Wanita
usia 25 tahun itu menatap langit malam, bintang berkerlip menghiasi langit
malam bersaing dengan cahaya rembulan yang memancarkan cahayanya memantulkan
sinar keperakan di daun-daun. Angin tertiup lembut merasuki sel-sel kulitnya.
Wanita itu belum beranjak dari taman kecilnya, dia masih betah memandangi malam
dengan keanggunannya, sesaat melupakan masalah yang mendera jiwanya.
Santi nama wanita itu, dia baru lima
bulan menikah tapi jangan harap pernikahannya bahagia seperti halnya pernikahan
yang lainnya, melewati masa-masa pengantinya yang begitu romantis. Mereka menikah karena keinginan orangtua
masing-masin tanpa mereka saling mengenal terlebih dahulu.
Mungkin bagi santi kalau lelaki itu
seorang yang soleh yang mengerti akan agama, itu tidak akan menjadi masalah
meskipun tidak saling mengenal terlebih dahulu. Tapi kenyataannya lelaki yang
menjadi suaminya jauh dari harapan, pondasi agamanya begitu rapuh, sikapnya kasar
dan tidak menghargainya.
“Ini
semua karena Papa.” mata santi tiba-tiba berkaca. Dia sama sekali tidak punya hak
untuk memilih. Kalau masih mau dianggap keluarga Sasmito Wijaya harus tunduk,
patuh, menerima peraturan yang ada di keluarga besar itu.
Papa hanya melihat calon bagi
anak-anaknya pada unsur matrealistis
semata, tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya. Laki-laki otoriter yang hanya
mau mementingkan dirinya sendiri dan di jaman seperti ini masih ada sistem
perjodohan, benar-benar menyebalkan.
Bagi Santi restu orang tua adalah segalanya,
meskipun dengan terpaksa menerimanya. Dia berusaha mengobatinya dengan kata
jihad, siapa tahu Mas Yoga suatu saat
dapat menerimanya dan dia bisa menjadi lelaki sholeh. Berharap suatu saat hidayah itu
mampir di hati laki-laki itu. Bukankan Asiyah pun bersanding dengan fir’aun.
Robbi, ikhlaskanlah hatiku untuk
menerimanya, desisnya dalam malam yang semakin merangkak menuju puncaknya.
Mas Yoga
sampai malam begini belum pulang juga, kemana ya? Hati santi galau penuh
tanda tanya.
Ini
memang bukan malam pertamanya dia pergi begitu saja tanpa pesan, sudah sering
dan Santi
cuma bisa diam.
Bertanya
padanya paling dijawab dengan acuh
tak acuh.
Tidak
ada sama sekali sikap menghargai dari yoga pada dirinya. Entah pernikahan macam
apa yang akan terjadi berikutnya.
Apakah
berujung dengan kebahagiaan atau malah kehancuran. Tapi berharap kebahagiaan,
itu cita-cita yang diharapkan oleh manusia yang masih memiliki keoptimisan hidup.
“Papa
tidak pernah berkaca pada pengalaman hidupku santi, pahit.” ujar Mbak Sarah getir dengan mata
yang semakin cekung memikirkan ketersiksaan rumah tangganya, yang sama seperti Santi hasil perjodohan papanya juga.
Mas Anto suaminya menikah lagi, hidup mbak Sarah memang berlimpah soal harta
namun jiwanya kering akan cinta dan kasih sayang.
Santi
menarik nafas berat saat itu, kasihan Mbak Sarah yang begitu rapuh.
“
Aku mengira kamu bakal bisa melawan kediktatoran Papa, tapi ternyata kamu sama
seperti aku” ujar Mbak Sarah perih.
“
Tapi Mbak hebat, mampu mengambil tindakan untuk lepas dari Mas Anto dan memilih
menjadi single parent.”
Puji Santi dengan sikap mbaknya yang tidak tahan lagi hidup dengan Mas Anto.
“
Tapi kamu lihat Danu jadi korbannya” Dia
menunjuk Danu yang masih berusia enam tahun.
“
Mbak harap kamu bahagia, jangan sampai kejadian pada Mbak terulang lagi.”
“Terimakasih
Mbak, atas doanya” Santi memeluk kakak satu-satunya dengan erat.
“Astagfirullah,”
Santi
beristigfar pelan ini sudah larut malam. Tidak baik membiarkan diri terus
disini dan larut dalam kesedihan. Santi beranjak masuk kedalam rumah.
Jam dinding di rumahnya
sudah menunjukan jam 12 malam, berati Mas Yoga tidak pulang lagi dan makanan yang sudah disiapkan pasti sudah dingin
sekarang. Santi merasa sia-sia menjadi istri Yoga yang acuh dan menganggap
dirinya mungkin tak pernah ada
***
Suara
bunyi bel membangunkan Santi. Astagfirullah sudah jam lima pagi. Santi buru-buru
bangun dari tidurnya, pasti Mas Yoga. Suara sandal yang di seret tergesa-gesa
menuju pintu.
“Waalaikum
salam, Mas Yoga dari mana aja?” ujar Santi lembut. “Santi nungguin sampai jam 12 malam.”
Yoga
melirik sekilas wajah istrinya,
“Aku
capek!” ujarnya dingin lalu beranjak meninggalkan Santi menuju kamar.
Santi cuma bisa menarik nafas, lalu dia melangkah ketempat wudhu. Dia
mau sholat shubuh dan mengadukan resah dihatinya langsung kepada Allah.
***
“
Mas Yoga saparan dulu.”
panggil Santi yang melihat Yoga seperti terburu-buru untuk pergi ke studio
sehingga sarapan yang sudah disiapkan tidak disentuhnya.
“Nggak
usah, aku mau sarapan pagi di restoran dekat kantor aja. Makan dirumah nggak enak. Kamu sih ngak bisa masak,
terbiasa hidup manja.”
Sinis Yoga tanpa perasaan.
Wajah
santi memerah, hatinya terkoyak dengan kata-kata Yoga yang seperti sabetan
pisau melukai hatinya. Kalau tak ingat tatak rama sudah dibanting semua piring
yang ada di meja. Astagfirullah nafsu jangan sampai menguasai hatiku.
“Kenapa
dulu mas Yoga mau menikah sama saya? Kenapa tidak cari mojang priangan yang
pintar masak?” ucap Santi bergetar menahan isak tangisnya.
“
Siapa yang mau menikah dengan perempuan kampungan seperti kamu. Kalu bukan demi
ayah dan ibu, meski dengan konsekuensi aku tidak bisa mencintaimu”.
“Sama,
karena aku pun
tidak mau menikah dengan laki-laki yang bukan kriteria idealku. Aku mau menjalaninya karena restu orang
tua adalah segalanya. Meski harus menerima kenyataan ini dengan perasaan
hancur” ujar Santi dengan mata berkaca-kaca.
Yoga
tertegun mendengar kata-kata Santi barusan. Dia tidak menyangka Santi yang
biasanya diam bila bibentak-bentak
bisa juga bicara seperti itu. Terus terang Yoga belum mengetahui sikap Santi
meski pernikahan mereka sudah berlangsung lima bulan lebih.
Ya,
kalau sama-sama saling tidak mencintai kenapa pernikahan ini harus terjadi?
Mungkin dari awal bisa di bicarakan baik-baik antara Santi dan Yoga. Menyusun
strategi agar pernikannya tidak terjadi. Ah.... mungkin sudah jodoh sehingga tidak bisa
dihindari.
“Aku berangkat” ujar Yoga datar.
Santi mengangguk, dia sedang tidak mood untuk diajak bicara. Wanita itu mengantar suaminya sampai teras depan, hingga Yoga pergi dengan kijang
silvernya. Lalu Santi masuk kedalam. [bersambung]
Keren ceritanya
BalasHapusCeritanya menarik untuk disimak😊
BalasHapusJadi penasaran...
BalasHapusterimakasih sudah mampir ke blog saya.
BalasHapus