Santi
sangat kerasan tinggal di kampung paman Hendra, adik ayahnya. Suasana pedesaan
yang sangat penuh kekeluargaan
belum banyak terjamah oleh virus kota, meskipun dampak modernisasi sudah mulai
merambah kedesa-desa. Paman Hendra dan bibi Maryam sangat menyayanginya apalagi
diusia pernikahan mereka yang sudah hampir 20 tahun belum juga di karuniai anak,
tapi mereka memiliki anak adopsi berusia 12 tahun.
Bibi maryam tidak bisa memberikan
keturunan karena rahimnya sudah diangkat akibat kangker rahim yang dideritannya,
untunglah paman Hendra laki-laki yang setia, dia tidak berniat untuk menikah
lagi. Dikampungnya paman Hendra termasuk petani sukses yang memiliki puluhan
petak sawah dan cukup loyal untuk urusan sosial karena dia menyayangi
masyarakat dikampungnya.
Santi kini sudah mulai mengajar
disebuah SMU yang ada dikecamatan pamannya,
ia mengajar matematika dan juga membina siswa-siswi di rohis SMU tempat
dia mengajar.
Makin hari kandungan Santi makin
membesar, sekarang menginjak usia enam bulan, dia bilang pada orang-orang kalau
suaminya sedang sekolah diluar negri, jawaban yang simple dan orang-orang juga
tidak banyak bertanya tentang suaminya. Bibi Maryam sangat memperhatikan sekali
kandungan Santi dan selalu menyarankan keponakannya untuk memeeriksa kandungannya ke
Bidan secara teratur, dan melarangnya melakukan banyak aktivitas. Sekali-kali
Mama dan Papa menengoknya dan mengirimkan kabar kalau Bu Subroto dan Pak Subroto sering menanyakannya.
Katanya kenapa jarang bersilaturahmi ke keluarga mantan mertuanya.
Yoga semakin terkenal, dan selepas
dari Santi hidupnya semakin bebas dalam artian benar-benar playboy. Dia sering
gonta-ganti pacar yang sudah bukan rahasia lagi. Keluarganya sudak tak peduli
lagi dengan apa yang dilakukannya, apalagi pak Subroto yang paling apatis
setelah dia cerai dengan Santi.
Pagi-pagi sekali hawa sejuk pedesaan
menusuk kulit, Santi jalan-jalan dipematang sawah ditemani Indri anak angkat
paman Hendra, embun pagi masih bergelayut mesra menapak di rumput-rumput
seperti butiran mutiara tersorot teja pagi.
Para petani sudah mulai pergi
kesawahnya untuk menui padi, musim panen telah tiba. Para penduduk menyapanya
dengan penuh keramahan dan bercakap-cakap sebentar. Rasanya hidup dikota jarang
sekali menemukan suasana seperti ini, virus individualisasi sudah mengakar kuat
dan kota juga mulai gersang penuh kebisingan. Polusi dimana-mana, rawan
kejahatan.,sampah mobil dan sampah yang berasal dari rumah dan pabrik semakin
menumpuk tiap harinya. untuk menemukan sungai yang masih naturalpun sulit
sekali kalau bukan ditempat rekreasi. Sebenarnya apasih yang harus dibanggakan
hidup dikota-kota,
lebih indah hidup didesa. Hidup memang tak harus ngoyo yang penting tentram dan
sehat.
“Teh
Santi, uih yuk tos siang.” Teriak Indri yang dari tadi kerjaannya menangkap belalang di daun talas,
katanya enak buat digoreng meskipun Santi belum pernah mencoba habisnya geli
tubuh belalang mirip ulat walaupun belalang halal buat dimakan.
“Iya, sebentar lagi. Indri saja yang
duluan.”
“Kalau begitu Indri pulang duluan
ya, Teh.”
“Iya, boleh.”
Sementara Santi masih asyik
bercakap-cakap dengan pak Makmur yang sedang menuai padi disawahnya,
membicarakan tentang keluhan petani tentang harga pupuk yang semakin meningkat
sementara harga gabah pasca panen selalu merosot. Dimana keadilan pemerintah
terhadap kaum petani, padahal jasa petani tak bisa dianggap remeh, karena
mereka ikut andil dalam menyejahtrakan
warga indonesia dalam bidang pangan.
“Seharusnya kita tak terlalu menggantungkan
pada pupuk kimia pak, bukankah pupuk alam itu lebih bagus dalam menyuburkan
tanah. Pemupukan kimia secara berkelanjutan hanya akan menyebabkan unsur zat
tanah terkikis dan sawah semakin tak subur.”
“Maksud neng Santi?”
“Kita kembalikan menggunakan pupuk
alam seperti nenek moyang kita dulu dengan menggunakan daun-daun yang dibuat
kompos dengan cara dibusukan dulu, bisa juga dengan menggunakan kotoran
binatang ternak. Saya rasa itu lebih bagus dan menghemat biaya.”
Wah tak terasa sudah jam setengah
tujuh lebih, Santi melirik jam tangannya.
“Saya pulang duluan Pak, masih ada
banyak pekerjaan menanti.”
“Oh iya, silkan Neng.” Jawab pak
Makmur.
Semakin
hari Santi semakin akrab dengan masyarakat bahkan ia juga aktif mengisi
pengajian ibu-ibu setiap jum’at sore dan ikut serta dalam pengurusan PKK. Rencananya dia ingin membuat
pengajian remaja dikampungnya, hitung-hitung mengisi waktu dan tambah pahala
lagian dikampung paman Hendra banyak remaja usia produktif sehingga mereka
perlu wadah untuk menyalurkan masa-masa mereka kearah yang positif. Proses
pembekalan agama dalam menghadapi tantangan modernisasi yang semakin dahsyat.
Setidaknya degradasi moral bisa dibentengi jika mereka punya pemahaman agama yang baik.
****
Keluarga pak Subroto nampak sedang
berbincang-bincang diruang keluarga.
“Ibu
kangen sekali pada Santi, kemana ya anak itu tidak pernah kemari. Ibu sudah
merasa dia anak sebagai anak sendiri.” Bu Subroto memulai percakapannya.
Pak Subroto tampak menarik nafas
berat, dia paling kecewa dengan kejadian perceraian Yoga dengan Santi beberapa
bulan lalu. Dulu dia paling ngotot menjodohkan Yoga dengan Santi. Ketika
perceraian itu terjadi para kuli disket datang kerumahnya, keluarga pak Subroto
hanya pilih no coment.
“Ayah juga kangen, dia memang
benar-benar menantu pilihan ayah. Sudah sholeh, pintar, cantik lagi. Ayah heran
dengan sikap anak kita yang sebodoh itu.” Ujar ayah geram.
“Hm... besok kan libur Yah,
bagaimana kita bersilaturahmi kekeluarga bekas besan kita, dengan keluarga
mereka kan ngak punya masalah.” Usul Hardian.
“Bagaimana bu?” Pak Subroto bertanya pada istrinya
. “Ibu
setuju banget, meskipun diantara keluarga kita dengan Santi sudah tidak ada
apa-apa tapi menjalin silaturahmi itu wajib banget. Begitu kan, Yan?”
“Betul bu, makanya kita besok
kesana. Untuk lebih mempererat silaturahmi diantara keluarga kita dan mbak
Santi supaya ngak putus.”
Besoknya mereka berkunjung kerumah
keluarga besar Santi.
“kami sekeluarga kemari selain ingin
bersilaturahmi juga sudah kangen pada Santi.” Ungkap Bu Subroto.
“Alhamdullah kami senang sekali
dengan ketangan keluarga pak Subroto kemari, Silakan masuk.” Ujar Bu Sasmita.
Merekapun saling mengobrol, diantara
mereka seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak lama suguhan datang diantar oleh
pembantu keluarga Sasmita, mbok Karsih.
Ketika menyinggung soal Santi. Pak Sasmita
dan istrinya saling pandang, bingung juga apa harus dikasih tahu sebenarnya
tentang Santi atau tidak.
“Begini ya Bu, Pak. Santi sudah lama
ngak tinggal diciputat. Hampir lima bulan lebih.”
“Terus sekarang dimana?” kejar Pak
Subroto tak sabar.
“Dia ikut pamannya dikampung Sukabumi
sambil ngajar di SMU. Rupanya dia kerasan tinggal disana buktinya kalau diajak
pulang suka nggak
mau” terang Bu Sasmita.
Pak
Subroto dan istrinya benar-benar kecewa mendengarnya, datang tapi orang yang
diharapkannya tidak ada.
“ Sayang sekali, kenapa atuh tidak
bilang dulu pada Ibu kalau dia mau pergi.” sesal Bu Subroto dengan nada sedih.
Santi buat Bu Sobroto seperti anak perempuannya yang diimpikannya selama
bertahun-tahun.
“Katanya dia ingi menenangkan hati
dan pikirannya, capek jadi kejaran wartawan. Padahal Santi dan Yoga sudah tak
punya hubugan apa-apa.” Tambah bu Sasmita. Namun tak membicarakan kehamilan
yang terjadi pada anaknya. Biarlah santi sendiri yang menjelaskannya nanti
kalau dia sudah benar-benar siap.
****
Jam
pelajaran terakhir matematika sudah selesai, santi segera memberesi buku
paketnya sambil menunggu waktu pulang disiapkan oleh ketua kelas.
Santi
termasuk guru yang diidolakan murid-mirinya selain cara mengajarnya yang enak
diapun sangat dekat dengan murid-muridnya. Ketika acara membaca doa selesai,
Santi segera melangkahkan kakinya menuju ruang guru.
“Bu Santi...!” Teriak Ayu sanbil
mengejarnya.
“Ada apa yu?”
“Ini buku yang saya pinjam seminggu
yang lalu. Makasih ya,Bu.” Ayu menyodorkan bukunya yang membahas tentang
jilbab.
“Sama-sama, gimana isinya?”
“Bagus, ternyata memakai jilbab itu
wajib ya. Ayu jadi malu terutama sama Allah, sudah dikasih nikmat yang banyak
tapi belum mau menutup aurat padahal menutup aurat itu selain kewajiban juga
menjaga diri kita dari kejahatan laki-laki iseng.” Urai Ayu gadis yang paling
cerdas di kelas 11 IPA bahkan ia pernah mewakili siswa teladan sejawa barat.
Anaknya manis dan banyak nanya terutama ajaran tauhid yang kurang didapat.
“Jadi Ayu kapan siapnya pakai
jilbab?”
“Do’ain aja supaya Ayu cepat-cepat
berjilbab.” Ujar gadis itu sambil tersenyum manis.
“Amien.. insyaAllah ibu doakan.”
“Mm... Bu...”
“Ya...”
“Boleh ngak Ayu main kerumah ibu,
bareng teman-teman Ayu
mau diskusi sama ibu sambil pinjam buku.”
“Kapan tuh?”
“Sekarang.”
“Wah, kok dadakan banget, tapi boleh. Bentar ya ibu ke kantor dulu.”
“Iya, Bu.” Ayu merasa lega.
“Hai ...Ayu, mau pulang bareng sama
aku nggak?”
Teriak Dimas yang sudah dari tadi nangkring di motornya sambil nunggu Rahayu.
Ayu membetulkan letak kacamatanya
yang melorot.
“Nggak ah, kamu aja duluan.”
“Huh, awas lho kalau butuh lagi sama
aku.” Dimas misuh-misuh, udah nunggu dicuekin. Dimas langsung menstater
motornya dan Brummm... motornya melesat keluar gerbang, tak peduli dengan
teriakan cewek-cewek yang menjerit-jerit melihat cowok itu keluar. Maklum Dimas
termasuk cowok yang banyak fansnya tapi sikapnya cuek banget.
****
“Jadi ibu penulis? Wah Ayu bangga
banget punya guru seorang penulis.” Ayu kaget juga ketika membaca biografi Santi
yang tertera dibelakang buku novel yang sedang dibacanya.
“Hanya mengisi waktu yang kosong
juga menyalurkan hobi.”
“Kalau gitu, Ayu ajari juga cara
nulis yang bagus dong, Bu. Atau kita bikin bimbingan kepenulisan, gimana bu?
Teman-teman pasti suka, karena banyak teman-teman yang punya bakat menulis
hanya mereka tidak tahu cara menyalurkannya.”
“Hm....ibu dengar kamu juga sering
menjuarai lomba karya tulis ilmiah, berarti tulisan-tulisan Ayu sudah bagus.”
“Tapikan saya juga perlu banyak
bimbingan, terutama menulis fiksi.”
“Kalau Ayu mau, kumpulkan saja dulu
teman-temannya. Nanti baru kita bikin wadah organisasinya, masalah tempat nanti
kita atur.”
“Benar ya, Bu.” Ayu kelihatan sumigrah.
Santi mengganguk.
”Eh, airnya diminum dulu.”
“Makasih.” Ayu segera mereguk air
yang disuguhkan karena memang benar-benar haus.
“Kalau Ayu mau baca silahkan, ibu
tinggal dulu sebentar ya.” Pamit Santi meninggal kan ruangan perpusnya.
****
Hrhh...
Karina mulai kesal. Telpon Rudi yang dihubunginya Veronika melulu, dia sudah
dua hari tidak kerja mencari laki-laki itu.
Sedang
Rudi, laki-laki yang dicarinya sudah menemukan alamat Mitha, dia tahu Mitha
tidak pernah menikah bahkan trauma. Begitu penjelasan Ronald sahabatnya.
“Trimakasih ya, Ronald.” Mata Rudi
berbinar untuk memulai petualangannya lagi.
“Ya, hati-hati jangan lukai perasaan
Mitha untuk yang kedua kalinya Rud. Kasihan dia sudah cukup tersiksa terusir
dari keluarganya dan harus membesarkan putrinya sendiri.
Kamu
juga harus berjiwa besar bila Mitha tidak mau menerimamu.”
Rudi
mengangguk, dia siap menerima apa yang akan dilakukan Mitha padanya karena dia
sudah merasa cukup tersiksa.
Akhirnya
sampai juga di halaman rumah Mitha, dada Rudi berdebar kencang. Hm.. aku harus
siap menerima segala resiko yang bakal terjadi. Seorang anak kecil usia empat
tahun sedang bermain boneka diteras rumah ketika Rudi mengucapkan salam. Anak itu cukupterkejut ketika melihat tamu yang datang dia segera menghentikan permainannya.
“Om, cari siapa?”
“Mama kamu ada?” Rudi membelai
rambut gadis itu, dia terenyuh naluri kebapakannya bangkit. Kasihan anak
semanis ini tak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah.
“Ada bentar ya, Zahra panggilin dulu.” Zahra masuk
kedalam. “ Mama ada tamu.” panggil Zahra
pada Mitha yang sedang membaca majalah wanita.
“Siapa?”
“Zahra ngak tahu, Ma.”
Mitha bangkit dari duduknya dan berjalan
keluar. Seorang laki-laki berdiri didepan teras rumahnya dengan tubuh
membelakanginya.
“Maaf, Bapak cari ....?” seketika tubuh itu
membalik dan menghadap Mitha. “Haah.. kamu?” Untuk sesaat Mitha tertegun dan
tak percaya, dari mana laki-laki itu tahu alamat rumahnya. Dada Mitha berdebar
kencang.
“Mitha...” panggil Rudi.
“Untuk apa kamu datang kemari?”
Sentak Mitha galak.
“Please Mitha berikan aku kesempatan
untuk menjelaskannya.”
Mitha
menggeleng-geleng kepala.
“Tidak perlu Rudi, semuanya telah berakhir. Aku sudah tahu kamu itu memang
benar-benar bajingan!”
“Jadi kamu tidak mau memaafkan
kesalahanku?”
Mitha tersenyum sinis.
“Memaafkan itu bukan persoalan
gampang, selama bertahun-tahun aku menderita, kuliahku hancur, dan terusir dari keluargaku.
Itu
semua karena tipu dayamu dan kau tak pernah merasakan apa yang aku derita malah
kamu enak-enakan kawin dengan perempuan lain yang lebih kaya.”
“Baiklah aku memang bajingan, dan
tak sepantasnya aku datang kemari tapi izinkan aku untuk memeluk anakku. Untuk
pertama dan terakhir kalinya.”
“Tidak perlu dia bukan anakmu,tapi dia anakku.
Akulah yang telah membesarkannya, lebih
baik kamu cepat pergi dari sini.”
“Mitha... please...” Rudi memelas.
“Pergi...!!
Jerit Mitha histeris. “Aku muak melihat kamu!”
“Mama, mama… kenapa?” Zahra muncul dari dalam
rumahnya karena kaget mendengar teriakan mamanya.
“Kamu masuk!” Pelotot Mitha pada Zahra. Zahra mengkereket ketakutan
dan segera masuk kedalam rumah. “Kamu jangan pernah banyak bermimpi dari aku
dan anakku. Semuanya sudah berakhir.” Suara Mitha dingin. Setelah itu ia segera
masuk dan menutup pintunya dengan kasar lalu menguncinya.
Hh...
dia menyenderkan tubuhnya kepintu sambil memejamkan matanya berusaha
menetralisir emosi yang berkecamuk didadanya.
Rudi
segera membalikan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan hancur,
matanya berkaca-kaca. Benar kata Ronald ia harus siap dengan apa yang terjadi
dan kini menjadi kenyataan.
“Sabar Rud.” ujar Ronald Ketika Rudi
kembali. “Masih banyak cara untuk meluluhkan hati Mitha setidaknya dia mau
memaafkan kamu saja sudah beruntung.”
“Tapi bagaimana dengan Zahra?”
“Suatu saat dia akan membutuhkan figur ayah,
perlahan saja mendekatinya tidak usah terburu-buru.”
“Aku pusing, Ron.”
“Kamu istirahat saja dulu.” Suruh
Ronald perhatian. [bersambung]
****
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini