Rumah Kapal Pecah
Melihat rumah seperti kapal pecah. Ini pasti akan terjadi ketika memiliki banyak krucil. Belum cucian piring menumpuk di wastafel dan cucian baju juga menggunung akibat sering gonta-ganti baju. Ya karena basah-basahan atau main tanah, bisa juga untuk anak perempuan masih kecil lagi menghadapi masa centil dan senangnya ngacak-ngacak lemari dengan gonta-ganti baju belasan kali.
Capek, pusing, lelah itu yang akan dirasakan para ibu dirumah. Suara naik beberapa oktap berubah jadi kayak nenek sihir atau rasanya tangan pingin nyubit, mukul tubuh anak. Itu kalau emosi lagi nggak terkontrol. Biasnya ibu yang memiliki pengendalian emosi rendah maka kekerasan fisik pada anak akan menjadi solusi. Ditambah misalkan suami juga nggak mau terlibat di urusan ranah domestik rumah tangga, meski hanya sekedar membantu meringankan. Duh, rasanya tambah kesel berlipat. Apalagi kalau ditambah dengan ekonomi pas-pasan. Kepala bisa makin berasap. Itu kalau kurang sabar dan keimanan juga tipis,ditambah nggak ada yang mau ngertiin capeknya jadi Ibu rumah tangga.
Si adek baru saja menumpahkan seluruh mainannya dari keranjang, beralih menurunkan barang-barang yang ada di dapur. Setelah itu dia dengan happy main bola juga dalam rumah sampai guci kesayangan zaman Mao Tze Dong pada pecah. Atau bolak-balik keluar tanpa memakai sendal. Dirumah jadi kotor, lebih parah kalau ngangkutin tanah kedalam rumah. Ditemani balad krucilnya dari rumah sebelah. Pusing luar biasa.
Untuk anak diam memang nyenengin, tapi bahaya juga kalau anak tidak aktif sama sekali, yang bisanya cuma ngelihatin. Karena biasanya anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata masa kecilnya aktif luar biasa. Fase anak usia 1- 5 tahun biasanya nggak bisa diem. Ngoprek juga. Apa-apa di pegang. Yang lebih malu kalau ngoprek saat bertamu kerumah orang. Biasanya anak usia segitu kalau hiper aktif, susah banget dibilangin. Karena mereka belum mengerti yang baik atau salah. Bikin perjanjian nggak boleh nakal, cuma di iya-iyain aja. Sepuluh menit kemudian sudah kembali ke mode awal. Dan giliran orang tua punya panji,ingatannya mendadak kuat. Keinget terus,di tagih terus.
Bagaimana sih menghadapi anak fase ini? Apa harus teriak-teriak ataukah cubitan dan pukulan jadi pelampiasan emosi kita?
Anak-anak sebenarnya tidak mengerti cara berpikir orang dewasa yang konkrit. Tau mereka adalah main sepuasnya. Ketawa, lari-lari atau main sampai lupa waktu. Itulah dunia anak, dan dunia itu hanya dirasakan mereka sesaat. Pukulan, cubitan, teriakan itu hanya akan membuat mereka memendam luka, teriakan akan membuat sel-sel neuron anak rusak. Anak yang dibesarkan dengan cacian hanya akan membuat mereka rendah diri. Dan anak yang di besarkan dengan kekerasan fisik, itu artinya kita sedang mendidik anak berjiwa kasar dan tentunya akan sangat membahayakan.
Parent, pernah lihat atau dengar bagaimana anak SD memukuli temannya sampai tewas? Padahal itu berawal dari kejadian sepele, mungkin kesenggol mainannya atau cuma dikata-katai. Kekerasan fisik itu semua berawal dari pola asuh yang rusak. Keluarga berantakan. Dirumah penuh caci-maki dan sedikit-sedikit ayah atau ibu bertengkar solusinya main pukul. Dan itu terekam oleh anak-anak sampai mereka dewasa. Bagi mereka pukulan adalah hal wajar, karena dutumah juga seperti itu.
Agar rumah bisa terkendali rumah memiliki peraturan dan kesepakatan yang diterapkan antara anak dan orang tua. Semua orang bisa dilibatkan dalam pengurusan rumah tangga. Jangan ibu yang mengambil semua peran, itu artinya ibu memposisikan sebagai pembantu. Pernikahan adalah kesepakatan antara suami dan istri. Jadi keduanya harus saling bekerjasama. Nggak bisa seenaknya berjalan sendiri. Misalkan suami karena sudah mencari nafkah, lalu tugasnya sudah berakhir disitu. Wah,enak banget kalau begitu. Sebenarnya tipe suami seperti ini, dia nggak membutuhkan istri, tapi membutuhkan pembantu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, merawat anak dan melayaninya.
Untuk berjalan sebagaimana mestinya semua perlu di diskusikan. Kalau perlu dari awal di khitbah semua ini sudah dibicarakan. Misalkan suami ingin bisa membantu pekerjaan istri. Dan istri ingin punya waktu buat aktualisasi diri agar tidak terlalu jenuh dengan rutinitas rumah tannga yang membosankan.
Jika anak sudah ada yang mandiri, kenapa mereka tidak dilibatkan membantu pekerjaan rumah tangga. Misal si teteh bagian nyapu dan ngepel. Si abang bagian nyuci piring, nyikat kamar mandi sama antar jemput adiknya ke TPA itu sebagai sarana untuk melatih kemandirian dan tanggung jawab. Si adik bisa dilibatkan dalam rapi-rapi mainannya dan ayah bantu nyuci baju dan ke pasar. Jika semuanya terlibat ibu nggak akan kelelahan yang luar biasa,tapi tanggung jawab ini harus diterapkan sejak dini. Dan dibicarakan dengan penuh cinta. Ayah sebagai kepala rumah tangga harus ambil peran disini.
Anak sudah bisa mandiri, ibu jangan terus-terusan memanjakannya. Sekali-kali jalan kaki kesekolah bukan sebuah kesalahan. Apalagi jika jaraknya dekat. Sehat juga untuk fisik anak. Biarkan mereka merasakan manisnya masa kanak-kanak tanpa harus dikekang. Suatu hari dia mau kerja kelompok di rumah temannya, ya izinkan. Itu proses dia untuk mampu beradaptasi dengan teman-temannya. Ya, sesekali main kerumah temannya juga. Karena masa indah mereka yang tak bisa diulang dua kali. Jangan jadi ortu nyebelin yang apa-apa main larang. Ajarkan anak bertanggung jawab dengan hidupnya. Jika dia salah jangan langsung di hujat. Salah adalah hal wajar untuk anak. Dan dari kesalahan ajarkan dia untuk tidak mengulanginya. Terkadang orang bisa bijaksana karena belajar dari kesalahan. Anak yang terbiasa dikekang dimasa kecil, dimasa dewasa akan jadi pembangkang. Larangan itu hanya berlaku untuk hukum syara. Halal dan haram. Hal yang membahayakan, menyesatkan. Atau lihat situasi dan kondisi.
Dan ketika kesepakatan sudah bisa dijalankan dengan baik. Ayah dan Ibu tentu akan menikmati hasilnya. Semua memang tidak gampang. Bisa itu karena biasa. Belajarlah pada jepang untuk menjadi negeri yang bersih dan taat aturan di awal mereka juga harus menerapkan hukum yang keras dan itu butuh waktu yang panjang untuk bisa seperti sekarang. Ketika rumah ada peraturan yang diterapkan, ada kesepakatan yang di setujui. Ada diskusi dua arah, maka semua akan berjalan dengan baik. [X]
Ikut chalenge menulis selama tiga puluh hari. Semoga bisa meski banyak pekerjaan.
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini