Judul tersebut lahir dari perbincanganku dengan guru
Fashionku.
“Bapak suka bingung
menghadapi generasi yang sekarang, semua yang di pelajari suka ingin serba
instant. Padahal segala sesuatu jika ingin menghasilkan karya bagus itu butuh
proses.” Ujarnya.
“Hm, gitu ya pak. Contohnya seperti siapa yang berkualitas
itu?” ujarku memancing pembicaraan.
“Contohnya seperti bapak, he…” ujar guruku dengan narsis. “Dulu
Bapak kalau di suruh kata guru begini tak pernah membantah, beda dengan kamu
yang selalu melanggar undang-undang yang di terapkan oleh Bapak, di suruh Bapak
begini kamu malah mencari cara sendiri dan hasilnya tak pernah memuaskan.
Inilah produk instan. Bapak itu ingin kamu jadi perancang busana yang memiliki kualitas boutiqe, meskipun produksi yang di hasilkan
tidak banyak,tapi memuaskan untuk orang yang memakainya, ya seperti bapak
inilah. Orang selalu bilang mahal, tapi mereka akhirnya kembali lagi karena
merasa puas.” Bebernya.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala, dan masih dengan
sifat keras kepalaku yang selalu mencari cara cepat agar baju yang aku rancang dan dijahit bisa langsung dipakai.
Sesaat aku termenung meresapi ucapannya. Kalau di pikir-pikir, benar juga apa yang dia ucapkan. Abad masa lalu di masa kegemilangan islam,
generasinya sangat berkualitas di segala bidang maka pantas menacapai abad
keemasan. Dan mereka mencari ilmu membutuhkan waktu yang panjang dan mendatangi banyak guru. Penghargaan terhadap ilmu dan guru ,Subhanallah sangat luar biasa. Dan tidak bisa di pungkiri di masa itu sistem negaranya sangat baik,
sehingga masalah pendidikan sangat di perhatikan oleh pemerintah. Mereka juga di ajari oleh guru-guru yang ahli dan
bisa menjadi figur untuk sang pencari ilmu. Sekarang sistem negaranya juga
sudah acak-acakan, copy paste dari negara kapitalis yang bernamakan demokrasi. Pemerintah lebih sibuk mengurus partainya ketimbang rakyatnya. Guru hanya
transfer ilmu, miskin teladan. Maka wajar bapak kalau generasi saat ini sangat
jauh dengan generasi masa lalu.
Jika guruku membandingkan dengan generasi 45,60,80 masih bisa
di arahkan juga hal yang wajar. Generasi 45an banyak mengalami tempaan hidup, karena negara pasca perang. Sehingga mereka bisa menjadi kuat dan mandiri. Begitupun generasi sesudahnya sampai 80an, saat itu perekonomian negara masih
dalam keadaan sulit, akibat sistem tirani orba. Hiburan juga belum menjamur
seperti sekarang, yang menimbulkan dekadansi moral. Masa tahun 80 an, para anak
kecil dan remaja menjelang magrib sudah padat memenuhi mesjid untuk banyak
belajar kajian-kajian agama. Sekarang lebih banyak mengkaji sinetron, otak-otak
mereka di racuni sampah di karbit menjadi dewasa sebelum waktunya. Invansi Ghawizul
fikr /perang pemikiran yang di lancarkan para Yahudi derasnya lebih terasa saat
ini, sehingga remaja jauh dari agama dan akidah islamnya. Kehilangan karakter,
dan rapuh dalam menghadapi masalah.
Jika saya jarang mengikuti saran bapak, bukan semata-mata
saya generasi yang instan juga, tapi saya mencari cara sendiri, tidak hanya
terus-terusan di suapi sama bapak dalam belajar. Bukankah mengembangkan
kreativitas itu perlu pak? Dan impianku untuk menjadi sesuatu yang diinginkan membutuhkan
mental baja dalam berjuang mewujudkannya, bukan generasi instan yang rapuh saat
di terpa masalah. []
Tiba-tiba merasa kangen dengan guru tatabusana ku, Pak Ilyas yang humoris dan bikin betah dikelas. Semoga engkau tetap sehat ya,Pak. Dua tahun mempelajari ilmu tata busana,semoga tidak ada yg sia-sia.
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini