Aku berlari dengan nafas tidak teratur. Sial hari ini kesiangan lagi masuk schooll. Tadi malam tidur larut, gara-gara keasyikan chatt sama bule Prancis. Wajah Mr. Ginanjar sang wakasek kesiswaan sudah berdiri tegap di depan gerbang dengan memasang tampang killernya.
“Arlina… cepat!” teriaknya.
Duh, hampir copot jantungku mendengar teriakannya yang super kenceng. Aku pura-pura melongok kebelakang. Siapa tahu yang di panggil olehnya bukan aku, tapi kembaran ku.
“Percepat Arlinaaa…!” teriaknya makin garang.
Kuatur detakan nafasku yang makin kenceng. Harus tenang menghadapi satu guru ini.
“Bapak memanggil saya bukan?” tanyaku dengan memasang wajah tak berdosa sudah kesiangan.
“Pakai nanya lagi! Emangnya di MAN ini, ada berapa nama yang sama dengan namamu!” bentaknya galak.
Aku nyengir berusaha bersikap cuek.
“Kenapa kesiangan?!”
“Macet Pak,” jawabku sekenanya. Males bikin alasan yang aneh-aneh. Karena seaneh apapun jawaban aku pasti nggak bakal menang.
“Macet? Emangnya ini Jakarta, kota macet sedunia. Di sini kota kecil yang nggak pernah kena macet!”
“Bantu beres-beres Ibu dulu di rumah Pak,” aku tak mau kalah omong.
“Tadi macet, sekarang bantu Ibu. Kamu ini emang bandel. Sudah suka telat,bikin rusuh di kelas, tukang kabur masih juga pinter ngeless.”
Hm…aku manyun dapat stigma negatif sepert itu. Tapi, sudah bukan rahasia lagi.
“Tapi kan nilai saya masih tetap baggus Pak. Dan masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik.”
“Bapak nggak mau dengar lagi pembelaan kamu yang jago alasan. Sekarang lari keliling lapangan 20 balik!” perintahnya sadis.
Aku terpaksa nurut. Sarapan pagi yang bikin bau asem. Keringat mengucur deras mebasahi seluruh tubuh. Namun penderitaan belum berakhir sampai di sini, masih ada penderitaan yang lain menanti. Meminta tanda tangan guru ke seluruh pelosok kelas tiga. Meski sudah di hukum, di ceramahin, tapi nggak bikin aku kapok. Semua orang pasti nggak ngira, di balik wajah ku yang tenang dan lembut ternyata seorang pembangkang luar biasa. kenapa aku bisa kayak gini? Jujur aku bete dengan sistem pendidikan negri ini yang kebanyakan teori ketimbang aplikasi. AH…sudahlah. Tidak usah aku perburuk sistem pendidikan negri ini. Semua orang sudah tahu, ketika sekolah sudah di kapitalisasi dan di liberalisasi maka seperti inilah hasilnya.
Dari pada bete ngadepin pelajaran aku lebih banyak nongkrong di Mesjid menghafal Al-qur’an atau di perpus membaca berpuluh-puluh buku atau mampir ke lab Komputer, ngumpet di lab sciene. Jika sudah super bete kabur. Semua guru sudah tahu reputasiku yang hancur. Namun nilaiku masih tetap number one di banding yang mati-matian belajar. Nyontek bukan hal biasa untuk di lakukan. Aku anti dengan yang namanya nyontek meski sebadung ini.
“Sekali kali lagi kamu telat bapak suruh kamu lari seratus keliling.” Ujarnya dengan tampang killer abis.
“Iya pak,” Ujar ku bĂȘte. Setelah ini aku masih punya satu tugas meminta tanda tangan ke seluruh guru kelas tiga.
“Kenapa lagi kesiangan Arlina?” Tanya Mr Abdullah yang menjadi guru piket dengan tampangnya yang kebapakan banget.
“Nggak kebagian angkot Pak,” jawabku singkat.
“Dari dulu juga kamu nggak pernah jadi murid teladan dalam hal datang ke sekolah, tapi sudahlah meskipun kamu murid yang punya segudang kontraversi tapi kamu juga termasuk murid yang brilian jadi bapak masih bersikap baik ke pada mu.” Ujarnya bikin hidungku menjadi mekar.
Akupun segera berlalu menuju kelas lain untuk meminta tandangan para guru setelah itu baru bisa masuk ke kelas.
^@_@^
Huahhh….aku menguap lebar-lebar mendengar penjelasan guru bahasa Indonesiaku bertele-tele. Ngantuku kali ini benar-benar nggak bisa di tahan, mungkin ini pengaruh chatting sama si bule yang handsome itu sampai jam dua malem. Hm…aku harus cari akal agar aku bisa memenuhi hasrat tidurku. Aku pura-pura sakit gigi sambil meringis kesakitan.
“Aduh…”
“Ada apa Arlina?” sahut Pak Ben sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Sakit gigiku kambuh lagi pak, aku nggak kuat…” aktingku segera di mulai dengan tak lupa mengeluarkan air mata buaya.
“Ya sudah kamu istirahat aja di UKS…” Ujar Pak Ben baik.
Yihaaa…teriaku dalam hati, serasa dapat durian runtuh aku langsung pergi ke UKS untuk menuntaskan hasrat tidurku. Hari yang menyenangkan, keberuntungan berpihak padaku. Ternyata reputasiku yang acak-cakan tidak mempengaruhi nilai-nilaiku sehingga kredibilitasku masih cukup save di mata para guru. Badung yang masih sangat wajar.
***
“Arlina… cepat!” teriaknya.
Duh, hampir copot jantungku mendengar teriakannya yang super kenceng. Aku pura-pura melongok kebelakang. Siapa tahu yang di panggil olehnya bukan aku, tapi kembaran ku.
“Percepat Arlinaaa…!” teriaknya makin garang.
Kuatur detakan nafasku yang makin kenceng. Harus tenang menghadapi satu guru ini.
“Bapak memanggil saya bukan?” tanyaku dengan memasang wajah tak berdosa sudah kesiangan.
“Pakai nanya lagi! Emangnya di MAN ini, ada berapa nama yang sama dengan namamu!” bentaknya galak.
Aku nyengir berusaha bersikap cuek.
“Kenapa kesiangan?!”
“Macet Pak,” jawabku sekenanya. Males bikin alasan yang aneh-aneh. Karena seaneh apapun jawaban aku pasti nggak bakal menang.
“Macet? Emangnya ini Jakarta, kota macet sedunia. Di sini kota kecil yang nggak pernah kena macet!”
“Bantu beres-beres Ibu dulu di rumah Pak,” aku tak mau kalah omong.
“Tadi macet, sekarang bantu Ibu. Kamu ini emang bandel. Sudah suka telat,bikin rusuh di kelas, tukang kabur masih juga pinter ngeless.”
Hm…aku manyun dapat stigma negatif sepert itu. Tapi, sudah bukan rahasia lagi.
“Tapi kan nilai saya masih tetap baggus Pak. Dan masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik.”
“Bapak nggak mau dengar lagi pembelaan kamu yang jago alasan. Sekarang lari keliling lapangan 20 balik!” perintahnya sadis.
Aku terpaksa nurut. Sarapan pagi yang bikin bau asem. Keringat mengucur deras mebasahi seluruh tubuh. Namun penderitaan belum berakhir sampai di sini, masih ada penderitaan yang lain menanti. Meminta tanda tangan guru ke seluruh pelosok kelas tiga. Meski sudah di hukum, di ceramahin, tapi nggak bikin aku kapok. Semua orang pasti nggak ngira, di balik wajah ku yang tenang dan lembut ternyata seorang pembangkang luar biasa. kenapa aku bisa kayak gini? Jujur aku bete dengan sistem pendidikan negri ini yang kebanyakan teori ketimbang aplikasi. AH…sudahlah. Tidak usah aku perburuk sistem pendidikan negri ini. Semua orang sudah tahu, ketika sekolah sudah di kapitalisasi dan di liberalisasi maka seperti inilah hasilnya.
Dari pada bete ngadepin pelajaran aku lebih banyak nongkrong di Mesjid menghafal Al-qur’an atau di perpus membaca berpuluh-puluh buku atau mampir ke lab Komputer, ngumpet di lab sciene. Jika sudah super bete kabur. Semua guru sudah tahu reputasiku yang hancur. Namun nilaiku masih tetap number one di banding yang mati-matian belajar. Nyontek bukan hal biasa untuk di lakukan. Aku anti dengan yang namanya nyontek meski sebadung ini.
“Sekali kali lagi kamu telat bapak suruh kamu lari seratus keliling.” Ujarnya dengan tampang killer abis.
“Iya pak,” Ujar ku bĂȘte. Setelah ini aku masih punya satu tugas meminta tanda tangan ke seluruh guru kelas tiga.
“Kenapa lagi kesiangan Arlina?” Tanya Mr Abdullah yang menjadi guru piket dengan tampangnya yang kebapakan banget.
“Nggak kebagian angkot Pak,” jawabku singkat.
“Dari dulu juga kamu nggak pernah jadi murid teladan dalam hal datang ke sekolah, tapi sudahlah meskipun kamu murid yang punya segudang kontraversi tapi kamu juga termasuk murid yang brilian jadi bapak masih bersikap baik ke pada mu.” Ujarnya bikin hidungku menjadi mekar.
Akupun segera berlalu menuju kelas lain untuk meminta tandangan para guru setelah itu baru bisa masuk ke kelas.
^@_@^
Huahhh….aku menguap lebar-lebar mendengar penjelasan guru bahasa Indonesiaku bertele-tele. Ngantuku kali ini benar-benar nggak bisa di tahan, mungkin ini pengaruh chatting sama si bule yang handsome itu sampai jam dua malem. Hm…aku harus cari akal agar aku bisa memenuhi hasrat tidurku. Aku pura-pura sakit gigi sambil meringis kesakitan.
“Aduh…”
“Ada apa Arlina?” sahut Pak Ben sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Sakit gigiku kambuh lagi pak, aku nggak kuat…” aktingku segera di mulai dengan tak lupa mengeluarkan air mata buaya.
“Ya sudah kamu istirahat aja di UKS…” Ujar Pak Ben baik.
Yihaaa…teriaku dalam hati, serasa dapat durian runtuh aku langsung pergi ke UKS untuk menuntaskan hasrat tidurku. Hari yang menyenangkan, keberuntungan berpihak padaku. Ternyata reputasiku yang acak-cakan tidak mempengaruhi nilai-nilaiku sehingga kredibilitasku masih cukup save di mata para guru. Badung yang masih sangat wajar.
***