Sina menatap Mentari dengan perasaan sedih. Dulu gadis cantik dan periang itu, hidupnya seperti pelangi. Indah penuh warna. Tapi semenjak perjodohan itu hadir tiga tahun silam, mendadak keceriaannya sirna. Wajah cantik itu tidak secerah dulu, selalu bergelayut mendung.
Dan hari ini dia mendapatkan kabar yang mengejutkan. Setelah dua tahun bertahan dengan Erick Ibrahim, yang Sina dapat adalah kabar penceraian.
Sina menarik napas sebelum bertanya. " Apakah kalian sudah tidak mampu bertahan?"
Mentari menelan ludah getir. " Erick kembali dengan pacar masalalunya, Sin. Jadi untuk apa aku bertahan, jika setiap hari hanya ada pertengkaran."
"Lalu bagaimana dengan Gara, dia butuh figur orang tua lengkap." ujar Sina prihatin. Dia tidak mau melihat Gara seperti dirinya di masalalu. Menjadi korban keegoisan orang tua itu menyakitkan.
"Gara tidak pernah dekat dengan ayahnya. Erik tak pernah punya waktu untuk sekedar menemani anaknya main bersama. Jadi untuk apa aku bertahan dipernikahan yang tidak ada cinta ini."
"Kapan kepastian kalian bercerai?"
"Minggu depan sudah diputuskan," ujar Mentari datar.
" Tari, aku cuma mau bilang, mungkin Erik belum yakin cintanya sama kamu, tapi kamu harus berjuang agar kamu terlihat seperti bintang. Yang ketika kamu tak hadir disisinya, dia menyesali keputusan bodohnya. Sebenarnya kamu wanita terbaik untuknya, akan tetapi dia belum sadar akibat bayang masalalu yang masih merantai perjalanannya. Aku ingin membuat kamu menjadi lebih cantik dibanding dulu."
"Untuk apa, aku tak butuh itu."
"Agar kamu tidak kalah menarik dibandingkan selingkuhannya."
"Tidak perlulah Sin, aku melakukan itu. Aku sama sekali tidak ingin kembali pada Erick. Cukuplah aku bahagia bersama dengan Gara." ujar Mentari pasrah. Bertahan dalam rumah tangga yang hambar itu menyakitkan. Apalagi jika seorang suami tak sedikitpun meliriknya.
"Tapi setidaknya kamu harus terlihat baik-baik saja, aku tidak ingin kamu terpuruk. Dulu kamu banyak membantuku di saat sulit, saat ini aku ingin membantumu agar bisa tetap outstanding."
"Trimakasih Sin, kamu adalah satu-satunya orang yang ada di sampingku, di saat aku terpuruk. Keluargaku, semua menyalahkanku, dan rasanya sangat menyakitkan." Ujar Mentari dengan deraian air mata.
Hal yang paling menyakitkan di permasalahan rumah tangganya orang tuanya tidak mendukungnya dan malah mereka menyalahkannya. Erick Ibrahim adalah menantu impian di mata mama dan papa. Mereka tidak tau apa yang sesungguhnya terjadi.
"Aku paham apa yang kamu rasakan. Kuatlah demi Gara." Sina mengusap bahu Mentari lembut.
Mentari mengangguk setuju. Sekarang hanya Gara yang jadi fokus hidupnya. Bagimana dia berusaha menyelamatkan putranya agar tidak memiliki jiwa yang rapuh akibat kekurangan kasih sayang dan menjadi korban penceraian
@@@
Hari ini adalah akhir dari perjalanan rumah tangganya. Setelah palu di ketuk maka berakhir sudah apa yang sudah mereka bina. Tidak bisa di pertahankan dan tidak ada yang ingin bertahan.
"Aku akan tetap bertanggung jawab untuk menafkahi putraku." ujar Erick sebelum berpisah.
Mentari hanya diam. Memang sudah seharusnya laki-laki itu bertanggung jawab. Mentari tidak meminta sama sekali harta gono-gini dari penceraian ini. Bisa bebas dari Erick Ibrahim saja sudah merasa bersyukur. Mau bertanggung jawab atau tidak untuk Gara, Mentari tidak mau ambil pusing.
"Kamu sama Gara boleh tinggal di rumah yang aku tempati, aku sudah mengurusnya bahwa rumah itu untuk kamu dan Gara. Biar aku yang keluar dari sana. Seminggu sekali aku akan menengok Gara."
Mentari tetap diam.
"Kamu kenapa diam?" tak urung Erick kesal dengan sikap pasif Mentari.
"Karena tidak ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu." jawab Melati dingin.
"Hm…atau kamu merasa kecewa dengan penceraian ini?" tebak Erick.
Mentari menatap Erick dengan pandangan benci.
"Dari awal aku tidak setuju dengan pernikahan ini, tapi orang tuaku terus memaksa dan mengancamku. Setelah jadi istrimu, aku tidak menemukan sedikitpun kebahagiaan. Aku adalah istri pajangan di rumahmu. Garapun tidak menemukan sosok ayah pada dirimu. Jadi kenapa harus bertahan, yang ada aku harus sujud syukur setelah sampai rumah. Dan aku akan mengundang tetangga untuk syukuran." ucap Mentari dingin.
Erick tentu saja merasa tersinggung dengan ucapan mantan istrinya. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Peran dirinya dalam menyakiti Mentari sangat banyak. Dan benar apa yang di katakan Mentari, dia tidak pernah jadi ayah yang baik untuk Gara. Hidupnya lebih banyak di sibukan dengan bisnis dan bersenang-senang dengan Adel, kekasih masa lalunya, yang akan menjadi istri masa depannya.
"Kalau tidak ada yang ingin di bicarakan lagi, aku akan pulang." ujar Mentari tanpa memandang mantan suaminya.
"Apa perlu aku antar?" Erick berusaha bersikap baik
.
"Tidak usah. Diantara kita sudah berakhir, jadi jangan sok peduli padaku." tolak Mentari sambil berlalu.
Diluar Mentari bertemu dengan Adelia. Wanita yang jadi duri dalam rumah tangganya selama ini.
"Selamat atas penceraianmu."
"Terima kasih. Berkat dirimu, aku bisa terbebas dari pernikahan ini. Dan aku mengundang kehadiranmu untuk datang ke acara syukuran penceraian ini." ucap Mentari.
Adelia terdiam. Dia tadinya berharap bisa melihat wajah Mentari yang muram dan menderita. Tapi buktinya dia bersikap biasa-biasa saja.
"Kamu waras?" tanya Adelia.
Mentari mengangkat bahu acuh, lalu pergi begitu saja. Dia berusaha untuk bersikap tegar, menyimpan lukanya dengan rapat. Siapa istri yang tidak sakit melihat pernikahannya hancur, meskipun pondasi cinta di dalamnya sangat rapuh. Tapi mungkin dirinya termasuk orang yang cukup mampu menyimpan lukanyan sendirian.[]
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini