Subscribe Us

[NOVEL] MERAJUT BENING CINTA #10



               “Aduh... Santi kata bibi juga apa, kamu tuh jangan banyak kesana kemari kandunganmu udah besar, gimana kalau ada sesuatu yang terjadi dengan kandunganmu.”
            “Tenang Bi, justru usia kandungan seperti ini kita harus aktife agar memudahkan dalam proses persalinan nanti.”
            “Ah... kamu suka bikin Bibi khawatir saja, biar masak sama Bibi dan Indri. Kamu istirahat saja didalam.”  Cerewet Bi Maryam.
            Karena terus diomelin sama bibi Maryam, akhinya Santi nurut juga dan meninggalkan pekerjaannya sebab kalau Santi membandel bibi Maryam akan terus berbicara sebagai rasa sayangnya pada santi.
            Mama dan papa sudah berkali-kali menelpon menanyakan kalau santi mau melahirkan dimana? Tapi Santi lebih memilih melahirkan dikampung dan bibi Maryam juga tidak keberatan. Bahkan dia bilang ke orangtua Santi jangan kawatir sebab disini juga ada yang memperhatikan membuat Santi bertambah betah, dia merasa jadi orang berguna tinggal dikampung Bi Maryam.
            Selesai shalat isya, Santi merasakan perutnya sakit dia tidak yakin kalau waktu melahirkan telah tiba karena perkiraan dokter seminggu lagi, tapi Santi sudah tidak kuat, ia memanggil bibi Maryam.
            “Pasti kamu mau melahirkan San.” bibi Maryam jadi sibuk sendiri dan nyuruh paman Hendra memanggil bidan, untungnya rumah bidan tidak jauh jadi bisa cepat-cepat datang.
            Allamdillah Allah memberi kemudahan dalam proses persalinan Santi. Tidak lama sekitar dua jam dari  kontraksi kemudian disusul ketubannya pecah, 15 menit kemudian bayinya lahir dengan selamat. Bayinya laki-laki dengan berat tiga kilogram. Bibi Maryam kelihatan gembira merasa ia yang telah melahirkan bayi itu.
            Berbeda dengan paman Hendra yang kelihatan sedih, bayi yang malang. Desisnya dengan terenyuh, kelahirannya tanpa didampingi ayahnya.
            Bapak kunaon bengong wae sih…? ayo segera di azdanin biar jadi jadi anak sholeh.” Ucap bibi maryam sambil menyerahkan bayi yang sudah rapi  pada paman Hendra, dan bayi itu segera di adzanin olehnya.
            “Aih..aih... anak tampan, kulitnya putih, hidungnya mancung seperti ibunya, alisnya hitam lagi.” Celoteh Bi Maryam sambil menimang bayi itu. “Bapak jangan melamun terus atuh, ayo telepon kakakmu kalau Santi udah lahiran bayinya laki-laki tampan lagi.” Bibi Maryam gemas melihat suaminya yang terus melamun.
            “Tenang atuh Umi, bawel pisannya.”
            Tenang-tenang, pasti Kang Sasmita jeung si Eceuna ngges teu sabar aya berita ti urang, jing buruan kaditu, ah.”
            Paman Hendra bangkit juga. Sedang Bu Sasmita dari tadi sudah gelisah dari duduknya, nonton TV juga jadi nggak fokus.
            “Dari tadi bolak-balik kaya setrikaan, jalan duduk... jalan duduk. .. Ada apa Ma?” Tanya  suaminya kesal melihat istrinya tidak bisa diam.
            “Perasaan Mama nggak enak Pa, kenapa ya?”
            “Alah mama jangan terlalu mengikuti perasaan, tidak sehat.”
            “Papa ini gimana sih, perasaan wanita itu lebih tajam dari pada laki-laki.” Mereka saling berbantahan.
            Kriing...! Bu Sasmita segera memburu telpon.
            “Asalamualaikun....”
            “waalaikun Salam. Ada apa Hen? Apa... melahirkan? Laki-laki, sehat, selamat. Alhamdulillah. Iya...iya Eceu pasti kesana.”
            “Ada apa Ma?” Pak Sasmita tak sabar.
            Bu Sasmita segera menutup telponnya lalu menatap suaminya dengan perasaan bahagia.
            “Santi sudah melahirkan Pa, laki-laki.”
            “Alhamdulillah, malam ini juga kita kesana Bu. Papa sudah nggak sabar.” Pak Sasmita segera memanggil supir pribadinya dan istrinya segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya, mereka sangat bahagia menyambut cucu keduanya.
****
            Bu Sasmita dan suaminya saling bergantian menimang cucunya, Santi bahagia melihat keceriaan diwajah orangtuanya. Dia paling tabah meski anaknya lahir tanpa kehadiran ayahnya. Dia berjanji akan merawat bayinya baik-baik dan menjadikan anak yang sholeh dan cerdas. Yoga anggaplah sebagai masa lalu yang telah hilang, mungkin kalau di sudah siap akan menjelaskan pada kakek dan neneknya.
            Mama dan papa saling berebutan memberikan nama untuk cucunya itu, nama itu doa jadi harus ada artinya. berharap doanya menjadi kenyataan sebagai harapan  orang tuanya. Paman Hendra ikut urun rembug.
            “Alif Rahmatullah.” ujar Santi.
            “Artinya.” ujar mama dan papa berbarengan.
            “Alif itu lurus, Santi berharap nanti Alif selalu ada dijalan yang lurus dan diridhoi oleh  Allah dan rahmatullah selalu ada dalam Rahmat Allah.”
            “Ya sudahlah, nama itu sudah bagus.” Mama, papa, paman Hendra dan bibi Maryam setuju. Mereka sudah siap-siap untuk segera selamatan bayi sambil aqikah.
            “Kamu tak punya niat untuk memberitahu Yoga,San?” Tanya papa.
            “Belum waktunya, Pa.” ujar Santi sambil menggeleng. Tiba-tiba Alif menangis minta ASI, mama segera menyerahkan Alif untuk diberi ASI pada Santi.
            Anak didik Santi serta tetangga banyak yang datang menengok ingin melihat bayi Santi dengan membawa kado buat sang bayi.
            Papa dan mama cuma tiga hari tinggal didesa, mereka sebenarnya masih kerasan tinggal didesa, tapi gimana lagi papa harus kerja dan mereka berjanji akan sering menegok cucunya.
****
            Yoga berencana menikah dengan dengan Rafika seorang model berdarah jawa, Prancis. Rafika memulai karriernya dari Prancis dan kembali ke Indonesia. Dia masuk jajaran model papan atas, paras indonya sangat memikat sehingga banyak diincar para produser film. Dia menjadi model vidio klip, bintang iklan, penyanyi dan beberapa sinetron dijalaninya, dia benar-benar bintang  berbakat.
            Ketika Yoga mengunjungi orangtuanya untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan Rafika.
            “Urusi saja sama kamu sendiri, Ayah tak mau ikut campur urusan kamu lagi.” Ucap ayah benci. “Sampai kapanpun kamu tak akan menemukan perempuan sesempurna Santi, jadi sekarang terserah kamu mau kawin dengan siapapun terserah.”
            Yoga menarik nafas, ternyata ayah masih menginginkan dia kembali pada Santi. Tapi tak mungkin, meskipun dia mengakui ada satu sisi yang tak bisa dimiliki oleh wanita-wanita yang pernah dipacarinya bahkan oleh Rafika sekalipun. Lalu Yoga memandang ibunya meminta pendapat.
            “Kamu sudah dewasa untuk menentukan pilihan, jangan pernah meminta pendapat pada kami Yoga. Kamu yang cinta dan kamu yang akan menjalani rumah tangga. Ibu hanya berdoa supaya kamu bahagia dan menjadikan pernikahan bukan  hanya pelarian saja, tapi tempat berteduh yang menjadikah rumah tanggamu sakinah, mawadah dan warahmah”.
            “Dan rasakan pahit dan manisnya sendiri, jangan pernah kamu lari kesini kalau punya masalah. Selesaikan sendiri karena kamu laki-laki dan ingat aku tak akan pernah menghadiri pernikahannmu. Suara ayah dingin lalu bangkit meninggalkan ruang keluarga. Ibu pun ikut bangkit meninggalkan Yoga dan Hardian yang dari tadi diam tak berkomentar.
           “Pernikahan tak sekedar cinta saja sebagai pondasi mas Yoga, aku banyak berkaca pada pernikahan para artis yang kawin cerai. Sebenarnya mereka menikah bukan didasari niat yang ikhlas tapi karena nafsu semata.  Cuma mengandalkan cinta, sedangkan cinta suatu saat akan sirna yang muncul hanya masalah dan berujung pada keretakan cinta bila cinta itu sudah hilang.
           Sebenarnya kriteria ayah dan ibu hanya ada pada diri mbak Santi tapi Allah memang pengatur segalanya. Mas Yoga mau menikah dengan siapapun itu hak  Yoga, cuma mas Yoga harus banyak bercermin pada kegagalan supaya lebih hati-hati dalam melangkah.
            “Sudah beres ceramahnya.” ujar Yoga kesal diceramahi, “Sudah ya, sekarang aku mau pulang dan aku akan tetap menikah meskipun kalian tidak hadir.
             Hardian mengangkat bahu acuh. Yoga bangkit dan keluar dari rumah orangtuanya. Terdengar suara mobil meninggalkan pekarangan rumah.
            Gosip semakin ramai membicarakan pernikan Yoga dan Rafika yang sudah pacaran selama lima bulan dan kini berniat menuju arah yang serius yaitu pernikahan media juga membicarakan tentang ketidaksetujuan orang tua Yoga. Gadis-gadis yang pernah jadi pacar Yoga dan mengidolakannya benar-benar broken heart bahkan ada yang terang-terangan bilang kalau Yoga cowok playboy yang suka mempermainkan perasaan wanita.
           Bah... yoga tak peduli dengan semua itu, yang penting dia menikah dengan rafika. Untungnya Rafika tidak terpengaruh beri-berita miring itu. Pernikahan akan tetap berlangsung, mereka yang bilang miring tentang hubungannya mungkin syirik dengan kebahagiaan yang di perolehnya.
           Pernikahan akan dilakukan di hotel berbintang dan sangat meriah. Pokoknya  mereka pasangan yang paling berbahagia di tahun ini.
           Keluarga Yoga tidak ambil pusing dengan apa yang akan dilakukan anaknya, saat wartawan menemuinya mereka memilih no coment dan tidak mau terbuka. Pak Subroto memang paling sebal dengan kehadiran wartawan.
 Kenapa sih mereka selalu usil ingi tahu masalah orang lain, jadi keluarga punya anak artis saja sudah pusing, apalagi kalau dirinya yang artis. Bikin boring kemana-mana selalu dijadikan bahan berita.
****
          “Rudi loe ngak punya niat kembali pada Karina?” Tanya Ronald.
           “Aku sudah bosan diatur perempuan itu.”
          “Hm.. siapa tahu dia sadar Rud, dia kan cita banget sama loe.”
          “Nggak, gue udah ngerasa sakit. Dia udah ngelecehin harga diri gue sebagai laki-laki.”
         “Ya sudah, kalau gitu loe kerja bareng gue aja sambil tetep fokus deketin Mitha secara perlahan.
         “Thank, loe baik mau memikirkan gue.”
         “ Loe kan sobat gue  dari kecil”. Ronal menepuk bahu Rudi.
         “Gue sekarang pulang dulu ya, Nald. Kakak gue pasti khawatir gue nggak pulang-pulang.”
         “Boleh ntar loe kemari lagi ya.”
         “Ok!”
          Setelah kejadian dua minggu yang lalu saat Rudi datang kerumah Mitha, hati Mitha tak merasa tenang. Zahra bahkan kritis menanyakan siapa laki-laki itu tapi Mitha tidak menanggapinya, bahkan dia malah sering membentaknya.
         “Kamu masih kecil, jangan mau tahu urusan orang dewasa! Bentaknya.” Ya... mitha tahu kalau cara-cara seperti itu tidak baik untuk pembelajaran pada Zahra, bukankah masa-masa seperti itu adalah masa meniru prilaku yang diajarkan oleh orangtuanya. Pelajaran yang akan membekas sampai dia dewasa. Hh.. bukan tidak mungkin kalau zahra nantinya akan seperti itu. Tapi Mitha benci! Benci sekali dengan masa lalunya.
          Ronald beberapa kali telepon kalau Rudi sungguh-sungguh ingin melebur masa lalunya, “Apakah kamu tidak akan memaafkannya, Mitha? Pikirkan Zahra dia butuh pigur ayah.
         “Jadi kamu yang ngasih alamat rumahku sama Rudi?” Mitha benar-benar marah.      
        “Nggak salah kan, kalau aku membantu orang yang ingin bertobat. Hitung-hitung cari pahala.”
        “Brengsek! Kupikir kamu teman yang berbeda dari yang lain ternyata sama saja. Ingat Ronald kamu jangan ikut campur urusan hidupku!
        “Mitha, kamu ngak boleh egois gitu dong.”
        “BODO!!” Mitha segera menutup telponnya dengan kasar, nafasnya terengah-engah menahan amarah, dan akhirnya dia terisak-isak luruh dilantai. Kebencian Mitha pada masa lalunya tidak bisa ditebus dengan apapun tapi entahlah bila suatu saat.
      “Mama ada telepon!” Teriak zahra membuyarkan lamunan Mitha.
      “Kamu lagi.” Mitha sebal dengan Ronald yang menelponnya.
      “Please Mitha jangan tutup dulu, ini berita penting.”
      “Sepenting apa?”
      “Rudi kecelakaan sepulang dari rumahku, sekarang dia ada di RS.AZRA. Kamu bisa datang kan, Mit? Aku mohon sekali ini, kata dokter dia kondisinya kritis. Ayolah Mitha.” suara Ronald memohon banget.
       “Baiklah.” Mitha luluh juga ada rasa sedih menyusup jiwanya karena laki-laki itu adalah ayah dari anaknya. Bagaimana nanti menjelaskan pada Zahra seandainya... Mitha menepis pikiran buruk itu dan segera memanggil Zahra untuk segera pergi ke Rumah sakit.
       “Nengok siapa sih Ma?”
       “Teman Mama.” Jawab Mitha singkat.
         Ruang tunggu Rumah sakit hanya Ronald yang menunggu dengan gelisah. Mbak Tantri sudah ditelpon dan menuju kemari begitupun dengan Karina. Ketika Dokter keluar, Ronald segera menyongsongnya.
      “Bagaimana dengan sahabat saya, dokter?”
      “Lukanya cukup parah, saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi...”
     “Tapi kenapa dokter?”
     “Temuilah, gunakan masa-masa terakhirnya ini untuk mendampinginya dan dia memanggil-manggil Mith...”
     “Mitha dokter.”
     “Ya.”
     “Dia menuju kemari mudah-mudahan dia segera  datang.”
      Tidak lama Mitha datang, dia kelihatan shock juga.
      “Mith..Mitha....” suara Rudi pelan. Mitha mendekat, egonya untuk sesaat runtuh.
      “Ma..ma..maaf..kan..aku...”
      “Sudahlah Rud, aku sudah memaafkanmu.”
       “Ak...aku...titip...anak... kita.”
       “Zahra, Rud.”  Mitha segera mendekatkan tangan Zahra pada ayahnya, Rudi memegang tangan Zahra kedadanya.
         Kenapa ego itu harus cair disaat kebersamaan hapir usai, mata Mitha berkaca-kaca dan tidak lama Rudi menghembuskan nafas terakhirnya.
          Satu jam setelah Rudi meninggalkan dunia ini, mbak Tantri datang disusul Karina. Mbak Tantri terlihat paling tabah. Karina menangis meraung-raung tapi segera ditenangkan oleh mbak Tantri.
         Ronald segera mengurus administrasi dan segera  menyewa ambulan. Mayat harus segera dikuburkan. Hari yang penuh duka, langit mendung seperti ikut bersedih dengan apa yang terjadi pada keluarga Rudi. [BERSAMBUNG]
****

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini