Subscribe Us

[NOVEL] MERAJUT BENING CINTA # 9



Santi sangat kerasan tinggal di kampung paman Hendra, adik ayahnya. Suasana pedesaan yang sangat penuh kekeluargaan belum banyak terjamah oleh virus kota, meskipun dampak modernisasi sudah mulai merambah kedesa-desa. Paman Hendra dan bibi Maryam sangat menyayanginya apalagi diusia pernikahan mereka yang sudah hampir 20 tahun belum juga di karuniai anak, tapi mereka memiliki anak adopsi berusia 12 tahun.


            Bibi maryam tidak bisa memberikan keturunan karena rahimnya sudah diangkat akibat kangker rahim yang dideritannya, untunglah paman Hendra laki-laki yang setia, dia tidak berniat untuk menikah lagi. Dikampungnya paman Hendra termasuk petani sukses yang memiliki puluhan petak sawah dan cukup loyal untuk urusan sosial karena dia menyayangi masyarakat dikampungnya.

            Santi kini sudah mulai mengajar disebuah SMU yang ada dikecamatan pamannya,  ia mengajar matematika dan juga membina siswa-siswi di rohis SMU tempat dia mengajar.

            Makin hari kandungan Santi makin membesar, sekarang menginjak usia enam bulan, dia bilang pada orang-orang kalau suaminya sedang sekolah diluar negri, jawaban yang simple dan orang-orang juga tidak banyak bertanya tentang suaminya. Bibi Maryam sangat memperhatikan sekali kandungan Santi dan selalu menyarankan  keponakannya untuk memeeriksa kandungannya ke Bidan secara teratur, dan melarangnya melakukan banyak aktivitas. Sekali-kali Mama dan Papa menengoknya dan mengirimkan kabar kalau Bu Subroto dan Pak Subroto sering menanyakannya. Katanya kenapa jarang bersilaturahmi ke keluarga mantan mertuanya.

            Yoga semakin terkenal, dan selepas dari Santi hidupnya semakin bebas dalam artian benar-benar playboy. Dia sering gonta-ganti pacar yang sudah bukan rahasia lagi. Keluarganya sudak tak peduli lagi dengan apa yang dilakukannya, apalagi pak Subroto yang paling apatis setelah dia cerai dengan Santi.

            Pagi-pagi sekali hawa sejuk pedesaan menusuk kulit, Santi jalan-jalan dipematang sawah ditemani Indri anak angkat paman Hendra, embun pagi masih bergelayut mesra menapak di rumput-rumput seperti butiran mutiara tersorot teja pagi.

            Para petani sudah mulai pergi kesawahnya untuk menui padi, musim panen telah tiba. Para penduduk menyapanya dengan penuh keramahan dan bercakap-cakap sebentar. Rasanya hidup dikota jarang sekali menemukan suasana seperti ini, virus individualisasi sudah mengakar kuat dan kota juga mulai gersang penuh  kebisingan. Polusi dimana-mana, rawan kejahatan.,sampah mobil dan sampah yang berasal dari rumah dan pabrik semakin menumpuk tiap harinya. untuk menemukan sungai yang masih naturalpun sulit sekali kalau bukan ditempat rekreasi. Sebenarnya apasih yang harus dibanggakan hidup dikota-kota, lebih indah hidup didesa. Hidup memang tak harus ngoyo yang penting tentram dan sehat.

            Teh Santi, uih yuk tos siang.” Teriak Indri yang dari tadi kerjaannya menangkap belalang di daun talas, katanya enak buat digoreng meskipun Santi belum pernah mencoba habisnya geli tubuh belalang mirip ulat walaupun belalang halal buat dimakan.

            “Iya, sebentar lagi. Indri saja yang duluan.”

            “Kalau begitu Indri pulang duluan ya, Teh.”

            “Iya, boleh.”

            Sementara Santi masih asyik bercakap-cakap dengan pak Makmur yang sedang menuai padi disawahnya, membicarakan tentang keluhan petani tentang harga pupuk yang semakin meningkat sementara harga gabah pasca panen selalu merosot. Dimana keadilan pemerintah terhadap kaum petani, padahal jasa petani tak bisa dianggap remeh, karena mereka ikut andil  dalam menyejahtrakan warga indonesia dalam bidang pangan.

            “Seharusnya kita tak terlalu menggantungkan pada pupuk kimia pak, bukankah pupuk alam itu lebih bagus dalam menyuburkan tanah. Pemupukan kimia secara berkelanjutan hanya akan menyebabkan unsur zat tanah terkikis dan sawah semakin tak subur.”

            “Maksud neng Santi?”

            “Kita kembalikan menggunakan pupuk alam seperti nenek moyang kita dulu dengan menggunakan daun-daun yang dibuat kompos dengan cara dibusukan dulu, bisa juga dengan menggunakan kotoran binatang ternak. Saya rasa itu lebih bagus dan menghemat biaya.”

            Wah tak terasa sudah jam setengah tujuh lebih, Santi melirik jam tangannya.

            “Saya pulang duluan Pak, masih ada banyak pekerjaan menanti.”

            “Oh iya, silkan Neng.” Jawab pak Makmur.

            Semakin hari Santi semakin akrab dengan masyarakat bahkan ia juga aktif mengisi pengajian ibu-ibu setiap jum’at sore dan ikut serta dalam pengurusan PKK. Rencananya dia ingin membuat pengajian remaja dikampungnya, hitung-hitung mengisi waktu dan tambah pahala lagian dikampung paman Hendra banyak remaja usia produktif sehingga mereka perlu wadah untuk menyalurkan masa-masa mereka kearah yang positif. Proses pembekalan agama dalam menghadapi tantangan modernisasi yang semakin dahsyat. Setidaknya degradasi moral bisa dibentengi jika mereka punya pemahaman agama yang baik.

      ****

            Keluarga pak Subroto nampak sedang berbincang-bincang diruang keluarga.

            “Ibu kangen sekali pada Santi, kemana ya anak itu tidak pernah kemari. Ibu sudah merasa dia anak sebagai anak sendiri.” Bu Subroto memulai percakapannya.

            Pak Subroto tampak menarik nafas berat, dia paling kecewa dengan kejadian perceraian Yoga dengan Santi beberapa bulan lalu. Dulu dia paling ngotot menjodohkan Yoga dengan Santi. Ketika perceraian itu terjadi para kuli disket datang kerumahnya, keluarga pak Subroto hanya pilih no coment.

            “Ayah juga kangen, dia memang benar-benar menantu pilihan ayah. Sudah sholeh, pintar, cantik lagi. Ayah heran dengan sikap anak kita yang sebodoh itu.” Ujar ayah geram.

            “Hm... besok kan libur Yah, bagaimana kita bersilaturahmi kekeluarga bekas besan kita, dengan keluarga mereka kan ngak punya masalah.” Usul Hardian.

            “Bagaimana bu?”  Pak Subroto bertanya pada istrinya

     .      “Ibu setuju banget, meskipun diantara keluarga kita dengan Santi sudah tidak ada apa-apa tapi menjalin silaturahmi itu wajib banget. Begitu kan, Yan?”

            “Betul bu, makanya kita besok kesana. Untuk lebih mempererat silaturahmi diantara keluarga kita dan mbak Santi supaya ngak putus.”

            Besoknya mereka berkunjung kerumah keluarga besar Santi.

            “kami sekeluarga kemari selain ingin bersilaturahmi juga sudah kangen pada Santi.” Ungkap Bu Subroto.

            “Alhamdullah kami senang sekali dengan ketangan keluarga pak Subroto kemari, Silakan masuk.” Ujar Bu Sasmita.

            Merekapun saling mengobrol, diantara mereka seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak lama suguhan datang diantar oleh pembantu keluarga Sasmita, mbok Karsih.

     Ketika menyinggung soal Santi. Pak Sasmita dan istrinya saling pandang, bingung juga apa harus dikasih tahu sebenarnya tentang Santi atau tidak.

            “Begini ya Bu, Pak. Santi sudah lama ngak tinggal diciputat. Hampir lima bulan lebih.”

            “Terus sekarang dimana?” kejar Pak Subroto tak sabar.

            “Dia ikut pamannya dikampung Sukabumi sambil ngajar di SMU. Rupanya dia kerasan tinggal disana buktinya kalau diajak pulang suka nggak mau” terang  Bu Sasmita.

            Pak Subroto dan istrinya benar-benar kecewa mendengarnya, datang tapi orang yang diharapkannya tidak ada.

            “ Sayang sekali, kenapa atuh tidak bilang dulu pada Ibu kalau dia mau pergi.” sesal Bu Subroto dengan nada sedih. Santi buat Bu Sobroto seperti anak perempuannya yang diimpikannya selama bertahun-tahun.

            “Katanya dia ingi menenangkan hati dan pikirannya, capek jadi kejaran wartawan. Padahal Santi dan Yoga sudah tak punya hubugan apa-apa.” Tambah bu Sasmita. Namun tak membicarakan kehamilan yang terjadi pada anaknya. Biarlah santi sendiri yang menjelaskannya nanti kalau dia sudah benar-benar siap.

****

            Jam pelajaran terakhir matematika sudah selesai, santi segera memberesi buku paketnya sambil menunggu waktu pulang disiapkan oleh ketua kelas.

            Santi termasuk guru yang diidolakan murid-mirinya selain cara mengajarnya yang enak diapun sangat dekat dengan murid-muridnya. Ketika acara membaca doa selesai, Santi segera melangkahkan kakinya menuju ruang guru.

            “Bu Santi...!” Teriak Ayu sanbil mengejarnya.

            “Ada apa yu?”

            “Ini buku yang saya pinjam seminggu yang lalu. Makasih ya,Bu.” Ayu menyodorkan bukunya yang membahas tentang jilbab.

            “Sama-sama, gimana isinya?”

            “Bagus, ternyata memakai jilbab itu wajib ya. Ayu jadi malu terutama sama Allah, sudah dikasih nikmat yang banyak tapi belum mau menutup aurat padahal menutup aurat itu selain kewajiban juga menjaga diri kita dari kejahatan laki-laki iseng.” Urai Ayu gadis yang paling cerdas di kelas 11 IPA bahkan ia pernah mewakili siswa teladan sejawa barat. Anaknya manis dan banyak nanya terutama ajaran tauhid yang kurang didapat.

            “Jadi Ayu kapan siapnya pakai jilbab?”

            “Doain aja supaya Ayu cepat-cepat berjilbab.” Ujar gadis itu sambil tersenyum manis.

            “Amien.. insyaAllah ibu doakan.”

            “Mm... Bu...”

            “Ya...”

            “Boleh ngak Ayu main kerumah ibu, bareng teman-teman Ayu mau diskusi sama ibu sambil pinjam buku.”

            “Kapan tuh?”

            “Sekarang.”

            “Wah, kok dadakan banget,  tapi boleh. Bentar ya ibu ke kantor dulu.”

            “Iya, Bu.” Ayu merasa lega.

            “Hai ...Ayu, mau pulang bareng sama aku nggak?” Teriak Dimas yang sudah dari tadi nangkring di motornya sambil nunggu Rahayu.

            Ayu membetulkan letak kacamatanya yang melorot.

            “Nggak ah, kamu aja duluan.”

            “Huh, awas lho kalau butuh lagi sama aku.” Dimas misuh-misuh, udah nunggu dicuekin. Dimas langsung menstater motornya dan Brummm... motornya melesat keluar gerbang, tak peduli dengan teriakan cewek-cewek yang menjerit-jerit melihat cowok itu keluar. Maklum Dimas termasuk cowok yang banyak fansnya tapi sikapnya cuek banget.

    ****

            “Jadi ibu penulis? Wah Ayu bangga banget punya guru seorang penulis.” Ayu kaget juga ketika membaca biografi Santi yang tertera dibelakang buku novel yang sedang dibacanya.

            “Hanya mengisi waktu yang kosong juga menyalurkan hobi.”

            “Kalau gitu, Ayu ajari juga cara nulis yang bagus dong, Bu. Atau kita bikin bimbingan kepenulisan, gimana bu? Teman-teman pasti suka, karena banyak teman-teman yang punya bakat menulis hanya mereka tidak tahu cara menyalurkannya.”

            “Hm....ibu dengar kamu juga sering menjuarai lomba karya tulis ilmiah, berarti tulisan-tulisan Ayu sudah bagus.”

            “Tapikan saya juga perlu banyak bimbingan, terutama menulis fiksi.”

            “Kalau Ayu mau, kumpulkan saja dulu teman-temannya. Nanti baru kita bikin wadah organisasinya, masalah tempat nanti kita atur.”

            “Benar ya, Bu.”  Ayu kelihatan sumigrah.

            Santi mengganguk.

            ”Eh, airnya diminum dulu.”

            “Makasih.” Ayu segera mereguk air yang disuguhkan karena memang benar-benar haus.

            “Kalau Ayu mau baca silahkan, ibu tinggal dulu sebentar ya.” Pamit Santi meninggal kan ruangan perpusnya.

****

            Hrhh... Karina mulai kesal. Telpon Rudi yang dihubunginya Veronika melulu, dia sudah dua hari tidak kerja mencari laki-laki itu.

            Sedang Rudi, laki-laki yang dicarinya sudah menemukan alamat Mitha, dia tahu Mitha tidak pernah menikah bahkan trauma. Begitu penjelasan Ronald sahabatnya.

            “Trimakasih ya, Ronald.” Mata Rudi berbinar untuk memulai petualangannya lagi.

            “Ya, hati-hati jangan lukai perasaan Mitha untuk yang kedua kalinya Rud. Kasihan dia sudah cukup tersiksa terusir dari keluarganya dan harus membesarkan putrinya sendiri.  Kamu juga harus berjiwa besar bila Mitha tidak mau menerimamu.”

            Rudi mengangguk, dia siap menerima apa yang akan dilakukan Mitha padanya karena dia sudah merasa cukup tersiksa.

            Akhirnya sampai juga di halaman rumah Mitha, dada Rudi berdebar kencang. Hm.. aku harus siap menerima segala resiko yang bakal terjadi. Seorang anak kecil usia empat tahun sedang bermain boneka diteras rumah ketika Rudi mengucapkan salam. Anak itu cukupterkejut ketika melihat tamu yang datang dia segera  menghentikan permainannya.

            “Om, cari siapa?”

            “Mama kamu ada?” Rudi membelai rambut gadis itu, dia terenyuh naluri kebapakannya bangkit. Kasihan anak semanis ini tak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah.

            “Ada bentar ya, Zahra panggilin dulu.” Zahra masuk kedalam. “ Mama ada tamu.” panggil Zahra pada Mitha yang sedang membaca majalah wanita.

            “Siapa?”

            “Zahra ngak tahu, Ma.”

            Mitha bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Seorang laki-laki berdiri didepan teras rumahnya dengan tubuh membelakanginya.

            “Maaf, Bapak cari ....?” seketika tubuh itu membalik dan menghadap Mitha. “Haah.. kamu?” Untuk sesaat Mitha tertegun dan tak percaya, dari mana laki-laki itu tahu alamat rumahnya. Dada Mitha berdebar kencang.

            “Mitha...”  panggil Rudi.

            “Untuk apa kamu datang kemari?” Sentak Mitha galak.

            “Please Mitha berikan aku kesempatan untuk menjelaskannya.”

            Mitha menggeleng-geleng kepala.

            “Tidak perlu Rudi, semuanya telah berakhir. Aku sudah tahu kamu itu memang benar-benar bajingan!”

            “Jadi kamu tidak mau memaafkan kesalahanku?”

            Mitha tersenyum sinis.

            “Memaafkan itu bukan persoalan gampang, selama bertahun-tahun aku menderita, kuliahku hancur, dan terusir dari keluargaku. Itu semua karena tipu dayamu dan kau tak pernah merasakan apa yang aku derita malah kamu enak-enakan kawin dengan perempuan lain yang lebih kaya.”

            “Baiklah aku memang bajingan, dan tak sepantasnya aku datang kemari tapi izinkan aku untuk memeluk anakku. Untuk pertama dan terakhir kalinya.”

            “Tidak perlu dia bukan anakmu,tapi dia anakku.  Akulah yang telah membesarkannya, lebih baik kamu cepat pergi dari sini.”

            “Mitha... please...” Rudi memelas.

            “Pergi...!! Jerit Mitha histeris. “Aku muak melihat kamu!”

            “Mama, mama kenapa?” Zahra muncul dari dalam rumahnya karena kaget mendengar teriakan mamanya.

            “Kamu masuk!” Pelotot Mitha pada Zahra. Zahra mengkereket ketakutan dan segera masuk kedalam rumah. “Kamu jangan pernah banyak bermimpi dari aku dan anakku. Semuanya sudah berakhir.” Suara Mitha dingin. Setelah itu ia segera masuk dan menutup pintunya dengan kasar lalu menguncinya.

            Hh... dia menyenderkan tubuhnya kepintu sambil memejamkan matanya berusaha menetralisir emosi yang berkecamuk didadanya.

            Rudi segera membalikan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan hancur, matanya berkaca-kaca. Benar kata Ronald ia harus siap dengan apa yang terjadi dan kini menjadi kenyataan.

            “Sabar Rud.” ujar Ronald Ketika Rudi kembali. “Masih banyak cara untuk meluluhkan hati Mitha setidaknya dia mau memaafkan kamu saja sudah beruntung.”

            “Tapi bagaimana dengan Zahra?”

            “Suatu  saat dia akan membutuhkan figur ayah, perlahan saja mendekatinya tidak usah terburu-buru.”

            “Aku pusing, Ron.”

            “Kamu istirahat saja dulu.” Suruh Ronald perhatian. [bersambung]

****




0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini