Alif mulai rewel menanyakan Yoga, setiap
saat yang ditanyakan adalah Yoga sampai Santi sendiri kewalahan. Ikatan ayah
dan anak sudah terbangun begitu kuat dan Santi berusaha merampasnya.
Maafkan
mama sayang. Desisnya sambil membelai Alif yang tertidur pulas karena kecapekan
menangis gara-gara Santi menghancurkan mobil remot kesanyangann Alif pemberian Yoga. Karena dia merasa kesal dengan
anak itu yang mulai susah diatur. Bibi maryam memarahi Santi.
Mama
memang kejam, tapi percayalah sebenarnya mama sayang sama kamu hanya mama belum
siap menerima papamu membaur dalam keluarga kita dan ingin memilikimu
seutuhnya. Santi mulai terisak-isak sendiri.
“Yoga
itu baik, San. Penyayang, ibadahnya juga mulai rajin karena dia ingin
benar-benar berubah. Bahkan kalu kamu mau kembali padanya dia bersedia
meninggalkan dunianya dan memilih menjadi orang biasa untuk mendampingimu dan
membesarkan Alif disini.” Ujar bibi maryam kemarin.
“Benarkah?” Tapi rasanya tidak adil kalau Yoga mengorbankan dunia yang
telah dijalani dan disenaginya hanya demi dirinya.
“Dia
sudah menyesali perbuatan kasarnya dulu pada kamu. Saat itu dia menerima kamu
dengan terpaksa masih ingin bebas dan segera mewujudkan impiannya. Dia menawarkan
pernikahan kembali untuk menebus dosa
masa lalunya dan bersama membesarkan Alif.”
Santi
menggigit bibir perih.
Bayangan
saat komputernya dihancurkan, kepalanya di jedugkan ke dinding terus
membayanginya. Saat itu dia masih bisa sabar dan sudah memberikan Yoga
kesempata berubah,
tapi Yoga semakin berada diatas angin, tidak menghargai pernikahannya. Gonta-ganti pacar, lantas... ah...
sudahlah. Santi berusaha menghalau bayangan itu.
“Alif itu penyemangat hidupku, darah dagingku. Aku akan melakukan apa
saja untuknya, asal kamu mengijinkan agar aku tetap bersamanya.” Ujar Yoga
lewat telpon selulernya sebelum dia kembali ke Jakarta karena Santi saat itu
sedang berda di sekolah bersama Alif. Santi tidak berkata apa-apa dia segera
menutupnya.
Santi
berusaha untuk menahan isaknya supaya tak terdengar keluar kamar sambil terus
menatap wajah Alif yang tertidur pulas. Sebagai seorang ibu ingin sekali
memberikan kebahagiaan terindah untuk Alif. Berkata jujur kalau Om Yoga adalah ayahnya tapi rasa
sakit membuat ia bertahan.
****
Haris
kecewa juga ketika mendengar penuturan
adiknya, jika Santi belum siap menikah lagi.
Apakah
karena wanita itu masih menanti Yoga. Apalagi dia tahu sekarang Yoga sudah duda dan dia juga tahu laki-laki itu mulai
berubah seperti yang diperbincangkan media.
“Sudahlah
Ris, Santi mungkin masih trauma atau dia iangin membesarkan anaknya tanpa
campur tangan orang lain.
Dan
kesiapan seseorang itu tak bisa dipaksakan.” Ujar Rianto, dia sudah tahu Santi
punya anak dari Yoga.
Haris yang bilang tapi media belum tahu.
“Aku nggak apa-apa kok, mungkin
aku tak berjodoh dengannya.
Tapi
kalau ngomongin pernikahan aku selalu maju mundur dibuatnya.”
“Kenapa? Usia antum
sudah mendekati kepala tiga, soal ekonami tak kekurangan, mental rasanya sudah
siap jadi pemimpin. Ayolah Ris, tunggu apalagi. Ane juga mau nyariin muslimah buat antum. Kebaikan jangan ditunda-tunda,
menggenapkan separuh agama lho.” Rianto menyemangati.
“Susah
mempertahankan pernikahan diabad ini.”
“Lho
kok antum
jadi terpengaruh perkawinan para artis yang kawin cerai. Itukan mereka yang
batas pergaulannya tidak terjaga antara perempuan dan laki-laki, sedangkan kita kan tahu
batasannya. Bukan ane menjelekan mereka, lagian menikah juga kan menjaga
pandangan.”
“Entah
lah aku masih enjoy sendiri.”
“Hati-hati
lho Ris. Entar antum
malah
keasyikan sendiri.
Tahu-tahu
antum
sudah kepala empat.” Canda Rianto.
Haris
berusaha bersikap cuek tidak menanggapinya. Orang tuanya juga sering
ngomel-ngomel tentang kesendirian Haris, bahkan orangtuannya berusaha
memilihkan jodohnya. Tapi no there is choice. Emangnya zaman Siti nurbaya. Tapi
aneh anak-anak zaman sekarang sudah diberi kebebasan untuk memilih tapi paling
susah cari jodohnya, mungkin terlalu banyak persyaratan seperti Haris yang
punya banyak kriteria.
****
Hati
Yoga diteror perasaan gelisah, dia baru selesai konser. Para wartawan segera
mengerubutinya.
“Anda
sekarang jadi banyak berubah?”
“
Maksudnya?” Ujar Yoga sambil tersenyum tipis.
“Setelah
bercerai dari Rafika anda jadi lebih kalem dan matang tidak seagresif dulu.”
“Mungkin
sudah saatnya saya merubah image
pribadi saya yang anda kenal sangat buruk. Sesuatu yang sudah
terjadi di belakang biarlah menjadi milik masa lalu dan saya tidak ingin
mengulangnya lagi.”
“Apa
sudah berniat untuk menikah lagi?”
“Bagaimana
ya, pengen juga sih. Tapi saya harus selektif memilih istri tidak terburu-buru.
Pinginnya yang alim biar bisa membimbing saya.”
“Kabarnya
dekat dengan seorang ustadz, apa itu sebagai jalan mencari istri yang muslimah?”
“Hm... itu sebagai kesadaran saya. Mensyukuri nikmat yang telah diberikan
Tuhan pada saya dan juga ingin menjadi
manusia lebih
baik biar tidak di cap jelek terus.” Ujar Yoga sambil tertawa lebar. Selesai itu ia
segera naik kemobil bersama teman-temannya untuk beristirahat dihotel.
Teman-temanya
juga mengakui kalau Yoga banyak berubah meski tak terlalu besar tapi bagi
mereka itu sudah sangat mencengangkan. Yoga rajin ngasih nasihat pada
teman-temannya dan panggilan pak ustadz pun kerap terdengar dari teman-temannya
tapi Yoga tak ambil pusing, siapa tahu jadi ustadz beneran, amien.
****
Alif
sudah dua hari ini sakit, panasnya belum turun-turun dalam sakitnya yang
dipanggil terus om Yoga. Santi mulai resah, wajahnya pucat dan tidak mau makan.
Sudah
beberapa kali kompresnya diganti. Bibi Maryam dan paman Hendra menyarankan
untuk menghubungi Yoga.
“Lakukan
saja semuanya demi Alif, Santi.”
“Tapi...”
Santi diam sesaat. “Saya rasa Alif sakit biasa sebentar lagi juga panasnya
turun, kenapa harus menghubungi Yoga?”
“Santi...!”
Paman Hendra marah, selama ini dia belum pernah marah sama keponakannya. “Kamu
jangan terlalu mempertahankan egomu hanya karena masa lalu. Lihatlah anakmu dia
merindukan sentuhan ayahnya. Bagi Alif itu bertemu dengan Yoga sangat berarti.”
“Saya
akan membawanya ke Rumah sakit.” Ujar Santi keras kepala.
Menurut
keterangan dokter di rumah sakit Jampang,
Alif divonis sakit jantung bawaan atau disebut juga gagal jantung kognesif,
katup verticularnya rusak. Dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit yang
memiliki fasilitas lengkap di kota sekalian melakukan operasi secepatnya,
karena kalau dibiarkan akan berujung dengan kematian. Meskipun segalanya hanya
Allah yang menentukan. Tapi Alhamdulillah penyakit jantungnya bisa dideteksi
sejak dini.
Untuk
sesaat Santi terkejut mendengar penuturan dokter Anto dan tidak bisa berkata
apa-apa, dia hanya bisa menangis. Keceriaan Alif hilang, bocah lucu itu
terbaring dengan lemah, selang-selang berseliweran ditubuhnya. Benar-benar menyentak hati nurani Santi.
Paman
dan bibinya menyuruhnya untuk segera menghubungi Yoga, dia harus dikasih tahu.
Tidak ada cara lain lagi, untuk sementara egonya luruh demi Alif akan dia
lakukan asal Alif sembuh. Santi segera mengambil Hp ditasnya.
Yoga
entah kenapa dari kemarin perasaannya gelisah sekali, bayangan Alif terus
menari-nari.
Matanya
sulit dipejamkan meski sangat lelah dan Yoga pun tidak bernafsu untuk makan.
Twit..twit...
Hp yang tergeletak dimeja berbunyi.
“Assalamualaikum.” suara disebrang sana
menyadarkan keresahannya yang bergejolak.
“Wa’alaikumsalam,
San.” Yoga merasakan suara itu terdengar basah.
“Iya ini aku.
Maaf,
aku
mengganggumu sebentar.”
“Tidak
apa-apa, ada apa San?” Yoga penasaran.
“Alif
sakit dan selalu manggil nama kamu. Aku mohon... kamu...” Santi tak mampu
meneruskan kata-katanya. Dia malah terisak-isak.
Deg,
dada Yoga berdebar kencang. “Sakit apa?”
“Kata
dokter... sakit jantung bawaan dan dia harus segera di operasi...”
“Baiklah,
rumah Sakit mana?”
“Dokter
menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit dikota. Mungkin ke Assyfa dulu kalau
ngak mampu baru ke jakarta.”
“Ya
udah, jaga Alif baik-baik, ya? Nanti aku kesana.” Klik pembicaraan terputus.
Yoga
menarik nafas sedih.
Alif anak yang lucu terkena gagal jantung kognesif, kasihan. Ya Allah
mudah-mudahan Kau masih memberi dia kesempatan untuk hidup, agar aku.... mata
Yoga berkaca-kaca. Dia segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa
termasuk persiapan uang yang cukup untuk bekal pengobatan Alif.
Ketika
Yoga datang di Rs.Assyfa rumah sakit swata di sukabumi, wajah Alif berbinar
senang meskipun tubuhnya terbaring lemah.
“Om,
jangan tinggalin Alif lagi ya? Alif ingin selalu ada di dekat Om.” Ujarnya lemah.
“Tidak sayang, Om nggak bakal ninggalin Alif lagi.” Yoga mengusap kepala
Alif penuh sayang.
Mata
Santi berkaca-kaca tidak kuat mendengar kepolosan Alif. Alif tidak pernah tahu
kalau laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun ikatan yang sudah
terasa begitu kuat membuat mereka begitu dekat. Sementara Santi sebagai seorang
ibu berusaha ingin memisahkan rekatan kasih itu. Ibu macam apakah aku? Batinnya
perih.
“Ma,
Om yoga baik kan? Dan nggak
akan ninggalin Alif lagi.” Alif menatap Santi meminta sebuah jawaban.
“Iya sayang, Om Yoga nggak
akan ninggalin Alif lagi.” Mata Santi semakin menganak sungai. Yoga menyodorkan
saputangannya.
“Terimakasih.”
Alif
kini sudah terlelap dengan tidurnya.
“Aku
ingin kita bersatu lagi dan bersama membesarkan Alif. Dan aku janji bakal
memperbaiki semua kesalahan di masalaluku.” Sinar mata Yoga penuh kesungguhan.
“Bukankah
mas Yoga tak pernah mencintaiku? Jadi percuma kita bersatu pun hanya akan
memperlebar jurang perbedaan.”
“Jangan
pernah terikat pada masa lalu. Dulu aku melakukannya karena ayah tapi sekarang
karena kesadaranku, bahwa kaulah perempuan yang pantas untuk mendampingi
hidupku. Aku rela meninggalkan karierku untuk membina rumah tangga yang
bahagia. Terus terang aku saja aku sudah capek jadi orang terkenal, aku ingin
menjadi orang biasa tanpa seorangpun mengganggu kita.”
Hm...
Santi terdiam sesaat. Hening diantara
mereka. Bibi Maryam sudah tertidur kelelahan dibalut sleeping bag dilantai
ruang tunggu rumah sakit meringkuk memberi kesan lucu yang menyaksikan. Paman
Hendra beberapa kali menguap. Orang tua Santi dan Yoga sudah ditelpon dan
mereka berjanji akan datang besok.
“Berikan
aku kesempatan untuk memikirkannya.” Ucap Santi.
“Baiklah,
sekarang kamu istirahat saja dulu biar aku yang menunggu Alif.”
****
Setelah
melakukan operasi katup jantung di Mount
Elizabeth
Singapura.
Kodisi Alif
berangsur-angsur pulih setelah melakukan perawatan hampir satu bulan di negri
Lee Kuen Yew itu.
Yoga
yang mengusulkan untuk operasi disana karena technik medikal disana sudah maju.
Kini Alif sudah dibawa pulang tiga hari yang lalu namun dia kini tidak seaktif
dulu lagi. Mudah capek, jadi perlu pengawasan yang teratur. Yoga dan Santi
tentu paling bahagia melihat buah hatinya sudah sehat lagi.
Mama,
papa dan orang tua Yoga menyuruh
mereka untuk rujuk kembali. Setelah berpikir lama dan perhatian Yoga yang baik
hati Santi luluh juga.
“Gue mendukung banget Ga, kalau loe mau comeback lagi pada Santi. Dia perempuan baik, terbukti kan kesetiaanya nunggu loe
insyaf he...he... Lagian
loe beruntung punya anak yang lucu. Gue jadi ngiri deh. By the way loe masih
punya stock yang kayak gitu nggak
Ga,
gue mau deh.”
“Uh...
emangnya barang.” Celetuk Yoga.
“He...he... kemana nih mau bulan madunya?” Canda Sandi lagi.
“Belum tahu nih, loe bisa nunjukin tempat-tempat fresh dan romantis nggak?”
“Bali...”
“Dulu sama Rafika ke Bali.”
“Ya, sudah dirumah saja. Ngirit biaya oii.”
“Betul juga San, mendingan biaya bulan madunya dipakai untuk biaya yang
lain, ditabung buat biaya anak sekolah.”
“Bagus,
kamu jadi lebih dewasa deh, gue senang dengarnya.” puji Sandi.
“Hm...
jadi mekar deh hidung gue.”
“Awas
lho meledak.” Mereka saling bercanda di telpon.
Ditempat paman Hendra
Alif
sedang asyik bermain
komputer.
Dia
sedang menulis cerita tentang kerinduannya pada seorang ayah, dengan kata-kata
yang khas seusia Alif.
“Mama
lihat ceritanya bagus nggak?”
Santi
yang sedang membaca majalah dakwah bangkit dan mendekati Alif. Santi terenyuh
membacanya.
“Jadi
Alif pengen ketemu papa?”
“Iya,
Alif kangeeen banget sama papa.
Kenapa
sih papa lama banget sekolahnya?”
“Sebentar
lagi papa Alif akan datang.”
“Kapan
ma?”
“Sekarang.”
“Benar Ma?” Mata Alif mencari
kesungguhan.
“Iya...”
Santi mengangguk yakin.
“Asyik,
Alif bakal ketemu papa.” Ujar anak itu riang.
“Ini foto papa Alif.” Santi memberikan foto ukuran post
card. Foto pernikahannya dulu yang dia sembunyikan dari Alif.
“Ini
mama waktu nikah kan? Hem... eh... tapi pengantin laki-lakinya mirif Om Yoga...”
“Karena
sebenarnya Om
Yoga itu papa Alif.” Suara Santi tenggelam.
Alif
menatap mamanya, meminta kepastian.
“Iya
sayang, Om
Yoga itu papa kamu.
Maafkan
mama ya,
telah bohong sama Alif.”
ujar
Santi disesaki rasa bersalah.
Tapi
anak itu bukan bahagia ketika mendengar penjelasan mamanya. Wajahnya berubah
muram.
“Mama
jahat, udah bohongi Alif. Kata mama papa sekolah di luar negri, tapi mama
bohong!” Protesnya. Alif segera berlari kekamarnya dan mengurung diri disana.
Dia benar-benar marah.
Santi terhenyak tidak menyangka akan
seperti ini jadinya. Santi segera menyusul anak itu.
“Alif
benci sama mama yang sudah bohongin Alif!” Anak itu masih ngambek.
Santi
memejamkan matanya, perih tiba-tiba merambah kedadanya. Selama ini ia tak mengira akan sejauh ini
jadinya,
tapi justru malah mengguncang jiwa Alif. Santi menarik nafas panjang. Banyak
yang diajarkan kepada Alif terutama untuk tidak berbohong ternyata hanya
sebatas retorika.
“Maafkan mama sayang. Mama...” Santi malah terjebak dalam tangisannya.
Dia berusaha mengusap kepala Alif tapi anak itu malah menepisnya.
Ya
Allah, Santi terperanjat. Ada luka dihati Alif, hal yang tak pernah ia duga.
Kenapa sebagai seorang ibu tak dapat menyelami permata hatinya.
“Kenapa
mama harus bohongin Alif kalau om Yoga itu papa Alif? Kenapa mama harus bilang
kalau papa Alif itu sekolah diluar negri?” Protesnya dengan wajah masih kerkerut-kerut.
Untuk
sesaat Santi tidak menjawab.
Sungguh
anak seusia Alif bisa berkata seperti itu. Pertanyaan yang terlampau dewasa untuk
anak seusianya. Ketika anak lain masih merengek manja, dia sudah diajarka untuk
tidak manja dan harus mandiri. Bahkan di usia seperti ini dia sudah melahap
banyak buku dengan rakus setelah melakukan tahap seleksi dulu mana buku-buku
yang boleh dibaca.
“Alif...” panggil Santi pelan. “Maafkan
mama sayang.
Mama
sudah bohongin kamu tapi semua itu...” suara Santi tenggelam disusul dengan air
matanya.
Apakah
Alif harus tahu sekarang tentang segala yang pernah terjadi.
“Karena apa, Ma?” Ujar Alif mulai bersimpati dengan tangisan mamanya.
Matanya memancar sebuah keingintahuan.
“Karena...”
Santi menghela nafas berat. “Karena papa Alif dulu tak pernah sayang sama mama,
sehingga mama pilih cerai dari papa. Tapi sekarang papa sudah menyadari
kesalahannya.
Mama
harap Alif bisa memaafkan semua kesalahan papa.”
“Ma...” kata Alif pelan sambil memegang tangan mamanya. “Kata mama Allah
juga maha pemaaf pada ummatnya jadi Alif juga harus memaafkan papa, biar Allah
semakin sayang sama mama dan Alif.” Ujar Alif polos namun menyentuh ruang hati
Santi.
“Alhamdulillah,
mama sangat senang dengarnya.” Santi memeluk putra semata wayangnya.
Terdengar diluar suara mobil masuk ke pekarangan paman
Hendra, Santi mengintipnya ke tirai jendela.
“Siapa
ma?” Mata Alif berbinar
“Papa
Alif datang.”
“Papa,”
pekik anak itu senang. Pendar dimatanya terlihat bahagia.
Ah... belum pernah ia
melihat kebahagiaan seperti ini di wajah Alif. Kerinduan anak itu tentang ayah
mulai terbayar. Alif segera bangkit dari tempat tidurnya dan menarik tangan
Santi. “Mama ayo kita temuin papa.”
Santi menurut mengikuti langkah Alif.
Yoga
segera turun dari mobil BMWnya, dia menurunkan barang bawaan dari bagasi
mobilnya. Alif berlari menuju papanya.
“Papa...!” ujar Alif dengan penuh keceriaan.
“Alif...”
Untuk sesaat Yoga tertegun seperti dihipnotis mendengar kata panggilan papa
dari Alif, benar-benar
sebuah panggilan menyejukan. Akhirnya panggilan yang dirindukan
itu datang juga.
“Papa,
bagaimana kabarnya? Alif kangen banget sama papa. Kita sekarang akan bersama
kan, Pa?”
“Alhamdulillah.” Mata Yoga berkaca hari ini adalah kebahagiaan
terindah bagi hidupnya kalau dirinya benar-benar sudah menjadi seorang ayah dan
tanggung jawab menanti dihadapannya. “Kabar
papa baik dan papa juga sudah kangen banget sama Alif. InsyaAllah kita akan selalu
bersama.”
Kata Yoga sambil memeluk Alif.
Santi
yang menyaksikan menangis diam-diam.
“Mama...”
Alif kembali menghambur mamanya.
“Alif
senang kalau mama bisa memaafkan papa dan kita bisa sama-sama lagi.”
Santi
mengusap air matanya dengan ujung jilbabnya, lalu matanya perlahan menatap Yoga. Yoga membalasnya dengan senyuman
cerah.
“Aku
bahagia, kamu telah mendidik Alif dengan sebaik-baiknya. Seandainya dari dulu
aku menyadari tentang pilihan pendamping yang terbaik...”
“Mungkin harus seperti itulah jalan hidup kita. Sebuah ujian untuk
sebuah kesadaran.
Biarlah
masa itu berlalu yang akan kita tapaki adalah masa depan. Mudah-mudahan masa
depan yang akan kita jalani lebih baik dari masa lalu.”
Angin
berhembus lembut.
Yoga menghirup udara segar semerbak cinta mulai mewangi bagai sekuntum mawar
yang baru mekar. Tak lupa laungan syukur pada Tuhan dia panjatkan lewat bisikan
hatinya.