“Bu
Santi!” Seorang gadis dengan jilbab lebar berlari-lari dipematang sawah menuju
dirinya.
“Ya
ampun Ayu.” Santi terkejut sekaligus bahagia ketemu anak didiknya yang kini
sedang kuliah semester empat disebuah PTN favorit di Jakarta. Dulu jilbab gadis
itu masih biasa saja sekarang sudah lebar lengkap dengan kaos kakinya. Senang
melihatnya Ayu terlihat begitu anggun.
“Apa
kabar Bu?”
Ujar Ayu sambil mencium tangan gurunya.
“Alhamdulillah
baik. Ibu pangling lho,
lihat kamu makin cantik dan shaleh.”
“Amien.
Ibu lagi ngapain disini?”
“Ibu
lagi nemenin Alif nyari belalang. Tuh dia,” tangan Santi menunjuk kearah Alif
yang aktif menangkap belalang. Tapi...
“
Aw.... mama...!” teriak Alif. Tubuh anak itu terperosok kedalam sawah, tubuhnya
belepotan lumpur dan basah. Alif menangis meraung-raung. Santi segera berlari
menolongnya.
“Kata mama juga apa? Alif itu harus
hati-hati.” Santi segera membantu Alif naik.
“Hu...hu... belalang Alif pada lepas, Ma.”
“Biarin, biar belalangnya pada lepas. Besok kita nangkap lagi, sekarang
Alif mesti pulang.” Santi segera menuntun Alif menuju sungai membersihkan tubuh
Alif yang penuh lumpur.
“Seneng
banget deh, Ayu bisa ketemu lagi sama Alif sekarang udah gede lucu lagi.”
“Dan nakal.” tambah Santi.
“Hm...” sebuah deheman kecil menyadarkan
mereka.
“Eh mas Haris nyusul kemari.” Tanya Ayu
Santi menoleh dan terkejut ketika melihat
wajah itu.
“Haris
kan?”
Haris tersenyum dingin.
”Masih
ingat juga kamu sama aku San? Oh ya, selepas dari Yoga kamu mengasingkan diri
kemari. Ini anakmu kapan kamu menikah lagi?”
Ayu terbengong.
“Mas Haris kenal sama bu Santi?”
Haris ternyum kecut. Kami dulu satu angkatan namun beda
jurusan.” Jawab Haris singkat.
“Jadi
kamu berasal dari sini, Har?”
“Ya,
aku memang berasal dari kampung. Ibuku berdarah Sunda tapi Ayahku Jawa.”
“Mas
Haris ini kakak saya yang paling sulung bu, dia sampai sekarang masih belum
menikah, katanya broken heart.”
“Kata siapa?” Haris memelototi wajah adiknya.
“Hehe...
bercanda, buktinya masih betah jadi PTN(pemuda telat nikah).”
Seperti
slide film yang diputar ulang. Santi ingat kesungguhan Haris yang ingin
melamarnya.
Waktu
itu masih semester tujuh tapi Santi menyuruh Haris untuk datang langsung ke
orangtuanya hasilnya Haris ditolak papa, laki-laki itu cukup down juga.
Setahu
Santi ,Haris
itu pemuda jenius dengan IP selalu di atas 3.5, waktu lulus pun dia mendapat nilai
cum laude. Haris memang pintar sama dengan
adiknya Ayu maulida.
“Kamu
sudah lama mengenal bu Santi, Yu?” Tanya Haris ketika pulang silaturahmi dari
rumah gurunya.
“Dari
sejak SMU kelas dua aja, bahkan kami sangat dekat. Bu Santi itu guru Favorit
Ayu. Cara ngajarnya enak dan dekat dengan semua murid, juga mempunyai wawasan yang luas.
Dia juga yang membimbing Ayu soal agama dan kepenulisan.”
“Dulu
dia pernah jadi ketua keputrian rohis, aku sempat mengaguminya.” Ucap Haris
jujur.
“Terus mas Haris kecewa?”
“Entahlah,
tapi mas kecewa ketika Santi menikah dengan seorang penyanyi yang kata
teman-teman dijodohkan orangtuanya.”
“Apa
penyayi?” Ayu seperti tak percaya. “Bu Santi tidak pernah bilang kalau dia
telah menikah dengan seorang penyayi, dia cuma pernah bilang kalau suaminya
lagi kuliah di Jerman.”
“Ya,
Yoga Rahardi Subroto.”
“Vocal,
the power lion kan?” Ujar Ayu cepat. Dia dulu sempat mengidolakan penyayi itu
bahkan mengoleksi kaset-kasetnya tapi sekarang udah ngak lah. Penyayi play boy
yang sering gonta-ganti pacar, lagian ngak pantas seorang muslimah mengidolakan
seseorang terlalu berlebihan kecuali kagum atas proses pencapaiannya menjadi
bintang tenar, masih boleh lah.
“Betul.”
“Ya
ampun, pantesan Ayu merasa pernah melihat bu Santi di TV waktu masih bersama
Yoga. Ternyata...”
“Apakah
dia sudah menikah lagi?” Tanya Haris
“Setahu
Ayu belum.”
“ Apa
mungkin anak itu hasil pernikahanya dengan Yoga, Mas lihat banyak kemiripan
anak itu dengan Yoga.”
“Bisa
saja, mungkin waktu mereka cerai Yoga tidak tahu bu Santi lagi hamil.”
Perempuan
yang malang.
Tapi
Haris kagum dengan ketegaran Santi. Tiba-tiba dia kembali memiliki
harapan untuk kembali wanita itu, mungkin masih ada kesempatan.
Tapi..... dia dihinggapi rasa ragu. Mungkin Ayu bisa membantunya.
“Hayo, Ma Haris lagi ngelamunin perempuan ya?” Goda adiknya. Haris segera
membuang muka tidak suka, ketahuan lagi ngelamunin seseorang.
“Cepetan pulang ah.” ajak Haris pada adiknya nyuruh cepat-cepat jalan.
“Yee...
emang kita mau pulang kok.” Ayu cemberut.
****
Yoga
mulai lega sidang perceraiannya sudah kelar dan akhir-akhir ini dia juga tak
terlalu banyak jadwal nyayi. Jadwal minggu ini kosong, minggu depan ada tour
kebeberapa kota jadi ia bisa beristirahat melepas penatnya sambil menyusun
langkah dan strategi kembali mendekati Santi, yang utama adalah Alif meskipun
baru sekali bertemu tapi dia begitu sayang dan rindu pada bocah kecil itu.
Semangatnya hidup kembali setelah sidang perceraian yang membuat seluruh jiwa
dan raganya lelah tersedot memikirkan masalah itu.
Aku
telah menjadi seorang ayah. Hatinya begitu bungah tiada tara lebih dari
kebahagiaanya waktu menikah dengan Rafika dulu.
Yoga
sudah membeli banyak mainan untuk Alif. Ada mobil-mobilan pakai remot,
kapal-kapalan, pistol-pistolan beberapa stel baju dan makanan. Mudah-mudahan
Alif senang.
Yoga jadi tak sabar untuk bertemu dengan anak itu pikirannya terus membayangkan
perjumpaan nanti dengan Alif.
Bagaimana
reaksi Santi? Biarlah itu soal nanti. Yoga segera membawa barang bawaanya ke
bagasi mobil. Dia sudah dandan serapi mungkin, rambutnya yang gondrong diikat
dengan rapi dan memakai kaca mata bening. Dia terlihat lebih intelek dan
berkelas. Dadanya dag..dig..dug.. plas. Sesekali dia bersenandung riang.
“Mas
Yoga riang banget.” Ujar mbok Jum
pembantunya.
“Tentu,
karena hari ini aku lagi bahagia.”
“Bahagia
apa nih?” Goda mbok jum. Hubungan antara pembantu dan majikan itu sekarang
sudah milai cair tidak seperti masih ada Rafika yang seperlunya saja dan mbok
Jum sudah ikut hampir tiga tahun dengan Yoga.
“Pokokya
supraise, nanti juga mbok bakal dikasih tahu. Sudah dulu ya mbok, aku pergi dulu. Hati-hati dirumah.” Pesan Yoga.
Yoga sengaja pergi sendiri biar lancar,
inikan termasuk masalah yang privat banget.
***
Benar
Aa,
mata Ayu berbinar, mendengar penuturan Haris tentang keinginannya segera
menikah.
Haris
mengangguk
“Ayu senang banget kalau bu Santi jadi kakak ipar Ayu, tapi apa Aa Haris bersedia menerima Alif dan
mampu menjadi pigur ayah untuknya.”
“Soal itu tidak sulit, tapi kamu tanyain soal itu padanya. Nanti kasih
kabar ke Aa ya?”
“Ok!”
Hari ini juga Haris mau kembali lagi ke Jakarta karena masa cutinya
selama tiga hari sudah habis. Ayu yang masih punya waktu libur beberapa hari
terlihat enjoy aja.
Ketika hal keinginannya dikonfirmasikan pada Rianto, sahabatnya. Rianto cukup antusias juga.
“Menurut ane baik juga Ris, emang antum harus secepatnya
menikah apalagi usia antum sudah melebihi usia Rosulullah. Insya Allah
dia baik buat dijadikan umi buat jundi-jundi antum nanti. Eh taarufannya sudah belum, kira-kira sudah
sampai mana? He..he.. bolehkan ane tahu.” Rianto jadi berane antum kini dia sudah
menikah dengan muslimah shalehah.
“Baru rencana saya saja, To.”
“Kalau begitu cepetan, sekalian istikhoroh dulu.” Saran Rianto di telpon.
Saat keinginan kakaknya disampaikan Ayu pada Santi. Untuk beberapa menit
Santi berpikir.
Sama
sekali dia belum berniat menikah lagi tapi jika ada seseorang dengan kualitas
yang baik dan mau menyayangi Alif datang melamarnya, apa harus ditolak? Menikah
itu adalah pilihan, apakah Alif mau menerimannya. Memang dia memerlukan figur
seorang ayah, tapi ah... mendadak Santi tak rela ada laki-laki lain menggantikan ayah
kandungnya untuk Alif bukan berarti Santi mengharapkan Yoga. Hal itu sama sekali tidak pernah
terpikirkan.
“Bagaimana,Bu?”
Santi merasa bingung juga dikasih
pertanyaan seperti itu, sebab dituntut untuk memberi sebuah jawaban, tidak
menjawab sekarang berarti membuat harapan itu tumbuh berkembang untuk menanti
dan mengharap bukankah ketegasan saat ini lebih baik walaupun itu pahit.
“Untuk saat ini ibu belum berniat menikah lagi.” Jawaban itu untuk sesaat membuat Ayu kecewa
tapi dia sadar semuanya tak bisa dipaksakan.
“Tidak
apa-apa kalau ibu tidak siap, mungkin suatu saat jika hati ibu sudah siap, bisa dibicarakan lagi.” Tuntas Ayu mengakhiri
kata-katanya.
****
Yoga menghentikan mobilnya dan segera keluar dan memanggil seorang bapak
yang kebetulan pulang dari sawah.
“Maaf ya pak, ini kampung simpang bungur bukan?”
Bapak intu mengeryitkan keningnya.
“Wah disini ngak ada nama alamat itu,
Nak. Saya kurang hapal.”
“Memangnya ini nama kecamatan apa?”
“Disini waluran, ujang mau kemana?”
“Jampangkulon.”
“Oh... masih jauh dari sini.”
“Makasih pak.” Yoga kembali naik kemobilnya.
Setelah tanya sana-sini akhirnya sampai juga. Yoga menghentikan mobinya
dipinggir lapangan bola. Segerombolan anak kecil sedang asyik bermain bola tak
peduli dengan keringat yang mengucur dan baju yang kotor karena debu tanah.
Yoga memperhatikan mereka, tiba-tiba pandangannya tertuju pada anak kecil yang
bermata bundar dia terjatuh terdorong sama teman-temannya yang sibuk menendang
bola, anak itu kembali bangkit dan berlari mengejar bola.
Betapa riangnya anak-anak yang tinggal dikampung, berbaur tanpa
kungkungan, beda sekali dengan anak-anak yang ada dikota mereka mungkin tak
akan mengenal galaksin, main bantengan, kucing-kucingan dan sederetan permainan
lainnya yang membuat masa kecil mereka penuh warna.
Bug.. sebuah bola mendarat dipantatnya. Hup.. Yoga segera mengambil bola
itu. Anak-anak itu serentak berhenti dan wajah polos mereka terlihat ketakutan.
“Alif ayo kamu yang ambil karena kamu yang nendang. Suruh teman-temannya
ramai dan kamu harus minta maaf.”
Alif memainkan rambut ikalnya dan berlari kearah Yoga. “Maaf ya, Om. Alif ngak sengaja bolehkan Alif
ambil bolanya?”
“Boleh.” Yoga berjongkok dan
memandang wajah didepannya dengan penuh kerinduan. Pasti Santi sudah
mendidiknya dengan baik, ingin rasanya Yoga segera memeluknya.
“Alif tahu ngak, Om datang kesini sengaja mau nemuin Alif.”
“Memangnya Om
siapa?” Tanya Alif penasaran.
“Kita kan pernah ketemuan waktu Alif ke Jakarta.”
Anak itu tampak berpikir.
“Waktu Alif diajak mama beli buku”.
Jawab anak itu antusias.
“Betul.” Yoga senang dengan kepintaran Alif. “Alif mau ngak nganter Om ke rumah Alif?”
“Mau.” Jawab Alif.
Yoga segera mengeluarkan oleh-oleh yang dibelinya untuk Alif, wajah anak
itu kelihatan sumigrah.
Paman Hendra terkejut ketika Alif datang dibarengi lelaki dewasa. Rasa-rasanya dia pernah melihat
laki-laki yang datang. MasyaAllah bukannya itu Yoga, untuk apa dia datang
kemari tapi paman Hendra berusaha menyambut tamunya dengan ramah. Alif sudah
mulai lekat dengan Yoga, tentu saja karena dia ayahnya bukankah naluri seorang
anak lebih tajam jika dalam tubuhnya ada darah ayahnya yang mengalir.
Santi paling shock dengan kedatangan Yoga tanpa diundang. Dia tahu laki-laki itu
telah cerai dari istrinya dan dia juga tahu dengan semua yang terjadi dengan
laki-laki itu, bukankah media ramai membicarakannya. Tapi apa maksud dia datang
kemari? Mungkin dia tahu kalau dari pernikahannya dengan Santi yang sebentar
menghasilkan keturunan. Bu Subroto pasti membicarakannya.
“Untuk apa kamu datang kemari?” Tanya Santi dengan sikap dingin.
“Aku ingin nengok anakku.”
Santi tersenyum sinis.
“Dia itu anakku dan aku yang
membesarkannya jadi aku yang lebih berhak memilikinya seutuhnya tanpa campur
tangan kamu.”
“Tapi dalam tubuh Alif ada darahku juga.”
“Kamu hanya menitipkan gen ditubuhnya, sedang aku yang berperan lebih
besar mengurusnya.”
“Santi...!”
“Aku tidak mau Alif punya ayah seperti kamu. Aku tak mau dia teracuni duniamu. Jadi biarlah dia tumbuh disini, kamu urusi saja duniamu.
Kata-kata Santi menohok jiwanya.
“Apakah kamu tega mau memisahkan seorang
ayah dengan darah dagingnya sendiri.” Suara Yoga basah, matanya berkabut.
“Aku hanya tidak ingin Alif punya sikap kasar seperti kamu.”
Kata-kata Santi mengores luka dihati Yoga. Ternyata Santi belum bisa
memaafkannya. Santi segera berlalu menuju kamarnya. Dia benar-benar kesal,
sedih, kecewa membaur jadi satu. Dia juga manusia yang punya sisi implusif
dikala hatinya sedang terenyuh.
“Jangan sekasar itu bersikap sama Yoga, San. Dia datang kesini wajarkan, karena Alif anaknya. Harusnya kamu bahagia.” nasihat Bibi
Maryam lembut.
Santi
diam tak membantah, bibi tidak tahu suasana hatinya saat ini. Kenangan bersama
Yoga bermunculan
kembali.
Kesabaran, kesetiaan hanya dibalas dusta. Dia
berusaha untuk menjadi istri yang baik tapi Yoga membalasnya dengan kekasaran,
cacian dan bilang tidak pernah mencintainya sedikitpun. Lalu sekarang datang dengan alasan
ingi bertemu Alif anak yang tak pernah diketahuiya sekian lama. Benar-benar
memuakan.
Dia tak sempurna seperti kata orang-orang
buktinya ia juga punya rasa sakit,
benci karena karena ia bukan orang yang selalu tegar dihempas badai. Setelah
dia berusaha melupakan Yoga hampir empat tahun lebih, kini laki-laki itu datang
dengan lebih matang.
Ada
sisi tidak rela kalau Alif punya ayah seperti Yoga yang pernah membuat hatinya
terluka, tapi menjauhkan Alif dari Yoga juga tidak adil.
Santi
hanya bisa menangis dikamarnya, sedangkan Alif ramai berceloteh dengan Yoga
yang dianggap sebagai Omnya.
Anak itu kelihatan begitu gembira
mempunyai barang mainan yang dikasih Yoga. Yoga pun tak kalah bahagia bisa
sedekat ini dengan Alif,
naluri kebapakannya tumbuh setelah sekian lama menanti dari perkawinannya
dengan Rafika.
****
Santi bersikap cuek dengan kehadiran Yoga dirumah pamannya, dia berusaha
tak peduli dan tak ambil pusing.
Dia
malah menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan positif di sekolah, mengisi
pengajian, dan fokus menulis. Yoga perhatiannya
pada Alif sangat besar itu bisa dirasakan oleh Santi, mungkin saja dia
ingin mengambil hatiku. Sinis hatinya yang kegeeran.
Ternyata
praduganya tak salah, ketika bibinya mengajak berbicara pada Santi.
“Bibi merasa senang, Alif bisa sedekat itu pada Yoga, San... dan...”
“Dan apa, Bi?” Kejar Santi.
“Yoga menyuruh Bibi menanyakan pada kamu, apakah kamu bersedia kembali
padanya.?”
Santi tersenyum dingin. “ Jangan pernah bermimpi!”
“Pikirkan Alif dong, San. Kamu jangan egois memikirkan diri sendiri. Bibi
yakin Yoga bisa menjadi suami yang baik dan dia sekarang sudah banyak berubah.”
“Aku pernah merasakan hidup bersamanya Bi, sakit.” Suara Santi bergetar.
“Kamu tidak sayang Alif?”
“Kenapa bibi tanya itu? Sebagai ibunya tentu aku menyayanginya, namun
rasa sayang itu tak harus diartikan aku bersedia kembali pada Yoga.”
“Baiklah itu terserah kamu, segalanya tak bisa dipaksakan apalagi soal
hati.”
“Syukurlah kalau Bibi mengerti.” Tegas Santi.
Paman
Hendra yang dulu selalu membelanya kini malah menyuruh Santi kembali pada Yoga
demi Alif.
Santi tidak mengerti kok paman Hendra dan bibi Maryam mudah sekali menerima
kebaikan Yoga yang baru dikenalnya selama beberapa hari. Punya daya tarik apa laki-laki itu, sehingga bisa meluluhkan hati
paman dan bibinya.
Sedang
Yoga yang jadi pusat pembicaraan lagi jalan-jalan bersama Alif keliling desa.
“Alif
pengen punya ayah nggak?”
Tanya Yoga.
“Pingin banget,Om.” jawab anak
itu polos dengan pikiran menerawang.
“Bagaimana kalau Om
saja yang jadi ayahnya?”
“Alif
sih mau, tapi Mama pasti marah karena kata Mama, Om Yoga itu jahat!”
Jahat...!
Yoga tercekat. Santi bilang seperti itu pada anak sekecil Alif. Yoga
menggeleng-geleng tak percaya, tapi mana mungkin berbohong anak seusia Alif.
“Dan kata Mama, Alif juga punya ayah tapi sekarang lagi sekolah diluar
negri. Alif sebenarnya kangen banget pengen ketemu Papa. Kata Mama, luar negri itu jauh dan harus naik
kapal. Kalau Alif pengen kesana harus rajin nabung, celengan Alif udah mau
penuh.” Celoteh anak itu menyusup haru dihati Yoga.
“Mungkin Alif bisa pergi keluar negri kan Om? Kalau tabungan Alif
sudah penuh.” Ujar Alif polos membuat mata Yoga berkaca-kaca.
“Om bisa kan?” tanya Alif lagi.
“Bisa... bisa...” jawab Yoga cepat sambil tersenyum lebar
berusaha menutupi rasa sedihnya.
“Lho,
Om Yoga kok nangis?”
“Kata siapa?” Yoga segera menghapus air matanya.
“Om jangan bohong kalau Om
nangis. Bohong itu dosa lho, itu mata om basah.”
Hm... Yoga kehilangan kata-kata.
“Kata mama laki-laki itu ngak boleh cengeng, Alif aja masih kecil jarang
nangis”.
“Habis om sedih...”
“Lho
kenapa harus sedih, kan ada Alif.”
“Maksud Om itu mau bilang bahagia bisa bersama Alif.”
“Bener
ya, Om?”
Yoga
mengangguk.
“Alif juga bahagia bisa ketemu Om Yoga yang baik, Alif juga sayang sama
Om.”
Yoga
makin terenyuh, dipeluknya Alif dengan penuh rasa sayang.
****
“Santi,
aku ingin bicara sebentar sama kamu?” Cegat Yoga.
“Untuk
apa?” terdengar dingin suara itu.
“Soal Alif.”
“Rasanya tidak ada yang perlu untuk di persoalkan.”
“Aku mohon banget.” ujar Yoga memelas.
“Baiklah kamu mau bicara apa?” Suara Santi masih dingin
“Aku ingin Alif tahu kalau aku adalah ayahnya. Kamu tidak baik
berteka-teki dengan anak sekecil itu. Sudah saatnya dia tahu jati diriku yang
sebenarnya.”
“Aku
rasa belum saatnya, dia terlalu dini untuk mengerti persoalan kita.”
Yoga
menarik nafas putus asa.
” Jadi kamu ingin menyembunyikan sampai
dia dewasa dan kamu sengaja ingin merampas masa kecilnya tanpa kasih sayang
aku.”
“Itu
hak aku, lagian Alif tak merasa kekurangan kasih sayang karena paman hendra
sudah cukup jadi figur ayah untuknya.”
“Kamu banyak berubah. Kamu yang jelas-jelas mengerti agama
tapi bersikap seperti itu. Sampai kapan kamu mau membohongi Alif?” Tatap Yoga tajam.
“Cukup!
Kamu tak punya hak untuk menghakimi aku.” Santi bangkit.
“Kalau
begitu biar saja aku yang menjelaskannya pada Alif.”
Santi tak peduli dengan kata-kata
terakhir Yoga.
Hari
berikutnya Santi tak membiarkan Alif bersama Yoga. Sudah cukup ke bersamaan
Alif dengan ayahnya. Santi membawa Alif ke sekolahnya, tentu saja Yoga merasa kecewa
dengan sikap Santi seperti itu, tapi dia tak bisa apa-apa.
Kesal
juga diperlakukan seperti itu. Akhirnya dia pulang ke Jakarta, lagian masa
senggangnya sudah habis dan dia akan disibukan oleh tugasnya sebagai penyayi.
****
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini