Subscribe Us

MALIKA # Chapter 8

Sabtu yang cerah. Biasanya aktivitas Malika di hari Sabtu adalah mengajar anak-anak di rumah singgah, setelah dari sana ia akan ikut komunitas kajian islam. Dan itu rutinitas yang sangat di senanginya dalam mengisi waktu luang. Dia jarang ikut nongki-nongki cantik sambil menghabiskan waktu nggak jelas. Pernah  sesekali sama sahabat-sahabatnya. Tapi itupun lebih banyak ke aktipitas naik gunung. Sekarang setelah ke tiga sahabatnya sibuk, ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anak yang kurang beruntung. Bersama mereka ada kebahagiaan yang tak bisa di bayar oleh apapun.

Malika sudah menyiapkan banyak makanan untuk di bawa ke rumah singgah, serta buku-buku bacaan. Menurutnya meski anak-anak itu nasibnya terbuang dari keluarga yang seharusnya memberikan kasih sayang yang berlimpah, tapi mereka tak boleh kehilangan impian dan harapan. Buku-buku adalah motivasi mereka untuk meraih mimpi. Dalam memintal asa manusia tidak boleh kalah oleh keadaan.


Banyak orang sukses di dunia ini memulai dari keluarga yang mungkin dipandang orang lain sebelah mata. Namun impian dan kerja kerasnya tidak membuat mereka menyerah pada keadaan. Roman Abramovich,  Li Kha Sing, Jack Ma, Colonel Harland Sanders adalah contoh orang sukses yang pantas untuk di tiru dari perjuangan dan sikap pantang menyerahnya. Dan hal ini yang harus di ajarkan pada anak-anak yaitu memotivasi, dan menggembleng mental mereka agar tangguh.

Setelah merapikan apa yang akan dibawa, Malika keluar menemui Tante Dinar yang asyik bikin kursteek.

"Tante hari ini Malika izin ke rumah singgah, lanjut ke ikut kajian. Janji nggak pulang telat lagi."

Tante Dinar melirik keponakannya yang sudah rapi.

"Tadinya Tante mau ngenalin kamu sama anak teman Tante. Dia dokter lulusan Jerman. Tapi sudahlah kalau kamu mau pergi. Mungkin kapan-kapan ketemuannya." jelas Tante Dinar enteng. Sementara Malika sudah tegang.

"Aku nggak mau di jodoh-jodohin, Tan." ujar Malika kesal. Sampai kapan ia akan terbebas dari teror perjodohin ini. Sudah tiga kali gagal. Dan ia males banget bertemu cowok yang ngebanggain apa yang di milikinya.

"Kamu sudah tua, ingat itu."

Ckk…males banget jika di bilang tua.

"Aku masih tiga tahun lagi menuju tiga puluh, dan masih kelihatan kayak ABG tujuh belas tahun. Dua tujuh itu hanya angka Tante, dan kita jangan terfokus pada angka."

" Tante dulu usia dua-dua sudah di pinang sama paman kamu. Ingat perempuan itu makin tua makin beresiko. Mending kelapa makin tua makin bersantan. Apa susahnya sih kenalan dulu, tante lihat anaknya teman tante itu baik, sopan dan sayang sama ibunya. Laki-laki seperti itu yang layak dijadikan pendamping."

"Aku berangkat Tan," Malika merasa males kalau tantenya sudah menyinggung tentang jodoh.

"Kamu ini, tante belum selesai bicara."

"Lain kali aja sambung lagi, Tan. Sekarang aku harus pergi."
Ya udah hati-hati. Dan jangan pulang di atas jam tujuh malam." pesan Tante Dinar.

Malika mengangguk dan mencium tangan tantenya. Hari ini ia bisa lega tidak ada duo kembar yang selalu mengekorinya. Mereka sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri.
~••~
Di kelilingi oleh anak-anak yang ceria  hati Malika menghangat. Di sini ia menjadi sosok yang di butuhkan. Mengajari mereka membaca, berhitung dan bercerita banyak hal yang memotivasi itu adalah  yang menyenangkan.

"Kakak, Abbas bin Firnas itu siapa?" Tanya Budi yang rasa ingin tahunya sangat besar. Usianya masih tujuh tahun belum begitu lancar membaca.

"Abas bin Firnas adalah seorang ilmuwan islam di masa pemerintahan Khilafah Usmani. Dia seorang ulama  yang sangat taat sama Allah. Kesolehan dan kecerdasannya mengantarkan dia menjadi seorang
Penemu pertama yang menciptakan pesawat terbang."

"Seperti Pak Habibi? " Tanya Abdul antusias.

"Ya seperti Pak Habibi. Tapi Abas bin Firnas adalah orang muslim pertama di dunia yang menciptakan pesawat terbang. Meskipun saat itu belum sempurna pesawatnya. Masih dalam tahap uji coba. Jadi anak-anak jika kita ingin jadi orang yang hebat harus bertakwa dulu pada Allah. Dan jangan lupa rajin belajarnya."

"Aku ingin seperti Abbas bin Firnas." kata Budi sambil meluncurkan pesawat yang terbuat dari kertas.

" Abdul mau seperti Ibnu Sina, karena Abdul ingin jadi dokter."

"Aku mau jadi Kholid bin Walid….Umar bin Khatab…Ibnu Rusdy…..Al-Kharizmi." sambung anak lain.

Malika tersenyum cerah melihat banyak harapan di mata jernih mereka. Anak-anak memang harus di motivasi dengan cerita yang mendidik. Dan islam memiliki banyak sekali figur yang bisa di jadika teladan. Bukan superman, iron man, power rangers atau pahlawan yang berasal dari tokoh fiksi.

"Anak-anak mari kita makan dulu. Kak Malika banyak bawa makanan enak hari ini."

"Asyik…kita makan…kita makan." ujar anak-anak ceria.

"Ok, kalian seperti biasa yang tertib ya…semuanya Insya Allah pada kebagian."

"Ok, kak…." ujar mereka serempak.

"Jangan lupa berdo'a dulu."

Makan dengan ayam fillet crispy, capcay, tempe orek dan sambel terasi terasa begitu nikmat jika dimakan bersama-sama.

Selesai makan dan melanjutkan obrolan seru bersama anak-anak. Malika pamit.

"Anak-anak, Kak Malika pamit pulang dulu ya?"

"Tapi Kak Malika harus sering-sering kesini ya, kita Kangen." ujar anak-anak.

"Iya nanti kakak akan rajin kesini kalau lagi nggak banyak pekerjaan dan bisa pulang cepat. Nanti kita liburan bareng jalan-jalan ke kebun binatang atau berenang."

"Yeay jalan-jalan." teriak anak-anak senang.

Setelah pamitan sama anak-anak, Malika pamitan pada sesama teman-teman volunteer yang lain. Hari ini ia ada rencana ke toko buku sebentar di lanjutkan ikut kajian. []


Kemarin sangat kelelahan jadihanya hanya bisa melanjutkan sedikit. Dan pagi-pagi berusaha untuk nambahin kekurangannya dan lanjut bagian berikutnya. Nggak nyangka banget sudah mau chapter sembilan. Alhamdulillah fokus untuk nulis sebulan tanpa jeda hari sudah memasuki ke dua puluh lima hari. Biasanya saya menulis tergantung maunya aja. Tapi sekarang akan berusaha untuk fokus. Meski nyari ide menulis itu susah banget.

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini