Subscribe Us

LARA MENTARI # Part 3

Mentari memasukan koper ke dalam bagasi mobil sahabatnya. Ini sudah jam 10 malam. Dia akan berangkat dari bandara Soeta pukul 00.20 menuju Prancis dengan menggunakan Pesawat Qatar Airlines (QR 995) dan nantinya akan Transit di Doha dan penerbangan terakhir di lanjutkan menuju Aéroport Paris-Charles de Gaulle. Setelah di rasa semuanya beres, ia segera mengambil Gara yang lagi tertidur di sopa ruang tamu. Dia cuma bilang pada Pak Satpam, Bik Sumi dan Pak Dadang, bahwa dirinya akan berlibur selama seminggu ke Jogja. Padahal ia akan pergi ke luar negri dalam waktu yang tidak bisa di tentukan.

Sebenarnya tidak tega meninggalkan mereka, orang-orang yang sudah begitu tulus mengabdi padanya. Tapi bertahan di sini juga hanya akan membuat dirinya semakin terluka. Sebenarnya Mentari sudah mempersiapkan pesangon untuk mereka jika ingin berhenti. Dan permohonan maaf atas kepergiannya, yang sudah di titipkan pada Sina. Mungkin saat ini dia terlalu pengecut, tidak berani terus terang akan kepergiannya. Tapi suatu saat Mentari berjanji akan meminta maaf pada mereka secara langsung.

"Kamu sudah benar-benar yakin akan tinggal bersama Mas Hanif, Tari?" tanya Sina.

"Karena hanya dia yang peduli sama aku saat ini." jawab Mentari datar.

"Aku juga peduli, dan aku siap membantumu."

"Untuk saat ini aku ingin menjauh. Mungkin tinggal di  Prancis bareng Mas Hanif bisa menyembuhkan seluruh lukaku. Rasanya akan susah aku bangkit jika terhubung dengan orang-orang yang pernah jadi bagian hidupku. Aku juga tidak ingin melihat Gara mengenal ibu lain dalam hidupnya, itu pasti akan membingungkan sekaligus mencederai psikologisnya. Biarlah aku yang banyak berkorban menjadi orang tua tunggal. Suatu saat jika hatiku sudah membaik, akan aku pertemukan Gara dengan ayahnya."

"Kenapa harus terluka jika diantara kamu dan Erick tidak pernah ada cinta?"

"Karena aku pernah punya harapan jika pernikahanku akan baik-baik saja. Mencoba menjadi istri yang baik  namun yang ada aku tidak di anggap. Aku di khianati, apa salah jika aku kecewa dan marah? Dan yang lebih menyedihkan anaku pun tidak mendapat kasih sayang yang sewajarnya. Apakah seorang ibu salah menginginkan perhatian  lebih dari seorang yang sudah syah jadi suami, hanya untuk kebahagiaan anaknya, jika memang tidak mencintai ibunya."

Sina menggigit bibir bawahnya, terasa asin. Sesak tiba-tiba menyerang dadanya. Dia pernah ada di posisi ini dan itu rasanya menyakitkan. Menyaksikan ibu menangis tiap malam, adalah yang hal menyedihkan. Bagi Sina seluruh laki-laki di dunia adalah bajingan. Yang hanya bisa menaburkan luka di hati perempuan.

"Bagaimana jika suatu saat Erick menyadari kekeliruannya, dan mencari kalian berdua?"

"Aku tidak ingin peduli pada sesuatu ikatan yang sudah patah dan di buangnya. Jikapun harus terjalin, cukup Gara saja." suara Mentari terdengar getas.

Akhirnya perjalanan mereka sampai di
dekat bandara. Dan Sina berjanji akan menemani Mentari sampai gadis itu terbang menuju Prancis.
                                                   ***

Bandara Paris-Charles de Gaulle, di musim semi terlihat indah. Ketika sampai di tempat penjemputan Mas Hanif langsung mendekatinya. Memeluk adiknya dengan penuh rindu. Mencium Gara dengan gemas. Lalu setelah itu membantu Mentari mengangkat koper kedalam bagasi mobilnya.

"Semoga kalian akan betah tinggal di sini. Jika kamu bosan kamu bisa mengajar anak-anak di TK yang ada di sini. Meski kamu Magister ekonomi, tapi kamu pernah bantuin Mbak Tia mengelola TK dulu. Dan Mas lihat, kamu lebih menjiwai terjun di dunia anak-anak. Kamu yang sabar ya dek, hidup itu tidak akan indah jika kita tak banyak menemukan luka. Mas sangat paham yang kamu rasakan, makanya Mas menawari kamu untuk kesini. Mama dan Papa suatu saat akan paham kenapa kalian berpisah, seperti mereka berusaha memahami kenapa Mas tidak mau melanjutkan kerajaan bisnis yang dimiliki keluarga kita. Dan memilih lari ke Prancis. Jangan khawatir dengan biaya hidup kamu dan Gara, Mas akan menanggung semuanya, karena kalian tanggung jawab Mas sekarang." ujar Mas Hanif sambil mengelus rambut adiknya penuh sayang.

"Kamu di sini akan aman. Tanpa harus takut Erick mencarimu atau Mama dan Papa."

"Makasih ya, Mas. Hanya Mas yang yang bisa menguatkan aku disaat rapuh seperti ini." ingin saja Mentari menangis di bahu kakaknya. Menumpahkan semua beban yang sudah di tanggungnya selama tiga tahun ini. Tanpa pernah menceritakan luka dalam rumah tangganya. Dan ketika rasa sesaknya sudah tidak kuat untuk dibhadapi, dia hanya bisa menceritakan semua beban pada kakak laki-lakinya. Pada Sina hanya garis besarnya saja.

"Kita adalah keluarga dek, yang harus saling menguatkan." Mas Hanif mengelus bahu adiknya.

"J'espère que vous pourrez retrouver l'esprit de votre vie tout en restant ici. Nous ne devons pas empirer simplement parce que nous avons échoué, mais nous devons nous lever rapidement et lutter pour trouver nos rêves en retard." tambahnya, yang di angguki oleh Mentari.

Andai seluruh keluarga seperti ini. Mentari memejamkan matanya, mencoba mengingat kejadian yang melekat di memorinya. Kemurkaan ayah dan bunda akibat penceraiannya. Menyalahkan dirinya yang tidak mampu jadi istri yang baik. Karena  Erick adalah aset berharga yang sayang untuk di lepaskan. Dan tidak semua keluarga akan peduli pada kehancuran keluarganya yang lain, meskipun anak sendiri. Karena ketika perasaan cinta sudah tergadai materi. Maka perasaan sayang itu akan musnah. []

J'espère que vous pourrez retrouver l'esprit de votre vie tout en restant ici. Nous ne devons pas empirer simplement parce que nous avons échoué, mais nous devons nous lever rapidement et lutter pour trouver nos rêves en retard.
Semoga kamu bisa menemukan semangat hidupmu selama tinggal di sini. Kita tak boleh terpuruk hanya karena pernah gagal, tapi harus cepat bangkit dan berjuang menemukan mimpi kita yang tertunda.

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini