Subscribe Us

RINTIHAN ANAK PELACUR

RINTIHAN ANAK PELACUR

“Ini nggak mungkin Ka, Papa nggak mungkin tega menjual mama untuk menjadi seorang pelacur!” ujar Adi meradang marah.
Arini diam menunduk merasakan keperihan yang sangat, semula diapun nggak percaya dengan laporan tetangga bahwa mamanya seorang pekerja sexs kelas atas dan Papa ikut andil di dalamnya dengan mengenalkan istrinya ke setiap lelaki berkantong tebal. Semula dia mengira bahwa Bu Dinda iri dengan kemapanan keluarganya tapi omongan itu semakin hari semakin jadi pikiran. Bu Dinda bukan orang yang termasuk suka bergosip nggak mungkin dia bicara kalau nggak ada buktinya.
“Kalau Neng Arini nggak percaya, Neng bisa buktikan sendir di hari minggu untuk datang ke kafe i ni...” kata Bu Dinda sambil menyebutkan sebuah kafe di kawasan Jakarta.
Dan semua ketidak percayaannya terjawab sudah ketika Arini diam-diam menyelidiki apa yang di lakukan orang tuanya itu benar seperti yang di katakan Bu Dinda. Darah Arini mendidih ketika melihat ibunya sedang mengobrol mesra dengan seorang lelaki di atas usianya dan Papa duduk di pojok belakang memperhatikannya. Papa terlihat tenang seolah tidak ada yang harus di cemburui melihat istrinya di perlakukan mesra oleh orang lain. Ingin saja Arini marah saat itu mencaci mama dan papa yang sudah membohong anak-anaknya. Muak dan benci menyatu, orang tua yang selama ini dia banggakan tak lebih sekedar sampah masyrakat yang menghidupi anak-anaknya dengan uang haram, menjual tubuh menjadi pemuas nafsu para lelaki bejat dan lapar.
Papa laki-laki yang selama ini sosok yang sangat dia kagumi menjelma menjadi iblis yang tega menjual kehormatan istrinya dan mungkin dia juga akan tega menjual kehormatan anaknya kelak. Laki-laki macam apa, laki-laki seperti dia? Dimana perasaan lelaki yang harus di sebut suami itu di simpan ketika melihat istrinya di peluk dan di gandeng mesra oleh lelaki lain di depan kepalanya sendiri, lalu di bawa menginap ke sebuah hotel berbintang. Tak adakah rasa cemburu, masih adakah rasa cinta di hati lelaki itu pada ibunya? Sandiwara macam apa yang sedang mereka perankan? Ketika di rumah mereka terlihat seperti sepasang suami istri yang begitu harmonis. Arini merintih sakit, kecewa di dadanya mencipta merapi yang entah pada siapa harus di muntahkan.
“Tapi ini adalah kenyataan yang Kakak lihat Di...!” jelas Arini dengan air mata yang mengalir perlahan.
“Nggak...nggak mungkin Papa sejahat itu yang tega menjual kehormatan istrinya pada para lelaki bejat yang ada di negri ini...nggak mungkin!” teriak Adi histeris.
Arini menggigit bibirnya sakit, diapun nggak akan percaya kalau nggak membuktikan sendiri omongan Bu Dinda dan desas –desus negatif omongan tetangganya. Kalau di lihat secara akal sehat nggak mungkin papa tega membiarkan mama jadi pelacur dan mama pasti akan berontak. Rumah tangga orang tuanya sangat harmonis di depa anak-anaknya, mereka juga sangat care. Lantas apa yang membuat mama harus terjebak ke lembah hitam, apa karena permasalahan ekonomi dan papa tidak mampu jadi figur suami yang menafkahi keluarganya secara ekonomi. Selama ini yang Arini tahu Papa dan Mama bekerja di sebuah perusahaan yang pergi pagi dan pulang malam.
“Dan ini semua bisa jadi mungkin ketika kamu melihat vidio rekaman di handycamku ini...” Arini mengeluarkan handycam, memperlihatkannya pada Adi.
Sebuah video merekam kejadian di sebuah kafe mewah kawasan Jakarta tampak seorang wanita yang sangat cantik dan berkelas sedang duduk dengan lelaki paruh baya, kemafanan sangat terlihat dari status lelaki tersebut. Masih ada ketampanan yang tersisa meski ubannnya sudah menyembul, mungkin dia termasuk salah satu pejabat, birokrat atau politisi yang ada di negri ini. Sesekali tangan lelaki itu mendarat di rambut hitam legam milik si wanita cantik itu di selingi tawa manja si wanita, lalu video memperlihatkan seorang lelaki yang sedang duduk tenang dengan vodka di hadapanya seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu. Vidio juga memperlihatkan ketika sepasang manusia yang berlawanan jenis itu meninggalkn kafe dengan saling bergandengan mesra lalu naik ke sebuah mobil BMW yang terpakir di situ dan.... Rekaman vidio hanya sampai di situ.
“Itu mama dan papa kan Kak...” Adi seperti tidak percaya ketika selesai melihat rekaman Vidio itu. Wajahnya memerah,tangannnya terkepal menahan marah yang siap membuncah.
Arini mengangguk. “Dan terakhir aku menguntit sedan BMW itu sampai kesebuah hotel, kamu bisa bayangkan kan Di, apa yang terjadi antara mama dan lelaki tua itu? Intercross....”
“Ah...BIADAB...BAJINGAN...!!! Selama ini kita telah ditipu oleh orang tua kita sendiri dengan di susupi makanan haram. Aku benci pada Papa yang membiarkan mama jadi pemuas nafsu lelaki bejat, sebagai lelaki dan suami dia benar-benar tidak punya harga diri. Aku harus temui mereka sekarang!” Adi bangkit dengan sejuta kemarahan, kebencian dan rasa sakit yang menyatu. Dia meraih jacketnya berlari keluar.
“Adi tunggu...” teriak Arini.
Cowok itu sudah nggak bisa di cegah dia pergi melesat dengan motornya, Arini di jelma khawatir yang sangat sebentar lagi badai akan menghuru-harakan keluarganya.
***
“Tolong jelaskan Ma, kenapa mama samapai bisa jadi pemuas nafsu para lelaki bejat itu?” cecar Adi ketika mama dan papa sampai dirumah.
“Jaga mulut lancang kamu!” bentak Papa.
Adi tersenyum sinis.
“Yang mesti di jaga itu sikap Papa yang rela menjual tubuh istrinya di jamah para lelaki busuk hanya untuk bertahan hidup. Di mana tanggung jawab Papa sebagai suami yang seharusnya bisa menafkahi kami ;Istri dan anak-anaknya, bukan malah menggadaikan tubuh istrinya. Aku sebagai lelaki MALU , MUAk dan akan MARAH... jika wanita yang aku sayangi jadi piala bergilir pemuas nafsu lelaki yang bukan suaminya!”
PLAAAk... sebuah tamparan keras mendarat di pipi Adi, tamparan mama. Panas dan sakit sangat terasa, Adi mengusap pipinya. Tapi panas dan rasa sakit dari tamparan ini belum seberapa di banding rasa sakit yang menampar di hatinya.
“Bahkan mamapun rela Ma, menggadaikan tubuh mama untuk dinikmati laki-laki lain. Jawab Ma, kenapa mama melakukan hal ini? Jika yang mama cari adalah untuk kebahagian aku dan Kak Arini, sungguh kami lebih bahagia hidup apa adanya dari pada mama harus jadi pelacur.”
Mama terisak-isak.
“Ini semua bohong, mamamu nggak melakukan hal serendah itu. Kalian jangan percaya omongan orang lain...jangan percaya... mereka hanya iri pada kehidupan kita!!” Papa angakat suara dengan suara yang berapi-api.
“Arin nggak akan percaya pada omongan orang lain jika tidak melihat dan membuktikan sendiri omonngan orang lain. Dan apa yang di omongkan orang itu nggak semuanya salah, Pa. Arin benar-benar malu pada papa yang rela menjual tubuh istrinya untuk di nikmati orang lain, di mana harga diri papa sebagai seorang lelaki yang mesti menjaga kehormatan inya. Jangan-jangan akupun akan papa jual pada para lelaki hidung belang hanya demi lembaran uang!” jelas Arini penuh amarah dan kebencian.
“Kau benar-benar lancang menuduh orang orang tuamu sendiri. Siapa yang sudah mengajarimu berbicara seperti itu?” Papa menarik kerah baju Arini sehingga gadis itu kesusahan bernafas.
“Lepaskan...” Adi mendorong tubuh papanya hingga terjengkang ke belakang. “ Papa perlu bukti, jika kami berbicara bukan karena karangan atau kena hasutan orang lain. Ini buktinya Pa, Ma...kalian bisa perhatikan baik- baik dan nggak akan bisa menggelak lagi.” Adi merebut handycanm dari tangan Arini lalu menyetel adegan Vidio kedua orang tuanya di sebuah kafe.
Wajah kedua suami istri itu menegang, rahasia mereka yang di simpan rapat selama bertahun-tahun terbongkar sudah.
“Wanita itu siapa ma, dan siapa laki-laki yang bersama mama itu? Bukan papa kan, tapi mengapa mama memperlakukannya seperi pada suami sendiri. Bukan selingkuhan mama kan, dan anehnya papa yang ada di situ juga nggak merasa cemburu, atau marah. Padahal sudah semestinya seorang laki-laki normal itu MARAH... jika istrinya di ganggu orang lain didepan matanya sendiri.”
“Bangsat...” papa merebut handycame itu dan membantingnya ke lantai. Handycame pun hancur berkeping. “Anak tak tahu trimakasih...kalian benar-benar bikin aku marah...BUGG...” sebuah tinju mendarat di muka Adi tanpa sempat menghindar. Darah segar mengucur dari hidung anak muda itu.
Perkelahianpun tak bisa di hindarkan antara Ayah dan anak itu, mama menjerit-jerit dan Arini mencoba menghentikan namun tak berhasil. Kursi dan barang-barang lainnya jadi sasaran, rumah jadi lebih mirif kapal pecah. Perkelahian terhenti ketika Adi terkapar di lantai bersimbah darah.
“Bahkan kalianpun tega menyiksa anak sendiri.” Arini terisak-isak sambil mengangkat tubuh adiknya untuk di bawa ke rumah sakit, mama ikut membantunya.
***
Sebuah kamar rumah sakit, sepi sendiri. Arini menangis pilu, kenapa semua harus berakhir seperti ini? Lebih menyakitkannya ketika dia harus tahu kalau mama bekerja sebagai pelacur kelas atas dan papa sebagai gigolo. Adi masih tertidur, luka anak itu cukup parah akibat perkelahian dengan papa. Untungnya masih bisa di selamatkan.
“Arin, kamu tabah ya?” tiba-tiba sebuah suara di belakangnya membuyarkan rasa sedihnya.
Arini membalikan tubuhnya melihat pada siapa yang datang. Tampak sosok tinggi menjulang sedang menatapnya.
“Fauzan, sudah lama kamu disini.”
“Beberapa menit yang lalu Rin, kamu tabah ya? Ado pasti akan baik-baik aja.”
“Makasih Zan, namun aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku malu, marah dan benci pada orang tuaku. Mengapa aku harus terlahir dari mereka Zan, bukan dari orang tua baik-baik.” Isak Arini.
Fauzan menyodorkan sapu tangan miliknya.
“Arin semua pasti menginginkan hal yang terbaik dari hidupnya, tapi keinginan tidak semuanya bisa berjalan dengan harapan. Begitupun dengan kenyataanmu sekarang, kamu nggak tahu kan apa yang di kerjakan mama dan papamu saat ini. Kamu berhak benci, marah, dan terluka,itu sangat manusiawi. Namun bencilah perilakunya, bukan orangnya karena bagaimanapun juga mama dan papamu orang yang memiliki peran besar kamu ada.”
“Tapi aku belum bisa Zan, aku ingin pergi sejauhnya dari mereka. Mungkin aku berhenti kuliah Zan, bekerja agar aku dan Adi bisa bertahan hidup karena nggak mungkin lagi bergantung pada orang tua yang pekerjaannnya sangat aku benci.”
“Semuanya butuh waktu Rin, untuk menyembuhkan luka. Dan aku akan selalu ada di sisimu, membantumu bangkit seperti dulu. Dan nanti kita bersama-sama menyadarkan mama dan papamu untuk kejalan yang benar, jangan biarkan mereka terus berkubang dalam dosa. Mereka mungkin punya alasan yang kuat untuk jadi seperti itu, dan kita harus memberi solusi agar keluar dari situ bukan mencerca dan menghakiminya.”
“Apakah kamu nggak malu Zan, menjadi kekasih anak pelacur.”
“Sudahlah Arin jangan bahas tentang itu lagi, jangan pernah berpikir aku akan pergi meninggalkanmu setelah tahu kejadian ini. Setiap orang memiliki masa lalu Rin, dan aku bisa menerimanya. Dan nanti yang akan kunikahi adalah kamu, bukan ibumu. Aku mencintaimu dengan tulus dan apa adanya.”
Arini tersenyum lega. Masih ada Fauzan lelaki yang selalu ada di saat sedih dan juga bahagia yang selalu siap menjaganya. Fauzan tidak romantis tapi dia bertanggung jawab, setia dan bisa menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihan.
“Dan kita harus segera memikirkan pernikahan Rin?”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa menjagamu dan Adi setiap saat. Dulu kamu sedih dan punya banyak masalah masih ada orang tua yang bisa mengerti keadaanmu. Sekarang dengan masalah ini, aku yang harus lebih banyak berperan disisimu, tapi aku ingin peranku bisa halal disisimu.”
Air mata Arini menganak sungai, terharu dengan apa yang di ucapkan Fauzan. Semoga nanti jika Fauzan jadi perndamping hidupnya dia nggak seperti papa yang tega menjual kehormatan istrinya. Arini tahu Fauzan bukan lelaki sepert papa, dan harapan yang di inginkan Arini sekarang Adi bisa cepat sembuh.
(the end)

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini