Subscribe Us

MENYAPA RINDU

Selalu ada rasa pilu menyusup kalbu tiap kali aku melintas bangunan Madrasah Diniyah, tempat di mana anak-anak menimba ilmu agama. Disana pernah terukir kisah pilu yang merengut jiwa adiku menjumpai sang pencipta Nya. Mencipta kesedihan yang tak terkira di hati ibu, bapak juga aku.
Faiz, aku rindu semua kenangan tentangmu. Tentang kenakalanmu, kecerianmu, kecerdasanmu, kebaikanmu. Semua tentangmu. Jika mengingatnya mencipta kerinduan, dan juga kesedihan yang teramat dalam.

Aku tak pernah mengira, jika sore yang penuh warna itu akan mengantar dirimu keperaduan terakhir. Tragis! Kejadian itu terjadi ketika kau sedang menimba ilmu di Madrasah Diniyah bersama teman-teman sekolahmu. Sekolah yang memang sudah rapuh itu runtuh menimpamu yang sedang asyik belajar.
Apa yang terjadi saat itu? Aku tak tahu pasti. Namun, aku hanya tahu  saat kau sudah berada di rumah sakit. Kepalamu terluka parah dan banyak darah yang di keluarkan sehingga nyawamu tak bisa terselamatkan.
Perih aku kehilanganmu, adik kecilku. Karena kaulah adik satu-satunya yang kumiliki setelah sekian tahun kunanti. Dan kau pun meninggalkanku dengan peristiwa yang begitu tragis mencipta pilu yang teramat sangat.
Miris!  Betapa fasilitas pendidikan negri ini sangat memprihatinkan, terutama fasilitas pendidikan yang membina mental tauhid generasi bangsa, kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Anggaran dari pemerintah yang sangat tidak memadai.  Sementara fasilitas pemerintah, birokrat dan politisi setiap tahunnya meningkat tinggi. Akankah generasi bangsa ini menjadi lebih baik? Jika sarana dan prasrana pendidikan itu sendiri nggak menunjang?  Pendidikan elit hanya bisa dirasakan oleh kaum the have. Rakyat miskin hanya mendapat kualitas rendah, jika tidak dikatakan ecek-ecek. Apalagi fasilitas MD yang kurang mendapat perhatian yang layak, kebanyakan numpang di sekolah SD  dengan guru tidak memadai dan gaji yang minim. Ah...negriku inilah realitasmu saat ini.
Kususut air mataku yang semakin meler. Saat- saat bersama adiku adalah kenangan terindah yang kumiliki.
Seminggu sebelum kau pergi, Faiz. Betapa kau adiku yang begitu manis, lengket kemanapun aku pergi. Menemaniku menulis di depan komputer, penuh minat mendengarkan ceritaku tentang tokoh-tokoh pergerakan pejuang kemerdekaan, meminta setiap makan di suapi,dan selalu ingin tidur bersamaku. Perbedaan umur yang teramat jauh tujuh belas tahun, kau lebih mirif anaku ketimbang adik begitu kata orang- orang.
Satu senja jelang 1 hari kepergianmu...
“Teteh, Faiz juga pingin syahid seperti pahlawan-pahlawan islam yang selalu teteh ceritakan ke Faiz. Jika Faiz Syahid apa bakal masuk syurga?” tanyasnya polos membuat aku terharu jika mengingat percakapan itu. Biasanya sebelum menjelang tidur aku selalu bercerita tentang pejuang islam yang syahid membela Dinullah dan Faiz sangat suka.

“Memangnya Faiz mau jihad kemana, sayang? Ke Palestina ya?” candaku.
“Jihad saat mencari ilmu ,Teh.”
Ya Allah aku sama sekali nggak menyangka jika percakapan itu akan menjadi nyata.

Pagi hari sebelum kepergianmu. Biasanya kau ramai sekali kalau sudah berada di meja makan. Sikut sana, sikut sini ribut mengambil lauk kayak orang takut nggak kebagian. Tapi, di pagi hari ini kau terlihat lebih banyak diamnya, makanpun sedikit sekali.
“Faiz sakit, ya?” tanyaku sambil mengusap kepalanya lembut.
Anak itu menggeleng.
“Tapi tumben nggak bersemangat begitu, hayo cerita ada apa?”
“Di nakalin sama temen-temennya, ya?” Kang Ilham kakaku ikut berkomentar.
“Nggak, Faiz nggak apa-apa kok.” jawabnya pelan.
Aku dan kakaku saling pandang, heran dengan sikapnya yang lain dari biasanya.
“Oh iya, Teh , kalau entar Faiz pergi tolong kasihkan celengan ini ke Iqbql,ya? Kasihan dia, sepatunya sudah bolong. Tapi, bapaknya belum punya uang buat beliin dia sepatu.” Ujarnya sambil mengeluarkan celengan ayam dari tasnya.
“Lho, itu kan uang tabungan, Faiz.” Kataku.
“Tapi Iqbal kasihan Teh, dia pingin banget beli sepatu. Kalau Faiz kan masih bisa di beliin Ibu, dan masih bisa nabung lagi dari awal.”
Aku terharu dengan sikap tulusnya yang sangat peduli pada orang lain.
“Terus Faiz mau pergi kemana?” tanya Kang Ilham.
Anak itu sesaat terdiam tidak langsung menjawab pertanyaanku.
“Pergi ketempat para syuhada.” jawabnya singkat. Aku dan Kang Ilham diam sama sekali nggak mengerti kemana arah pembicaraannya.
                                                                                                          ***

Senja, aku baru saja selesai mengajar private di rumah muridku ketika sebuah telpon masuk dari Kang Ilham.
“Ran, kamu masih dimana?” tanyanya sendu.
“Baru selesai ngajar private Kang, ada apa ya?”
“Cepat pulang Ran, Faiz masuk rumah sakit.”
“Inalillahi...kecelakaan apa, Kang?”
“Aku nggak bisa jelasin sekarang Ran, kondisi Faiz kritis.”
“Ok, aku kesana. Rumah sakit mana...?” telpon terputus. Lemas merambat sekujur tubuhku. Mataku berkaca-kaca mengingat percakapan tadi pagi. Pergi ketempat para Syuhada. Ya Allah ada apa ini? Apa kau sudah berniat mengambil adiku yang sangat kucintai.

Saat aku tiba di rumah sakit, Faiz baru saja menghembuskan nafasnya. Banyak orang disana, termasuk teman-teman Faiz. Ada Bu Ais, Pak Burhan... kulihat Ibu tampak terpukul, Kang Ilham tampak terisak kecil di dekat Ibu, begitupun di wajah Bapak ada rona kesedihan yang sangat. Keluargaku tak ada yang bisa ditanyai mereka semua tampak shock menerima kejadian ini. Akhirnya aku tahu dari Pak Burhan kalau Faiz meninggal karena tertimpa reruntuhan sekolah Diniyah saat sedang belajar. Tiga orang luka-luka dan Faizlah yang paling parah sehingga harus menghembuskan nafasnya.
Aku menangis diam-diam. Selamat jalan adik kecilku,semoga kau damai di depan khaliq Mu
Kutatap bangunan Sekolah itu yang sudah mulai terlihat bagus berbeda dengan kejadian dua bulan yang lalu sebelum peristiwa naas itu menimpa adiku. Kucuran dana dari pemerintah daerah langsung turun setelah peristiwa naas itu, yang menjadi headline di koran-koran.
Aku menelan ludah getir. Apa harus menunggu sekolah rubuh dulu, dan merengut nyawa tunas bangsa, baru subsidi pemerintah untuk fasilitas pendidikan turun? Inila adalah realita dari 100 atau seribu mungkin lebih fasilitas pendidikan yang nasibnya tidak di perhatikan terutama daerah-daerah pelosok. Dan jika ada subsidi pun,  berapa juta yang benar-benar di pakai untuk membangun sarana dan prasarana sekolah? Karena selebihnya masuk kekantong pribadi. Korupsi sudah membudaya dibidang pendidikan yang nota bene mempersipkan generasi-generasi bangsa. Akankah kualitas pendidikan negri ini membaik jika generator lingkup pendidikannya pun sudah tak bermoral?
Ku balikan tubuhku berjalan menjauh meninggalkan MD, ketika sampai di depan pintu pagar rumah kulihat sosok kecil sedang termenung di pinggir pagar menatap teras halaman rumahku.
“Iqbal...” panggilku.
Iqbal tampak terkejut melihat kehadiranku. Dan Ya Allah... mata anak itu berkaca-kaca. Pasti dia sedang mengingat Faiz. Iqbal termasuk teman Faiz yang paling dekat. Saat Faiz wafat dia termasuk orang paling kehilangan. Berubah jadi pemurung, dan sering menangis memanggil-manggil nama Faiz begitu kata ibunya. Faiz sangat perhatian sekali pada Iqbal, kalau punya apa-apa pasti buat Iqbal. Wajar jika anak ini sangat kehilangan.
“Masuk yuk?” ajaku.
Anak itu menggeleng.
“Ayo, nggak usah malu. Ibu, Bapak, dan Kang Ilham pasti senang kalau Iqbal main ke rumah,  yuk...”  aku menarik tangannya. Anak itu menurut.

Benar saja sekeluarga pada senang melihat aku pulag di barengi Iqbal.
“Iqbal kemana aja, kok jarang main lagi kesini?” tanya Ibu perhatian.
“Iya, bapak sudah kangen lho...” timpal Bapak.
Anak itu menyusut bening kaca yang jatuh perlahan di sudut matanya.
“Lho...kok Iqbal nangis?” tanya kang Ilham.
“Iqbal kangen sama Faiz, Kang.” Ujarnya lirih membuat air mataku menghangat.
Ibu dan Bapak saling pandang dan Kang Ilham mengusap kepala Iqbal dengan penuh sayang.
“Iqbal kangen Faiz, sama kami pun disini kangen. Kita do’akan yuk bersama-sama biar Faiz tenang di syurga.”
Anak itu makin terisak.  Membuat dadaku semakin sesak di hantui kerinduan yang sangat.

Wahai adik kecilku semoga kau damai di peristirahatanmu yang terakhir. Dan akan ku gapai mimpiku untuk memperbaiki generasi islam yang berkualitas sehingga nanti akan terlahir pemuda-pemuda tangguh yang akan mengubah peradaban kelam menjadi peradaban Islam yang gemilang. (The End)

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini