Banyak pertimbangan ketika akan
memasuki gerbang pernikahan itu
seringkali di rasakan oleh sebagian laki-laki dan perempuan. Bagi sang
laki-laki menikah harus menunggu mapan dulu, punya gaji yang besar, rumah,
kendaraan dll. Begitupun bagi perempuan
banyak sekali patokan yang di ajukan sebagai persyaratan untuk menikah, harus
mendapat laki-laki mapan dalam segala hal. Belum memikirkan resepsi pernikahan
yang di abad ini sangat mahal jika ingin
resepsinya super wah, sudah punya rumah
yang bagus, mobil mewah agar kemana-mana bisa mudah. Apakah hanya sebatas ini
nilai sebuah kepuasan dalam membina rumah tangga? Sementara hal yang bisa
membuat abadi dalam pernikahan adalah kenyamanan, ketentraman meski tak di
pungkiri kita juga membutuhkan materi untuk keberlagsungan hidup.
Jika setiap laki-laki mau menikah harus
menunggu mapan dulu, dan si perempuan
menunggu di lamar suami yang mapan, bagaimana jika hal tersebut tidak kunjung
datang. Dan kehidupan tidak berubah-ubah, karena bisa jadi kemapanan itu datang
di saat rumah tangga kita berjalan 5 tahun, 10 tahun dan seterusnya. Di saat
anak kita sudah banyak baru Allah memberikanan kita keleluasaan rizki, itu bisa
saja terjadi karena karena teori Allah selalu lebih hebat daripada teori
manusia.
Dan hal
seperti itu pernah aku rasakan sendiri ketika mau menerima lamaran seseorang
yang kini menjadi suami. Sebulan menjelang sebelum nikah banyak sekali
ketakutan yang terlintas dalam memory.
Takut suami over protektif, dia juga dari segi ekonomi belum begitu
mapan. Tapi setelah menikah justru hal-hal seperti itu hilang dengan
sendirinya, yang ada justru ketenangan dan ketentraman. Kebebasan yang dulu
takut di belenggu dengan nggak bisa kemana-mana justru setelah menikah suami
memberi kebebasan yang penuh dengan modal saling kepercayaan. Kehidupanpun
dirasa lebih cukup di banding saat masih sendiri yang harus memenuhi semua
kebutuhan sendiri dengan bekerja. Banar apa yang dikatakan dalam sebuah hadist
bahwa jangan takut dengan menikah, justru dengan menikah bergabungnya dua
rizki, rizki suami dan rizki istri.
Andai semua laki-laki dan perempuan ketika mau menerima sang
pendamping hanya melihat keshalehan ahlaknya tentu keterlambatan menikah karena
banyak berpikir terlalu jauh ke depan itu tak akan terjadi. Dan rezeki dengan sendirinya akan mengikuti selama ada keinginan untuk berikhtiar.
Saya ingat
guru Fisikaku yang paling keren cara ngajarnya, dia lulusan dari ITB. Waktu
menikah dia Cuma modal mahar seribu rupiah buat istrinya padahal secara orang
tuanya mapan, entah alasan apa dia memberi mahar sekecil itu mungkin tidak
ingin merepotkan orang tua dan menikahnya juga tidak ada acara pesta-pesta.
Sekarang setelah bertahun-tahun berumah tangga dia sudah sukses dari segi
financial dari hasil bisnisnya. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa
rezeki seseorang itu tidak bisa kita tentukan ketika masih sendiri nkarena
matematika Allah itu lebih hebat. Dengan menyempurnakan seperuh Dien justru
awal bertambahnya rezki yg lebih berkah dari Allah. Apalagi jika pendamping
kita lelaki yang shaleh yang membingbing kita menuju Jannah-Nya dan dia sangat
senang berbagi kepada orang yang tidak mampu dengan sebagiaan rizki-Nya
otomotis Allah akan semakin melipat gandakan rizki kita.