Subscribe Us

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

MENYAPA RINDU

Selalu ada rasa pilu menyusup kalbu tiap kali aku melintas bangunan Madrasah Diniyah, tempat di mana anak-anak menimba ilmu agama. Disana pernah terukir kisah pilu yang merengut jiwa adiku menjumpai sang pencipta Nya. Mencipta kesedihan yang tak terkira di hati ibu, bapak juga aku.
Faiz, aku rindu semua kenangan tentangmu. Tentang kenakalanmu, kecerianmu, kecerdasanmu, kebaikanmu. Semua tentangmu. Jika mengingatnya mencipta kerinduan, dan juga kesedihan yang teramat dalam.

PENGABDIAN

Kenapa harus memilih  bertugas ditempat terpencil Al?” Bapak menatapku seperti tidak setuju akan keputusanku untuk mengabdikan diri mengajar di daerah terpencil saat kuperlihatkan SK tugasku.

Aku menarik nafas.  Pasti akan terasa berat bagi bapak melepasku, seberat bapak dulu melarangku untuk kuliah di Fakultas keguruan,karena harus mengikuti jejaknya seperti bapak  sebagai akuntan dan ibu sebagai dokter gigi. Terbayang kembali perdebatanku dengan bapak lima tahun yang lalu dan aku harus bertarung memenangkan idealismeku.

“Kenapa harus masuk fakultas keguruan Al? Kamu dengan prestasimu,bisa memilih masuk jurusan-jurusan berkualitas. Bisa masuk hukum, kedokteran, tehnik atau psikologi  dan bapak mampu membiayai kamu.”

“Karena negara sedang membutuhkan guru-guru yang berdedikasi dan berkualitas Pak. Yang menjadikan pengabdian bukan sebagai pelarian karena sulitnya mencari pekerjaan dan mencari kenyamanan  mengejar PNS.

Tapi menjadi guru benar-benar panggilan jiwa untuk mempersiapkan generasi yng cerdas dan berkualitas.  Bapak tahu kenapa Jepang bisa menjadi bangsa yang maju di segala bidang, padahal kemerdekaan kita dan kehancuran negri mereka, saat Nagasaki dan Hirosima di bom atom tidak jauh berbeda.

Jepang dalam 65 tahun sudah jauh meninggalkan kita, mereka mampu menjadi negara macan Asia, sedang kita masih tetap jadi negara ketiga dengan segala kebobrokan yang ada. Bapak tentu tahu apa rahasia kemajuan mereka? Karena pemerintah Jepang  tahu arti penting seorang pendidik yang bakal melahirkan puluhan,ratusan bahkan ribuan generasi yang berkualitas.  Maka tak heran saat kekalahan Jepang pada sekutu, yang ditanyakan sang kaisar  bukan berapa jumlah perajurit yang terbunuh ,tapi berapa jumlah guru yang tersisa. Begitupun negara tetangga Malaysia, mereka sudah jauh kemajuannnya di banding kita karena negara sangat memfasilitasi dan mensejahterakan kehidupan gurunya.” Jelasku panjang lebar membuat bapak tidak banyak berkomentar dan meluluskan permintaanku.

“Jika itu memang idealisme mu, kejarlah.  Bapak bangga pada kamu Al, yang memiliki cita-cita mulia ingin  mempersiapkan generasi yang berkualitas. Bangsa ini sedang sakit parah, termasuk di bidang pendidikanpun sistemnya sudah rusak. Harus ada pembaharu yang berani mendobrak dengan terus menyemai bibit-bibit berkualitas yang nantinya menghasilkan buah yang unggul.”

“Alhamdulillah ya Allah...” laungan syukur membuncah didadaku karena dukungan bapak.

“Tapi kenapa harus di daerah yang sangat jauh, Al? Jika memang kamu ingin mencerdaskan bangsa, kamu bisa mengajar di sini. Kamu bisa memilih untuk mengajar di sekolah-sekolah unggulan, sekolah islam terpadu. Dengan IPK mu yang 3,9 dan pengalaman 2 tahun mengajar bapak yakin kamu bisa di terima, jika kamu melamar ke sekolah- sekolah elit yang ada di kota ini.” Tanya bapak membuyarkan lamunanku,tentang pertarungan idealismeku lima tahun lalu.

Aku menggigit bibir perih melihat realita pendidikan negri ini yang sangat terlihat ketimpangannnya. Pendidikan berkualitas hanya bisa di rasakan oleh kaum the have, sedang orang-orang miskin hanya mendapat pendidikan dengan kualitas yang seadanya. Bagaimana bangsa ini akan maju dan cerdas jika dari segi pendidikan saja sudah banyak ketimpangan? SD-SLTP gratis ,tapi masih banyak orang yang putus sekolah. Apakah ini akibat sistem negara yang menerapkan sekularisme ? Yang melahirkan ekonomi kapitalis di bidang ekonomoi, di mana pemerintah lebih membela kaum pemilik modal. Demokrasi di bidang politik, sosial budaya yang liberal, di bidang sosial dan sistem pendidikan sekuler yang jauh dari nilai agama di bidang pendidikan dan jelas di semua bidang akan melahirkan kebobrokan.

“Kalau aku memilih menjadi guru di sekolah berkualitas, lalu bagaimana dengan pendidikan daerah terpencil Pak? Padahal mereka pun berhak  sejajar untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.  Di sini masih banyak teman-teman lain yang memiliki komitmen sama untuk mencerdaskan bangsa ,sedang aku biarlah mengabdikan diri mencerahkan bangsa di daerah yang masih jauh dari fasilitas modern biar menjadi tantangan bagiku.”

“Tapi kamu adalah anak perempuan bapak satu-satunya, bapak tak tega rasanya melepaskanmu sendirian ke tempat yang bapak sendiri tidak bisa mengawasimu.” Ujar Bapak sedih.

Mataku berkaca atas kekhawatiran bapak. Wajar dia takut kehilangan. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga ini ,dan yang paling dekat dengan Bapak.

“Insya Allah aku akan baik-baik saja Pak, tentunya dengan do’a bapak yang senantiasa di panjatkan pada Allah setiap saat. Hari libur, bapak juga kan bisa sering ke sana bersama ibu untuk menengok ku.”

“Ok lah, kalau itu memang sudah ke inginanmu, bapak tidak bisa melarang. Tidak bijak sebagai seorang ayah menghambat impian putrinya. Bapak bangga padamu tidak memiliki impian yang muluk, tapi di mata bapak cita-citamu sangat mulia.”

Aku mencium tangan bapak sebagai ungkapan rasa terima kasihku dan bapak menarik kepalaku kedadanya,  mengelus jilbabku lembut. Kebersamaanku dengan bapak mungkin perlahan akan memudar, akan jarang lagi waktu senggang bersama bapak berdiskusi membahas masalah umat, membahas degradasi negri di mata generasi atau sekedar refreshing jalan-jalan sambil mampir ke warung-warung makan yang ada di pinggir jalan. Ah, bapak kaulah laki-laki idealku yang selalu mengajarkan kepadaku tentang kesederhanaan, keberanian, ketegasan, kepedulian namun tidak menghilangkan sosok kelembutan sebagai wanita yang tetap harus ku miliki.
***

Sekolah pengabdian. Kutatap bangunan yang bakal jadi tempatku mengajar begitu rapuh. Dingding ruangannya lembab di tumbuhi lumut, atapnya banyak yang bolong mungkin kalau hujan besar  pasti akan terjadi banjir bandang di sekolah ini, begitupun dengan bangku-bangkunya sudah tak layak untuk di pakai.

Ingin saja ku menangis menatap kenyataan pendidikan di negri yang sudah merdeka, tapi fasilitasnya seperti di negri yang masih terjajah sangat ironis dengan pendidikan yang aku dapatkan saat masih sekolah dasar dulu. Bapak kalau kau ada disini kaupun pasti akan merasakan kesedihan yang sama denganku. Melihat bangunan yang hampir rubuh, melihat generasi-generasi yang lusuh dan kurang gizi akankah ilmu yang ku ajarkan pada mereka bisa terserap dengan baik?

Dulu aku melihat sekolah-sekolah rusak hanya di koran- koran, tapi  sekarang di depan mata kepalaku sendiri, wajah- wajah kurang gizipun terpangpang jelas di hadapanku. Ini menandakan pemerintah benar-benar gagal mensejahterakan rakyatnya, dan rakyat terus di bodohi dengan data statistik manipulasi bikinan pemerintah yang menyatakan bahwa kemiskinan terus menurun 13,3% atau 31,9 juta jiwa  dengan penghasilan Rp 211,726 perkapita perbulan dengan penghasilan Rp 5500 / hari sementara kebutuhan masyrakat  yang termasuk kategori miskin saat ini mencapai 25000-30000/ hari. Perkiraan bank dunia terdapat seratus juta orang miskin yang ada di negri ini, lalu kemana hasil SDA yang melimpah ruah di negri ini larinya? Kekantong swasta dan asing sedang rakyat makan nasi aking dan tiwul.

Kususut air mataku yang semakin meler aku tak boleh cengeng berada di sini. Harus ceria dan tegar seperti anak-anak didiku meski mereka kekurangan gizi hidup dalam kemiskinan, tapi mereka seperti tak punya beban. Mungkin mereka tidak tahu bahwa mereka  hidup di negri kaya raya tapi SDA terus menerus di hisap bangsa asing.

Data Walhi 2008 menyebutan 84% migas indonesia di kuasai bangsa asing sedang sisanya yang ke banyakan sumur tua di kuasai pertamina dan anehnya pemerintah malah berencana menjual aset negara yang terbukti sangat sehat dan meguntunggkan negara karena tekanan IMF atas nama privatisasi. Indonesiapun 70% sebagai pengekspor batu bara, pengekspor LNG terbesar di dunia dan mengekspor  500bph minyak.  Tapi kenapa listrik sering padam, rakyat antri gas, minyak tanah juga bensin? padahal jika semua energi di gunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyat  negri ini tidak perlu impor BBM. Ini menandakan kekayaan negri ini khususnya minyak bumi 90% di kuasai asing.

Kemana APBN buat pendidikan jika bangunan sekolah di negri ini sangat mengkhwatirkan dan kesejahteraan gurunya tidak terperhatikan? Pendidikan guru sudah selayaknya mendapat fasilitas yang memadai biar konsentrasi mereka dalam mendidik tidak terpecah dengan kepentingan urusan dapurnya yang harus tetap berasap, dan keluarganya yang harus tetap sejahtera.

Padahal jika aset negara di kelola dengan baik tak akan ada sekolah rusak, rakyat miskin, anak kurang gizi dsb. Indonesia memiliki 60 ladang minyak dan 38 diantaranya telah di eksplorasi dengan cadangan 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik(TCF) gas. Kapasitas produksi hingga tahun 2000 baru sekitar o,48 miliar barell minyak dan 2,26 triliun TCF menunjukan  bahwa kafasitas BBM cukup untuk mencukupi kebutuhan rakyat dan sudah seharusnya pemerintah mampu mensejahterakan rakyatnya dengan Sumber daya alam yang ada di negri ini.

Jika harga minyak Internasional UU$ 125/ barrel dan biaya UU$ 15/ barrel serta impor 200 ribu bph maka pemerintah dengan harga Rp 4500/ liter atau UU$ 77/ barrel untung Indonesia UU$ 49,4 juta perhari atau Rp 165,8 triliun dalam setahun dengan 1 US @= Rp 9.200 tapi kenapa pemerintah bilang rugi Rp 123 triliun sehingga sampai tega mau menghapuskan subsidi BBM yang akan menaikan jumlah rakyat miskin, pengangguran dan tingkat anak putus sekolah.

Ah...aku semakin miris melihat kondisi bangsa yang semakin rancu  dan tugasku sekarang adalah mencerdaskan generasi bangsa sedini mungkin biar mereka memiliki sifat nasionalisme yang mengakar dari kecil untuk mencintai negrinya sehingga  di besar nanti mereka bisa jadi generasi yang mampu mengusir imprealisme yang bertopeng demokrasi, liberalisasi, yang terus menghisap kekayaan negri ini.

Dengan kekayaan sumberdaya alam yang ada  Indonesia harusnya mampu seperti Firlandia yang mampu menciptakan sekolah, kuliah, dan kesehatan geratis bagi rakyatnya hanya dari sumber daya alam dari pengelolaan hutan yang cukup baik.

Bermacam agenda terancang di benaku sebagai seorang guru pertama aku harus mampu menjadi figur buat anak-anak lalu mengiring mereka pada cakrawala pemikiran yang mencerdaskan. Berada di sini sebenarnya sangat betah karena alamnya masih bersahabat begitupun dengan lingkungannya yang belum terkontaminasi virus modernisasi yang meerusak moral generasi, di sini orang-orangnya masih jujur, polos dan lugu. Banyak hal yang bisa kukerjakan, mendirikan taman bacaan, menghidupkan karang taruna, mengajar TPA dan pengajian remaja dsb.
***
Suasana KBM, hening menghias siang ku anak-anak sedang asyik mengerjakan tugas Matematika suasana di luar terlihat gelap karena sinar mentari terhalang pekat awan. Mendung di langit sebentar lagi sepertinya akan turun hujan. Perasaanku mulai di landa gelisah, hujan berarti akan membuat suasana kelas menjadi banjir maka aktivitas mengajarpun akan terhenti. Angin berhembus kencang di luar menyusup aroma dingin dan wingit daun-daun dan ranting saling berderak. Tiba-tiba ada perasaan sedih dan sepi melanda jiwaku. Tiba-tiba tanpa aku duga dingding ruangan retak dan rubuh menimpa murid-murid.

“Awas...!” teriaku tapi reruntuhan dingding itu menimpa salah satu murid sedang yang lain pada lari keluar menyelamatkan diri termasuk aku. Aku tidak sempat menyelamatkan  Indra salah satu muridku yang paling cemerlang di sekolah. Air mataku menganak sungai membayangkan saat reruntuhan itu menimpa kepalanya. Wajah kesakitan itu...ya Allah... kenapa bobroknya bangunan ini harus membuat generasi yang tidak tahu apa-apapun harus ikut menderita. Kenapa tidak para koruptor  saja yang Engkau hukum. Allah...astagfirullah...kenapa aku menyalahkan takdir Nya?
***

Suasana rumah sakit berkabut duka, nyawa Indra tak mampu di selamatkan terlalu banyak darah yang di keluarkan dari kepalanya. Kulihat ibunya meraung-raung menjerit histeris dan aku terdiam dalam isak tangis terbayang Indra dengan sorot mata yang haus akan ilmu saat aku menerangkan pelajaran bahkan pemikiran anak itu jauh melebihi anak-anak lainnya. Dalam semua pelajaran dia yang paling bersemangat mengajukan pertanyaan dan kini aku kehilangan satu generasi yang satu saat mungkin dia bisa mengubah peradaban negri ini. Tapi hidup ini adalah misteri, tidak ada seorangpun yang tahu tentang kematian seseorang.

Jika sistem pemerintah negri ini tidak rusak yang merembet pada kerusakan sistem pendukung lainnya di segala instansi yang merembet ke masalah fasilitas termasuk fasilitas pendidikan yang dananya di korupsi mungkin tidak akan pernah terjadi yang namanya sekolah runtuh sampai merengut nyawa korban. Siapa yang harus kusalahkan  pada kejadian ini, takdirkah? Ah ...aku sungguh lelah karena berteriak lantangpun meminta pendidikan yang merata, kesejahteraan guru, fasilitas pendidikan yang memadai suara-suar a kami tak akan menembus telinga-telinga bisu yang sudah terkontaminasi paham sekuler di mana negarapun mengadopsi sistem sekuler warisan penjajah yang melahirkan ekonomi kapitalisme yang menindas rakyat. Suara rakyat yang bergaung dengan para mahasiswa yang melakukan demontrasi besar-besaran hanya dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu tidak pernah melahirkan kebijakan baru yang pro rakyat jika mampu menumbangkan rezim pun tidak mampu mengganti sistem yang ada padahal pergantian rezim sudah seharusnya di ikuti pergantian sistem yang saat ini memang sudah sangat rusak penuh borok di sana-sini. Tapi anehnya kenapa sistem warisan imprealis masih tetap di pertahankan sampai kini?

***

Dua bulan dari kejadian itu sekolah yang dulu rubuh kini sudah berdiri kembali. Apakah harus menunggu sekolah runtuh dulu dan merengut jiwa-jiwa muda yang haus dengan ilmu  baru pemerintah peduli dan turun langsung melihat renovasi sekolah ini. Betapa menyedihkannya hidup di negri ini, sebagai rakyat selalu tertindas.
                                                                                            ***
Memapar batas realitas dalam fiksi.
2012

KELABU DI HATI RINDU

Kubuka majalah yang diberikan adiku, beberapa menit yang lalu.
“Mas Aley hebat Mbak, dia sudah jadi orang terkenal sekarang.” Ujar Arini dengan wajah antusias.
Aku menelan ludah getir, hebatnya dimana ? Bagiku jalan yang di pilih Aley tidak lebih sebagai sebuah kesalahan yang fatal.
Ah...Aley kenapa harus jalan ini yang kau pilih, tidak adakah jalan lain yang bisa mewujudkan eksistensimu sebagai seorang lelaki?
Aley  hebat bagi sebagian orang yang mulai mengakui keberadaannya. Dia berhasil menjadi juara pertama  dalam kontes kecantikan Waria se Indonesia. Tak jauh beda dengan kontes-kontes lain seperti Putri Indonesia, Miss Indonesia cuma bedanya WI kurang mendapat tempat, memicu pro dan kontra. Sebagai sebuah kelainan yang bila di akui statusnya akan menimbulkan bencana, begitu kata sebagian orang. Tapi bagiku mungkin negri ini, sudah kehilangan kekamilannya. Yang membuat negri ini  semakin bobrok.
Majalah ini memuat profile Aley, dia tampak begitu cantik dengan gaun birunya. Aku tidak percaya Aley yang tampan bisa di sulap jadi Putri biru. Sepertinya Aley sangat bangga dengan kewariaannya. ‘Life is full choice’ kata dia mengakhiri obrolannya di media.
Hm...masih bisakah aku menariknya kembali ke jalan Nya, sebagaimana  jalan yang kulalui dulu bersamanya.
Aley adalah sepupu tiriku beda nenek, dulu kakeku menikah lagi dengan nenek Aley yang berdarah Prancis itu. Kami sangat dekat karena selalu bersama kemanapun. Masuk sekolah yang sama sampai waktu kuliah, cuma bedanya  saat SMU dan Kuliah tak pernah satu jurusan. Tapi kedekatan itu masih tetap ada, apalagi Aley adalah perantaraku dalam mengenal islam menjadi muslimah seperti sekarang.  Aley lebih dulu hijrah di banding aku, tapi kini dia berbalik arah meninggalkanku semenjak kejadian setahun lalu yang membuat  jiwanya terguncang hebat.
“Ririn pengecut!” teriaknya marah di hadapanku. “Kenapa dia buka identitas masa laluku pada semua orang dengan mengatakan aku anak hasil selingkuhan, ibuku sebagai perebut suami orang. Hingga aku menjadi cibiran orang lain.” Ujarnya dengan kebencian  bercampur luka yang meraja.
Aku menarik nafas berat merasakan rasa sakit yang di rasakan Aley, dan aku cuma bisa mengatakan sabar mungkin Allah sedang mengujimu.
“Sabar  Rin, sudah bertahun-tahun aku bersabar. Tapi, kesabaranku tak pernah menjelma permata. Yang ada adalah duka. Aku di caci, di maki, di hina, di anggap sampah bahkan ketika menjadi orang baikpun di anggap sebelah mata. Padahal kesalahan itu bukan miliku, tapi milik nenek dan ibuku. Tapi kenapa aku yang harus menanggungnya? Menanggungnya Rindu?”
“Iya, kenapa?” bisik hatiku perih merasakan luka  di hati Aley, padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan. Ketika dia belajar agama sungguh-sungguh masih di anggap  sebelah mata. Mungkin manusia terlalu picik, kesalahan satu generasi harus ditumpahkan pada generasi selanjutnya.
“Padahal aku sama sekali nggak pernah meminta di lahirkan dari perempuan yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Nggak sama sekali!! Tapi kenapa Rin,aku yang harus menanggung kebencian orang-orang pada Ibuku, kenapa?!”
Aku menggigit bibir sakit, dan perasaanku seperti di cabik-cabik melihat Aley terluka. Aku sangat mengerti kesabaran manusia ada batasnya.
“Apakah salah jika aku ingin jadi orang baik-baik? Apakah jadi orang baik-baik harus terlahir dari orang tua yang baik juga? Dimana ke adilan Tuhan, Rin ? Dimana? Di saat aku tersaruk dalam perih, kenapa   Dia biarkan aku tetap terpuruk? Dimana kasih sayang Nya, yang selama ini kudambakan? Dari dulu hidupku tidak pernah berubah, perih luka,derita.” Ujarnya pahit merejam ulu hatiku.
Aku hanya bisa diam dengan airmata berderai. Haruskah ku jawab inikah ujian untukmu Akhie, demakin  tegar kau menghadapinya semakin tinggi nilaimu di mata Tuhan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam surat Al-ankabut  lalu berulang kali ku ucapkan kata sabar. Sementara bila kepahitan itu menimpaku,apakah aku akan sanggup menghadapinya?
“Rindu...tolong jawab kenapa?”
Aku diam hanya air mata yang mampu menjawab pertanyaannya.
Ya Allah kenapa Ririn setega itu, mengkoyak-koyak perasaan Aley. Padahal Aley saudaranya sendiri, meskipun saudara seayah tapi kenapa dia buka aib  dirinya pada semua orang, kalau Aley adalah anak dari seorang Ibu yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Mungkin dia punya dendam tersendiri karena ibunya telah di sakiti.
Apakah  harus  kusalahkan juga Tante Audry perempuan cantik itu?
Kesalahan masalalu yang seharusnya  terkubur waktu, kenapa harus terkuak menggoreskan sembilu bagi orang yang tak pernah tahu di mana letak kesalahannya?
“Rin, kenapa kamu tetap diam? Bahkan kamu orang terdekatku yang harusnya lebih mengerti aku, tidak mampu menjawab luka yang merejam di jiwaku.”
“Aley, kamu ini ngggak salah. So, nggak usah dengar  semua asumsi orang-orang tentang kamu.  Jika kamu terus menerus menelan omongan mereka, hanya akan membuat dirimu makin hari makin hancur. Aku ingin kamu setegar dulu Ley, jangan biarkan orang-orang menginjak harga diri kita,”
“Tapi aku sudah lelah menghadapi semua ini,  Rindu.  Ketegaranku  sudah terkikis habis.  Aku benci Tuhan, karena dia terus membiarkanku kesakitan. Aku benci Mama, perempuan yang bisanya cuma merusak kebahagiaan orang lain, tak jauh beda dengan nenek. Aku juga benci dengan Papa, laki-laki yang tidak punya kesetiaan pada keluarga, tiap melihat perempuan cantik sedikit ingin saja mengambilnya untuk di jadikan Istri. Seandainya Papa lelaki yang baik, tentu dia akan setia pada keluarganya, tanpa harus menikahi Ibuku dan aku tak akan pernah menderita seperti ini!” geramnya marah.
Aku  bergidik ngeri ketika mendengar nama Tuhanpun ikut dipersalahkan.
“Istigfar Ley, hadapi semua dengan kesabaran. Saat kau terus di uji, maka ketakwaanmu semakin meninggi.”
“Sudahlah Rindu, jangan pernah nasehatiku lagi, aku lelah. Mulai detik ini aku tidak percaya lagi pada Tuhan...pada semuanya...biarkan aku memilih jalanku sendiri.”
Dan aku hanya bisa menangis ketika mendengar kata-kata terakhir Aley. Semakin hari dia semakin jauh dari Aley yang  dulu. Kabar yang paling menyakitkan ketika  mendengar dia bergaul dengan komunitas gay.
“Kenapa? Kau benci dengan jalan yang ku pilih, Rindu? Muak, jijik...aku  tak peduli kau memandangku seperti apa, tapi inilah jalan yang kupilih dan tak akan ada seorangpun yang bisa menghalangi jalanku.” Ujarnya penuh keyakinan ketika aku menanyakan kebenaran tentang kabar Aley  menjadi Gay.
Aku menangis sedih tak bisa menyadarkannya.
“Aley masih ingatkah tentang kisah kaum Shodom...?”
Aley tersenyum sinis.
“Dongeng masa lalu, pengantar tidur...kalau pun benar kenapa mereka pengikut kaum shodom yang ada saat ini, nggak dikutuk Tuhan? Mereka sudah ada dalam jumlah yang besar  Rindu, tapi toh kehidupan aku dan mereka tenang-tenang saja.”
“Astagfirullah...apakah bencana memang harus datang untuk...”
“Ya...kalau kisah itu memang benar, tentang kaum Shodom yang dikutuk Tuhan berarti kami pun akan mengalami nasib yang tak jauh beda. Buktinya fine-fine aja.”
“Aley...bertahun-tahun kita bersama dan ketika hidayah itu datang kepadamu, menerangi jiwamu dan membagikannya kepadaku...apakah kau akan melepaskannya begitu saja?”
“Pergilah Rindu, aku muak mendengar kata-katamu. Jika kau sudah tak mau menerimaku, pergilah jauh. Di matamu aku memang menjijikan! Kau terlalu suci untuk berada di dekatku.”
 Dan akupun pergi, Aley sudah memilih jalannya  meski sekuat tenaga aku mengajaknya kembali, dia malah habis-habisan membenciku. Teman-teman di Rohis menanyakan kenapa Aley berubah, aku hanya bisa menggeleng termasuk saat mama dan papa bertanya keberadaan Aley.
“Kenapa Rin, kamu kan yang paling dekat dengan Aley? Kamu pasti lebih tahu banyak tentang dia.”
“Mama  dan Papa bisa tanya  pada Aley langsung, kenapa dia lebih memilih jalan terkutuk itu.” Ujarku kesal plus masih sakit hati atas pengusiran Aley terhadapku.
“Astagfirullah, Rindu, kamu nggak boleh berbicara seperti itu.” Tegur Mama tidak suka mungkin aku menyebut jalan terkutuk yang di pilih Aley.
“Iya Rindu, dia masih tetap saudaramu yang meski di ajak pulang. Semua ini pasti ada sebabnya Aley berubah.” Papa ikut menimpali.
“Mama dan Papa bisa tanyakan pada Tante audry, Om San,  juga nenek, dan Ririn karena merekalah sumber kebencian Aley yang membuat dia berubah.”
Mama dan Papa saling pandang.
“Kenapa harus mereka?” Mama tidak mengerti.
“Karena merekalah yang membuat Aley menderita seumur hidupnya. Menanggung kesalahan yang tidak pernah dibuatnya. Tante Audry yang sudah merebut suami orang, Om San laki-laki yang tidak bisa setia pada satu keluarga, nenek Alice yang juga merebut suami orang lain, juga Ririn yang sudah membongkar identitas Aley bahwa dia adalah seorang anak hasil perselingkuhan di depan semua orang, di kampus. Itulah yang membuat  Aley menderita.
Mama dan Papa saling pandang.
“Hanya itu?” Papa seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan.
Aku mengngguk lelah.
“Rindu, kamu yang paling dekat dengan Aley, dan yang paling mengerti perasaannya. Mama pingin kamu bisa membawanya kembali pulang. Please nak, kamu sayangkan sama dia? Mama yakin kamu bisa.”
Glegh...aku menelan ludah pahit. Apakah aku harus mengemis-ngemis agar dia kembali pulang dengan mendakwahinya sepanjang jalan kenangan ,lalu aku di caci maki dengan kata- kata kasar dan di usir nya pulang?
“Lakukan Rindu, jangan biarkan Aley semakin jauh berlari dari kita. Kau bisa Nak, Papa sangat yakin.” Suara Papa penuh ketegasan membuatku tak berkutik menuruti keinginannya.
Tapi aku tak bisa janji, karena risalah hati seseorang adalah rahasia Nya.

Dan hal yang paling ku benci ketika Tante Audry menangis menghiba di hadapanku agar  aku bisa membawa Aley pulang  untuk menjadi pemuda yang saleh seperti dulu. Kenapa tidak wanita cantik ini sendiri yang melakukannya? Kemana dia, di saat Aley menjadi aktivis Islam yang tak lelah menebarkan risalahnya. Dia malah sibuk dengan gila shopingnya berkeliling Eropa, menclek di Paris, kiblat segala mode fashion dunia, sibuk memburu berlian untuk di jadikan bahan koleksinya atau tenggelam dengan bisnis butiknya yang penuh dengan orang- orang  kelas atas. Ibu yang seharusnya bangga memiliki pemuda saleh seperti Aley, jangankan untuk memotivasi menengok pun sangat  jarang, paling sesekali menanyakan kabar dan kamu butuh uang berapa?
“Tante malu Rin, punya anak seorang waria.” Ujarnya dengan air mata bercucuran.
Malu?  Bukannya Aley lebih malu memiliki Ibu yang bisanya cuma merusak rumah tangga orang lain. Berstatus sebagai  istri simpananan seorang  pejabat teras.
“Saya sudah mencobanya Tante, tapi Aley malah mencaci maki dan mengusir saya. Coba sama Tante sendiri, tante kan Ibunya.”
Air mata wanita cantik itu malah semakin deras, entah apa yang ada dalam pikirannya. Ibu yang tak pernah ada, begitu Aley menyebutnya. Karena Aley lebih suka menganggap mama dan papaku sebagai orang tuanya ketimbang Tante Audry.  Jadi wajar kalau mama, papa  lebih terpukul dan pantas bersedih ketika Aley memilih jalan yang bagi sebagian orang adalah sebuah kelainan.
“Tante dan Om San sudah kesana Rindu, menemui Aley di apartemennya, tapi dia malah mengusir Tante. Dan dia mengatakan pada Tante akan menikah dengan pacarnya minggu depan di Belanda. Tante sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan Aley, makanya Tante kesini memintamu sekali lagi untuk menyadarkannya. Tante mohon rindu, karena hanya kamu yang paling dekat dengannya.
Ah...kenapa semua orang memintaku? Padahal aku ini siapa? Bukan siapa- siapa, hanya seorang hamba yang tertatih mencari kebenaran Nya. Sementara Rasulullah sendiri tak mampu mengajak pamannya untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
“Rindu akan mencobanya lagi Tante, do’akan semoga hidayah itu kembali hinggap di hatinya.”
“Semoga berhasil Rindu, Tante sudah banyak berhutang budi kepadamu. Maaf jika Tante sering merepotkanmu.”
“Tidak apa- apa Tante, jika sudah bersangkutan dengan masalah akidah semua orang wajib untuk ikut andil menyadarkannya tak peduli perih akan menyapa di dalamnya.
                       ****
Rumah bergaya minimalis itu sudah berada di hadapanku. Ada rasa tidak enak menyelinap ruang hatiku. Ah...aku harus maju tak boleh mundur jika sudah berada disini.
“Mbak cari siapa?” tiba seorang wanita setengah baya membukakan pintu .
“Saya saudara sepupunya Aley...apa dia...” belum tuntas aku menyelesaikan kalimatku, tiba- tiba dari dalam rumah keluar sosok yang aku kenal mendorong travel bagnya, di iringi seorang lelaki tampan berdarah indo. Pikiranku semakin kacau, teringat ucapan Tante Audry jika Aley akan menikah di Belanda minggu depan. Jangan- jangan...
“‘Rindu..” Aley terlihat kaget melihatku. “Untuk apa kamu kemari?” tambahnya dengan raut wajah tidak suka melihat kedatanganku.
“Aley...” tiba-tiba lidahku kelu.
“Sudahlah Rindu, kamu jangan bermimpi aku bisa jadi bagian dari masalalumu, kecuali kamu dan semua orang yang pernah hadir dalam hidupku bisa menerimaku dengan keadaan yang sekarang.”
“Aley apa kamu tidak ingat...”
“Tentang kaum shodom yang di kutuk Tuhan, tentang dosa, Syurga juga Neraka. Sudahlah Rindu, aku bukan anak kecil lagi, yang bisa ditakuti dengan cerita-cerita semacam itu. Jika kamu muak dan jijik pergilah, tapi ingat aku bahagia dengan keadaanku yang sekarang.”
Aku menelan ludah pahit, ternyata  susah banget untuk menarik Aley kembali.
“Aku di suruh Mama, Papa dan Tante Audry untuk datang kemari.”
“Aku tak peduli.  Meski kau datang di suruh seorang Nabi,  kamu tidak akan mampu mengubah apa yang aku jalani saat ini. Tiga hari lagi aku menikah di Amesterdam, kenalkan ini calon suamiku, Wiliam.” Ujarnya sambil menunjuk lelaki tampan yang ada di sebelahnya.
“Hai, hello. My name is wiliam. Nice to meet you.” Dia menyodorkan tangannya.
Aku terdiam beku.
“Dia nggak bersalaman, honey.”
“Oh...I’m sorry.”
“Sorry   Rindu, sekarang aku harus pergi ke Bandara buat pergi ke Amesterdam.”
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, mendung  menguasai jiwaku.  Tuhan apakah nggak ada cara lain untuk mengembalikan saudaraku agar bisa kembali lagi pada Mu. Dengan perasaan perih aku berbalik pergi tanpa sempat pamit.
THE END