Bertemu
kembali dengan orang yang ingin dilupakan , terasa sangat menyesakan. Itu yang
dirasakan Malika saat ini. Setelah hampir lima tahun ia berusaha menyembuhkan
lukanya dan berusaha hidup dengan sebaik-baiknya, namun Tuhan kembali
mempertemukannya dengan Abyan Herlangga.
Selesai
acara meeting dengan Klien, Malika menemui
para sahabatnya di sebuah Kafe elit kawasan Jakarta. Anggap saja sebagai
sebuah reunian teman SMU. Nabila, Fayra dan Damian. Mereka adalah sahabat dekat
Malika waktu SMU yang kini sudah sukses dan hidup di berbagai negara. Mereka
akhirnya bisa bertemu setelah setahun tak berjumpa dikarenakan Fayra sahabat
heboh mereka akan mengakhiri masa lajangnya bulan depan.
Mereka
mengobrol asyik melepas semua kerinduan, ketika tiba-tiba, Damian menghentikan
pembicaraan.
“Ka,
bukannya itu Abyan ya?” Damian melirik dengan ekor matanya pada laki-laki yang
duduk dimeja pojok sedang mengobrol
dengan teman-temannya.
Malika
ikut menoleh. Dan benar saja, itu adalah
Abyan Herlangga. Laki-laki yang dulu sempat dikaguminya. Tapi, tidak untuk
sekarang. Abyan sungguh berbeda dengan lima tahun yang lalu. Aura kemapanan
begitu terlihat jelas. Dan kalau boleh jujur dia semakin tampan saat ini.
Merasa
ada yang mengawasi, Abyan menoleh ketempat Malika duduk. Terlihat ada ekspresi
terkejut ketika ia bersitatap dengan Malika. Rasanya wajah manis itu tidak
asing di memorynya. Hm…bukankah itu
Malika? Dia semakin manis, anggun dan matang. Apa kabar dia setelah lima tahun
tak berjumpa. Sudah memiliki anak kah?
Malika
buru-buru membuang muka, ketika mata mereka bersibobrok pandang. Rasa kecewa
masih membalur hatinya ketika kembali bertemu dengan sosok itu.
“Ka,
kamu nggak apa-apa kan?” tanya Damian khawatir. Damian adalah sahabat cowok yang
paling peduli ketika cinta Malika ternyata bertepuk sebelah tangan.
“Aku
baik-baik aja Dam, jangan jadikan masalalu sebagai alasan untuk membuat hidup
terus terpuruk. Hidup ini terlalu indah untuk ditangisi.” Malika berusaha
berlapang dada. Ini tidak sesuai dengan kenyataan hatinya.
“Gue
denger-denger si Abyan itu termasuk pengusaha muda yang sukses. Belum menikah
juga.” Fayra yang dari tadi diam ikut menimpali.
“Syukurlah.”
Jawab Malika pelan dengan ekpresi di setting sedatar mungkin. Males banget
kalau harus mendengar apapun tentang Abyan. Mau sehebat apapun dia, sama sekali
tidak ada hubungannya.
“Kamu
sudah tidak punya perasaan apapun pada dia kan,Ka?” tanya Nabila.
“Tidak
ada sedikitpun yang tersisa. Masalalu itu adalah kebodohan. Sudahlah jangan
membahas yang sudah berlalu. Kita kesini kan tujuannya mau senang-senang.”
Malika berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Sorry
Ka, jika kata-kata kami barusan bikin lo harus mengingatkan kembali tentang
sosok masalalu yang sekuat mungkin harus lo hindari. Gue disini semua sayang banget
sama lo.” Damian selalu paling tahu apa yang dirasakan Malika.
Malika
tersenyum manis membuat kedua lubang undur-undur dipipinya tercetak jelas dan
itu tak luput dari pengamatan Abyan yang diam-diam melihat gadis itu dari
kejauhan.
“Kamu
sekarang sibuk apa Ka?” Fayra bertanya.
Diantara ketiga temannya. Sebenarnya Malika yang memiliki otak jenius namun dia
selalu menutupi kecerdasan dirinya, dengan sikapnya yang selengean. Tapi itu
dulu, sekarang dia terlihat anggun dan cenderung pendiam.
“Sibuk
bantuin Om Rahman di perusahaannya, sama ngurus anak singgah. Itu aja.”
“Terus
lo sekarang lagi dekat sama siapa, nggak mungkin kan sendirian terus? Damian
nggak mungkin bisa dikintilin terus-terusan. Entar dimarahin sama pacarnya
lagi.” Cerocos Nabila.
“Nggak
ada yang deket, gue nggak seberuntung kalian yang begitu mudah dapat cowok dan
jatuh cinta.”
“Makanya
buka hati Lika, jangan terlalu banyak pilih-pilih. Kalau ada yang baik kenapa
nggak di coba. Kamu itu manis, nggak membosankan malah. Masih mengharapkan
sibrengsek itu, mau sampai kapan, atau perlu gue jodohin?” Fayra tampak
gregetan.
“No,
thanks. Gue nyaman dengan hidup gue yang
sekarang.”
Tiba-tiba
ada panggilan masuk dari Handphone milik Malika. Uncle calling…..
“Sorry,
gue angkat telephone dulu.” Malika menjauh. Teman-temannya menatap malika
menjauh dengan pikiran yang bermacam-macam dibenak mereka.
“Rasa-rasanya
Malika belum bisa melupakan kejadian pahit dimasalalunya. Susah banget buat
gadis itu move on.” Komentar Nabila.
“Iyupzs….secara
karier cemerlang, tapi cuma dia yang betah dalam kesendirian.” Sambung Fayra.
“Teman,
aku nggak bisa lama disini. Barusan dapat telepon dari Paman, gue harus balik
sekarang. Maaf….” Malika terlihat sangat menyesal. Mereka jarang-jarang bisa
bertemu seperti ini. Tapi perintah sang paman nggak bisa diabaikan.
“Nggak
apa-apa Ka, gue ngerti kok. Udah jangan dibikin nggak enak. Kapan-kapan kami
bertiga berkunjung kerumah lo, kangen dengan Tante Dinar dan si kembar juga
bang Ramdhan.”
“Makasih
banget ya….” Malika tersenyum manis lalu beranjak pergi.
Teman-teman
Malika sangat memaklumi dengan kepergian Malika. Paman bagi malika adalah
orangtua kedua baginya. Segala perintahnya harus ditepati.
@---@
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini