bukankah cinta adalah sesuatu hal yang harus dijaga? Karena berawal dari cintalah hati kita terkontaminasi bla...bla...bla...”
“Hidup adalah sebuah perubahan Amir. Dan jika kini aku berubah bukan sebuah kesalahan tapi sesuatu hal yang wajar.
Gleg...Amir sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk  menyadarkan jiwa Sayyid yang sudah teracuni syetan cinta yang begitu dasyat.
“Apapun yang akan kalian lakukan supaya aku mundur untuk menjauhi Aleya, aku akan tetap melangkah.”
“Meskipun dengan konskewensi akidah mu harus tergadai?”
“Persyetan dengan akidah, persyetan dengan islam, persetan dengan jihad, persyetan dengan khilafah.  Aku tidak mau memikirkan hal itu lagi Amir, aku sudah lelah. Sekarang yang ada  dalam otaku bagaimana aku bisa merealisasikan impian yang telah di rancang indah bersama Aleya.”
“Astagfirullah Sayyid, kamu tahu kita ini siapa? Aktivis dakwah yang selalu dinanti umat dengan segala ide dan aksi- aksinya. Kita ini keturunan seorang ulama yang didik dengan keislaman yang sangat baik . Bagaimana jadinya jika kamu sampai menikah dengan gadis Yahudi itu, tentu akan menjadi catatan hitam di keluarga kita? Jangan nodai perjuangan yang telah di semai oleh leluhur kita hanya gara-gara hal sepele ‘cinta’.”
“Aku tidak mau mundur kebelakang Amir. Aktivitas dakwah itu dulu. Sekarang apapun yang ingin aku lakukan itu adalah hak ku, kamu tak akan bisa menghalangi keinginanku.”
Amir diam. Dia sudah lelah menasehati pemuda di depannya. Sayyid bukan lelaki  awam persoalan agama yang harus menjadi target dakwahnya. Pemuda didepannya adalah pemuda yang dulu sangat alim, cerdas, aktivis dan intelektual hanya gara-gara wanita dia bisa sekacau ini. Ah...betapa hebatnya pengaruh seorang Aleya hingga bisa membrain wash  seorang pemuda yang pernah menjadi kebanggaannya.
Aleya...singa betina terkutuk! Racun apa yang sudah kau sebarkan pada sepupuku ini? Tunggu pembalasanku! Karena hanya kaulah sang target utama agar aku bisa menarik kembali Sayid untuk  menjadi pemuda ke banggaan Islam. Geram sekali hati Amir pada gadis Yahudi itu.
                                                                                  ****