Ado sedang duduk di pojok kantin dengan tenang, matanya fokus menatap layar laptop membaca berita mancanegara tentang tumbangnya rezim diktrator Ben Ali karena kemarahan rakyat yang di motori seorang tukang sayur lulusan universitas dengan membakar dirinya karena polisi telah menyita sayur mayurnya yang menurut pihak berwajib dijual tanpa memiliki hak izin. Ratusan orang tewas di duga oleh pihak keamanan. Gelombang unjuk rasa anti pemerintah dan kekerasan polisipun terjadi menyapu Tunisia. Demontrasi besar-besaran yang dimulai pertengahan desember itu mempermasalahkan korupsi, inflansi dan pengangguran. Mungkin negri inipun perlu ada revolusi yang memicu kemarahan rakyat untuk meruntuhkan Rezim korup yang berkuasa saat ini, pikir Ado.
“Do, aku mau nanya?” Fina si gadis imut yang radikal buka suara.
Ado mengalihkan matanya dari layar laptop, lalu menatap mahluk halus yang ada di depannya.
“Nanya apa? Tentang Ben Ali lari ke Saudi Arabia, Artalita yang bentar lagi bebas, masalah gayus atau konflik Malaysia- Indonesia?”
“Hari ini berhenti ngomongin politik.” Ujar Fina males.
“Terus mau nanya apa?”
“Soal omongan kamu ‘would you marry me’ itu bercanda apa serius sih?”
“Maksudnya?” Ado menyipikan matanya yang sudah sipit.
“Ngajak merrit sama Avira betulan apa bercanda doang?”
“Ya beneran lah...”
“Tapi kenapa harus dia?”
“Aku sudah lelah dengan petualangan cinta, mungkin kalau dia mau jadi istriku, aku akan menjadikan dia yang terakhir. Dan aku ngerasa yakin dia bisa membingbing aku untuk menjadi lebih baik.”
“Tumben lo waras.” Danil yang dari tadi diam ikut komentar.
“Untuk pendaming hidup aku butuh perempuan sederhana, bagus agamanya serta memiliki jiwa sosial dan semua itu ada di Avira.”
“Yakin Do, kamu nggak salah pilih. Kalau dia menolak gimana?” kata Fina.
“Kalau aku memilih istri semodel Talia negara bisa bangkrut Fin, karena gaya hidupnya bisa menuntun ku jadi seorang koruptor. Bayangin berapa juta uang yang harus dia keluarkan untuk penampilannya yang semua bermerk. Sepatu,baju, tas,perhiasan mana mau dia pakai yang murahan. Berapa biaya buat dia nyalon? Creambat,spa,luluran,pedicure, medicure yang akhirnya di patok tekukur. Apa yakin kecantikan dia cuma buat aku aja? Berapa waktuku yang terbuang menunggu dia dandan biar perfect ngabisin waktu berjam-jam, menemani dia jalan ke boutiqe, nonton film,makan harus di tempat bergengsi nggak ada istilah warteg, liburan harus ke luar negri bikin hidupku sesak nafas. Jujur aku lebih suka sama Avira yang nggak ribet tapi tetap menarik, dia lebih mengedepankan otak dan ahlak ketimbang make up. Kalau semua wanita kaya Avira suami-suami di negri ini nggak bakal jadi koruptor, dan negara nggak akan bangkrut seperti sekarang.”
“Haha...betul...betul, gue setuju dengan cara berpikir lo yang brilian, Bro.” Danil ketawa ngakak. “Gue jadi ingat sama Imelda Marcos kenapa suaminya Ferdinand Marcos penguasa diktator Filipina, sampai di turunkan dari pemerintahannya karena sikap konsumtip istrinya yang dikenal pengoleksi barang-barang bermerk sampai koleksi sepatunya aja berjumlah2700 pasang. Dia di jadikan simbol keroyalan karena politik suaminya. Ketika para pejabat di negri ini korupsi selain adanya kesempatan kita bisa lihat kehidupan istrinya seperti apa? Sesuatu yang nggak mungkin jika kehidupan istrinya sederhana memicu suaminya menjadi seorang koruptor. Istri adalah motivator, maju dan mundurnya seorang suami. Karena di balik lelaki yang hebat di belakangnya ada istri yang hebat.”
Fina manyun, dia merasa di pojokan oleh kedua mahluk kasar tersebut. Meskipun dia nggak semewah Talia dalam berpenampilan tapi pakaian masih tetap bermerk meski harganya di bawah lima ratus ribu. Yang bermerk kan berkwalitas meski sudah lima tahun warnanya nggak pudar-pudar amat berbeda dengan kualitas murahan.
“Kalian nggak bermaksud menyindirku kan?!” sewot Fina ingin saja sebenarnya dia menimpuk kedua mahluk kasar tersebut bersama orang sekampung. Tapi ah...kasihan, begitu-begitu juga mereka teman yang baik yang selalu ada di saat dia susah.
“Ha...ha...ha... ternyata ada yang tersinggung juga.” Ado tergelak.
“Enak aja, gue bukan type cewek yang bisa bikin bangkrut negara! Lagian nggak pernah ngarep punya suami politisi, kalian tahu ibarat air yang kotor ketika ketika nyebur kedalamnya tubuh kita bukannya bersih tapi makin kotor. Itulah perpolitikan negri ini, serba kotor, jika ingin bersih harus siap tersingkir.”
“Jangan suka melihat sesuatu dari satu sudut pandang kamu aja, negatif. Coba lihat dari dua arah, sudut positif dan negatit supaya tidak terjerumus pada penghakiman. Memang negara ini bobrok orang-orangnya, karena sebagus apapun sistem jika yang menjalankannya bobrok negara nggak bakal berubah. Tapi masih ada banyak orang yang berjuang agar negri ini membaik, namun belum saatnya mereka jadi pemenang. Jika semua politik itu kotor, semua pejabat bobrok lalu dimana orang-orang baiknya, yang timbul malah keputua asaan.” Jelas Danil tidak setuju dengan pendapat Fina yang mengatakan politik itu kotor. Karena untuk menuju negara yang bersih membutuhkan politik dan tentunya politik yang bersih.
“Terserah kalian lah...” Fina males berdebat. Kalau di perpanjangpun dia pasti kalah argumen sama dua mahluk kasar ini sedang dirinya sendirian.
***
Pulang dari kampus aku masih jengkel atas kejadian tadi siang dengan ulah Ado. Ngajak merit di depan semua orang, huh memalukan! Datang langsung kerumah kek, kalau emang serius, kalau di rumah kan gampang juga menolaknya. Hehe...
Di ruang keluarga, aku yang biasanya ramai dan ceria kini berubah pendiam. Satu sifat jelek ku kalau lagi kesal berubah jadi pendiam, ngomong seperlunya dan orang yang nggak salahpun jadi kena sifat jutekku yang kambuhan.
“Bu, putri saleha Ayah kenapa ya, kok jadi asem begitu dari tadi diam nggak bersuara?” tanya Ayah dengan nada bercanda.
Mas Agung yang lagi baca koran ikut mengintip menatap wajaku dengan menurunkan sedikit korannnya, ingin saja kurebut korannnya.
“Jadi kepingin rujakan.” Mas Agung ikut menimpali.
“Mungkin sariawan.” Ibupun ikut berkomentar.
Duuh...keluargaku emang pada ngocol semua, orang lagi kesel juga masih di becandain. Apalagi Ayah selain care pada anak-anaknya dia sangat humoris kalau ada audisi pelawak Indonesia dia pasti juaranya. Aku diam males meladeni becandaan mereka.
Ibu menyodorkan sepiring pisang molen plus ubi goreng ke atas meja, aku berniat mengambilnya tapi Ayah dengan secepat kilat menariknya.
“Eits...nggak bisa...ceritain dulu pada Ayah kenapa wajahmu asem Saliha?” ujarnya sambil memanggilku dengan panggilan Saliha sebagai panggilan kesayangan dan harapan agar aku mungkin bisa jadi wanita saleha begitupun pada Mas Agung di beri panggilan Mujahid.
Arghh...ingin saja aku marah, tapi nggak berani Ayahku terlalu baik untuk menerima lahar merapiku.
“Aku kesel Yah,”
“Childish...” komentar Mas Agung.
Hiiih...ingin saja kutimpuk wajah kakaku dengan ubi goreng yang masih panas ini. Usianya sudah seperempat abad tapi masih saja ngajaku berantem. Siapa coba yang childish?
“Kesalnya kenapa, coba Ayah pingin dengar?”
“Aku kesal Yah, di permalukan di depan teman-teman oleh mahluk kasar yang bernama Ado, dia bilang ‘would you marry me’ di depan orang banyak. Coba siapa yang nggak kesel!”
“Lha...kenapa harus kesal bagus dong ada cowok yang berani begitu, gentle man. Sudah suruh aja datang kerumah untuk menghadap Ayah.”
Aku manyun, Ayah bukannya membelaku yang lagi kesel, ini malah menyuruh Ado datang kerumah. Jengkeeeeeeeeeeeeeeeeeel....
“Nggaklah ngapain di ajak ke rumah, kalau dia beneran serius gimana? Bahaya donk, bisa rusak masa depanku menikah dengan cowok play boy seperti dia, mending kalau gantengnya ngalahin Russel Crow.”
“Tuhkan...tuhkan...masih tetap yang ganteng jadi patokan, katanya nikah harus di niatkan untuk ibadah, suami yang penting saleh dan mandiri. Emang mau ganteng tapi kamu disakitin.” Mas Agung berkomentar.
“Ya nggaklah, tapi kalau dapat cowok segantang Rusell Crow ya bonus juga buat aku. Saleh harus, mandiri itu pokok utama, bertang jawab itu ukuran seorang laki-lakikan?”
“Kamu suruh dia kerumah kalau besok ngomong gitu lagi. Apa dia beneran atau Cuma bercanda, sama laki-laki itu harus tegas biar jadi perempuan nggak mudah dipermainkan dan di rendahkan. ” ujar Ibu ngasih pendapat.
“Yah Ibu...kalau dia serius gimana, aku tahu sendiri gimana tingkah dia di kampus. Aktivis sih iya, tapi Cuma nyari popularitas doang buat ngegaet cewek-cewek cantik. Mantan pacarnya aja segudang, apa Ibu rela anaknya yang cantik ini, nikah sama cowok yang senang gonta-ganti pacar.”
“Huh...Ge-er...sampai berani bilang anaknya yang cantik segala, cantik dilihat dari lobang sedotan!” ledek Mas Agung nggak rela dengan kata-kataku yang bilang cantik, dia menarik ujung jilbabku sehingga rambutku pada nongol.
“Ya nggak apa-apa mantan pacarnya segudang mah, asal jangan mantan istrinya yang segudang...ha..ha....”kata Ayah.
Sebelum semuanya tambah kacau dengan ide-ide ngawurnya, aku pamit dan bangkit meninggalkan mereka.
****
Aku baru saja keluar dari Mesjid kampus ketika sosok yang kemarin menjengkelkanku itu muncul mendekatiku.
“Assalamu’alaikum, Avira...”
“Wa’alaikum salam, ada yang bisa saya bantu.”
“Aku mau nagih jawaban yang kemarin itu, gimana jawaban kamu?”
Kutatap sekilas wajah di depanku.
“Kamu serius nggak bercanda? Dan kenapa kamu memilihku, bukan mantan pacar-pacar kamu yang cantik, seksi dan modis itu?”
“Cantik kalau dalamnya busuk nggak menarikkan? Aku ingin yang cantik dalamnya, karena nilai seorang perempuan bisa berkualitas karena ahlaknya bukan make upnya. Wanita itu tiang negara, kamu tentu paham jabarannnya. Untuk menjadi negara ini kuat tentu butuh generasi hebat yang berahlak dan itu tidak mungkin bisa didapat dari rahim wanita kualitas obralan yang bisa di pegang oleh sembarang oarang. Kamu paham Avira kenapa aku memilihmu?”
Aku untuk sesaat terdiam, tidak menyangka sedikitpun kalau dia punya cara berpikir jauh kedepan tentang peran seorang istri bagi keluarga dan negara. Ah...ternyata alu salah menilai.
“Kamu jangan salah menilai kalau aku gonta-ganti pacar bukan untuk mencari kepuasan nafsu tapi belajar apa sih yang di inginkan mereka sebenarnya. Untuk melangkah ke yang lebih dalam aku nggak berani karena akupun memiliki Ibu dan adik wanita yang harus kujaga baik-baik kehormatannya. Jika kau mau menikah denganku aku akan menjagamu sebaik-baiknya Rasulullah menjaga dan melindungi para istrinya.”
“Kamu benar-benar berniat untuk melamarku?”
“Ya, aku nggak pernah bercanda dengan satu hal ini.”
“Untuk menjadi imamku nanti, kamu hafal berapa Juz Al- Qur’an?”
Kulihat cowok di depanku terdiam.
“Seberat inikah persyaratannya Avira? Aku nggak hafal Al- Qur’an tapi aku sosok lelaki bertanggung jawab.”
“Ado, keluarga yang ingin ku bangun adalah keluarga dakwah dan tentu itu di bamgun berdasar Al- qur’an dan Sunnahnya. Minimal kamu hafal tiga Juz untuk melamarku.” Tegasku sebelum pergi beranjak meninggalkannya.
Ado termenung lama, Avira sudah beranjak pergi meninggalkannnya. Seberat inikah menikah dengan perempua-perempuan saleha, keluarga dakwah,tiga Juz Al- Qur’an? Ini adalah sebuah penolakan yang halus ah...kenapa aku baru menyadarinya, harusnya ini tantangan buatku. Ado berbalik mengejar Avira.
“Avira tunggu...!”
“Ya, ada apa lagi...”
“Aku terima tawaranmu, tapi kasih aku waktu.”
“Lima bulan, dan dalam jangka itu kamu nggak boleh menemui aku. Jika sudah hafal dan mampu memaknainya dengan benar boleh datang ke keluargaku.”
“It’s okey.” Ado yakin kalau dia bisa memenuhi persyaratan yang di ajukan ku
Merapi dihatiku mulai mencair, hari esok dan seterusnya biar kupasrahkan pada Tuhan termasuk siapa yang bakal jadi pendamping hidupku. ****
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini