Pagi
yang cerah, santi melanjutkan aktivitas menulisnya, setelah semua pekerjaan
rumah tangganya selesai. Dia menyebut dirinya seorang senjata pena. Meskipun
belum bisa disejajarkan sebagai sastrawan yang senior. Tapi dunia mengarang itu
mengasyikan mengembara lewat imajinasi yang dituangkan dalam lembaran kertas.
Santi
begitu lincah memijit keyboard. Bercerita tentang Rima mantan seorang pelacur
yang ingin meniti jalan pulang. Itulah faragraf awal novel yang bakal menjadi
kado pernikahan sahabatnya. Lalu munculah seorang ikhwan yang bernama Prayoga
mahasiswa sebuah universitas negri yang sedang melakukan KKN di desa tempat
dimana Rima mengasingkan diri untuk mengubah citranya menjadi gadis yang anggun
menjauhi kehidupan masa lalunya.
Prayoga
terkejut melihat wajah Rima,
melihat gadis itu mengingatkan
akan masa lalunya, tentang Rianti gadis yang pernah ada dihatinya dan meninggal
karena kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelum Prayoga melakukan KKN
kedesa tempat dimana Rima berada. Rima dan Rianti menurut prayoga adalah perpaduan yang sama percis,
seperti saudara kembar.
“
Rianti!” Pekik prayoga keceplosan saat gadis itu berjalan-jalan sore dengan
gadis kampung.
Astagfirullah
Yoga
beristigfar pelan, menepis ruang masa lalunya. Bukankah dirinya sendiri ikut
mengantarkan jenazah Rianti ke pemakaman.
“
Kamu kenapa sih Ga, tertarik dengan gadis itu?” Tanya Hari.
“
Hai...hai… ingat lho, tujuan kita kesini mau KKN. Awas jangan terkotori sama virus merah jambu.
Kecuali benar-benar mau serius.” Reza mengingatkan.
“
Ah...ngak. aku cuma
keceplosan.” Elak Yoga.
Wajar
aja temanya pada kritis, Prayoga itu baru
beberapa bulan jadi ikhwan. Jadi harus banyak di bimbing, meski better to late than never. Tapi untuk kebaikan nggak ada kata
terlambat.
Santi
menghentikan acara menulisnya. Dia mematikan komputernya lalu meninggalkan
ruangan itu.
****
Santi
mengeleng tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya. Yoga sedang bergandengan mesra dengan seorang gadis
cantik di sebuah Mall yang dimasuki Santi. Rupanya mereka sedang shopping
sambil jalan-jalan.
Mendadak
hati Santi perih, dia merasakan kesetiannyau bengitu tak berarti dimata lelaki
itu, tak mungkin melabraknya di tempat seperti ini. Perbuatan yang memalukan.
Santi
membalikan tubuhnya untuk segera berlalu dari sana. Tapi terlambat Yoga
melihatnya.
Ekspresi
cowok itu cukup terkejut tapi dapat menguasai diri.
“Kenapa
mas?” Tanya gadis disampingnya mengerling manja.
“
Tidak apa-apa honey.” Suara Yoga kalem lalu menarik Arinda pergi.
Braak... jalan santi yang tergesa
membuat ia menabrak seorang wanita. Belanjaan wanita itu berceceran dilantai.
“Ma....maaf…mbak.” Suara Santi tergagap, sambil
membantu memunguti barang belanjaan wanita itu.
“
Kamu ini gimana sih? Kalau jalan hati-hati dong, jangan sampai mata disimpan
didengkul!” suara wanita itu marah.
“Ma...maaf...”
“Maaf...maaf...!” wanita itu bersungut-sungut. Tap
mata wanita itu menatap wajah Santi.
“Haa....
kamu Santi kan?” Ekspresi wanita itu berubah kaget. Dia cukup mengenali wanita
berjilbab didepannya.
“
Siapa ya?” Santi berusaha mengingat. Rasanya pernah berjumpa tapi ingat-ingat
lupa.
“
Aduh aku senang banget bisa ketemu lagi sama kamu, San? Kamu ada di
kota ini ya? Ya.... ampun kamu pasti udah lupa dengan aku?” Berondong wanita
itu yang senang melihat wajah santi yang berusaha sedang mengingat-ingat
dirinya.
“
Nah, kamu Mitha
kan?” Akhirnya santi bisa mengingatnya.
“
Betul.” Kedua wanita itu saling berangkulan. Lucu juga bagi orang yang
memperhatikannya, asalnya marah-marah jadi perpelukan.
“
Maaf ya, tadi dengan sikapku? Eh kita cari makan disebelah sana yuk?” Mitha menarik
tangan Santi
keluar dari mall itu, lalu mampir kesebuah restoran.
“
Sudah lama kita ngak bertemu. Dari sejak lulus SMU ya?” Mitha
membuka percakapan.
“
Tentu kamu sekarang udah menjadi wanita karier yang sukses.” Ujar Santi mengingat cita-cita Mitha
yanga ingin menjadi wanita karier.
“
Tidak juga,” Jawab Mitha datar. “Aku menjadi singgle parent.”
“
Single parent, sejak kapan kamu menikah?”
“
Aku DO kuliah karena MBA dan Rudi memang lelaki brengsek yang mau enaknya,
sesudah itu aku ditinggalkan.” Mitha tampak penuh beban mengucapkan kata-kata
itu.
“
Kenapa kamu tidak menikah lagi?” Tanya Santi.
“
Aku sudah tidak berminat untuk berumah tangga, laki-laki didunia ini berengsek
semua. Perkawinan tidak lebih sebagai pelacuran secara terselubung. Wanita
hanya dijadikan obyek penindasan!” Suara
Mitha berapi-api, dia sepertinya kecewa dengan masalalunya.
Santi
menyeruput juice alpukatnya dengan pelan.
“
Perkawinan itu tergantung kita memandangnya Mit, dan kebahagiaan adalah usaha
keras kita.”
Mitha
memandang keluar, melalui kaca restoran dia melihat sepasang manusia masuk
berjalan berdampingan mesra, dia mendengus sinis.
“
Entahlah bagiku pernikahan sesuatu yang merepotkan. Sekarang cita-citaku hanya
membesarkan Zahra
anaku satu-satunya. Kamu sendiri sudah menikah San?”
Santi
mengangguk
“
Kamu pasti bahagia?”
Santi
tersenyum masgul, apakah bahagia punya suami berselingkuh dengan wanita lain.
Itu hal yang menyakitkan. Meski pernikahannya tanpa dasar cinta, tapi dia tidak
mau pernikahannya dinodai oleh kebejatan moral.
Melihat
Santi diam mitha segera mengalihkan pembicaraan.
“
Sekarang aku aktif di LSM yang mengurusi korban kekerasan pada perempuan. Kalau
kamu punya masalah kamu bisa hubungi aku.” Mitha mengeluarkan kartu namanya.
“
Terimakasih.”
“
Kamu sekalian main kerumahku, di komplek villa duta.”
“
Aku bisa berkunjung kerumahmu lain kali saja Mit.” ujar Santi. Mata Santi mengitari seluruh ruangan
yang tampak ramai oleh orang-orang yang berkunjung.
Deg…
hatinya berdetak tak karuan. Mendadak sinar matanya meredup. Ada Yoga disana
tiga meter dari tempatnya duduk, masih dengan gadis tadi dan Yoga pun
melihatnya. Astagfirullah Santi langsung menggeser juice alpukatnya yang
tinggal setengah.
“
Mitha
maaf ya, mungkin sampai disini dulu perjumpaan kita. Sekali-kali kamu main
kerumahku dan makasih atas traktirannya.” Suara santi basah.
“Hm..
kamu kenapa San?
Kok ngak dihabisin dulu juicenya.”
“
Entahlah mendadak perasaanku tidak enak. Maaf ya,aku buru-buru.” Santi mengajak
Mitha bersalaman sambil
cipika-cipiki dan dia
pun
berlalu dari Restoran
itu dengan hati perih.
Hm
brengsek!
Kenapa dia ada disini?
Geram hati yoga. Merasa nggak
enak juga kepergok dua kali dalam waktu hari yang sama.
Mitha
geleng-geleng kepala ia tak mengerti, mendadak ada yang aneh dengan sorot mata
Santi.
Ada
kepedihan tersimpan disana. Apakah pernikahan santi sedang mengalami prahara?
Ah… entahlah, Mitha bangkit menuju meja kasir.
****
Ya
Allah apakah ini sebuah dosaku yang tak terampuni sehingga aku bersanding
dengan laki-laki seperti itu.
Ya
Alllah jika pernikahan ini tak akan bertahan lama, segera saja sudahi semuanya,
namun jika ingin menguji kesabaranku berikanlah aku kesabaran untuk menghadapinya.
Jadikanlah pernikahan ini menjadi barokah dan Mas Yoga menjadi suami yang
soleh.
Allahumma
jauujan solehan alilman haliman ghoniyan. Doanya dalam
isak tangis yang membuncah. Mengadukan semua resah dihatinya dalam solat.
Tenang seperti ada tetesan embun syurga.
Setelah itu dia kembali beraktivitas
menyiapkan makan malam, dan kembali menekuni dunia tulis menulisnya,
Tak salah dengan kata-kata Mitha.
Laki-laki didunia ini brengsek, egois tidak pernah memikirkan perasaan wanita
yang jadi korban. Santi mulai terpengaruh sikap feminis Mitha, mungkin karena
hatinya sedang sakit.
Santi kebali meneruskan Novel buat
kado pernikahan Rena dan sekalian bisa diajuin kepenerbit.
Meraih cahaya, tidak mudah
mendapatkannya.
Begitupun
dengan kehidupan Rima,
banyak
rintangan yang dihadapinya. Lamaran Prayoga, ungkapan cinta pak Mahardi lelaki tua yang berniat
menjadikan Rima istrinya, bersamaan dengan terbongkarnya keluarga Rima yang
sebenarnya.
Sampai gadis itu harus menemui
kenyataan pahit tentang
vonis dokter akibat pengaruh sex bebas yang pernah menjadi kehidupan masa
lalunya. Dia divonis mendapat penyakit STD ( sex transformation disease) sedang
anteng dia menulis kehidupan seorang Rima yang terangkum dalam novel Sebait
cahaya untuk Rima. Tiba-tiba suara pintu ditendang keras.
Mulut santi tergangga. Berdiri Yoga dan menatapnya dengan
garang.
“Kamu
sengaja memata-mataiku kan?” bentaknya kasar.
“Maksud
Mas Yoga itu apa?”
“
Alah pura-pura mengelak. Kamu mematai-matai
aku kan,
saat tadi di Mall
dan restoran itu
itu. Dasar perempuan kampungan sudah untung kau nikahi!” cecarnya.
Astagfirullah
Santi berusaha untuk sabar.
“Seharusnya
Santi yang tanya, siapa perempuan tadi? Bukan mas Yoga yang marah.”
Plaaakk...
Yoga
kalap. Dia menampar muka santi.
“Kamu
memang perempuan tak tahu diri, sebenarnya aku tak sudi menikah dengan kamu”.
Yoga mencabut kabel komputer dengan paksa, lalu brakk komputer itu dia
bantingkan ke lantai.
“
Mas Yoga!” Pekik santi, sedih menyaksikan kerja kerasnya hancur. Sebait cahaya dan beberapa cerpen lainya yang belum disave
di flasdisk
musnah.
Mata
santi berderai menganaak sungai.
“Puas!”
Sergah Yoga.
“
Kau kejam Mas,
aku tak menyangka kalau kau sekejam ini!”
“Apa
katamu?” cowok itu malah makin kalap mendorong Santi dengan kasar. Kepala Santi terbentur ke dinding. Mendadak
seketika kepalanya pusing, tubuh itu mengelosor kelantai lalu pingsan.
Melihat
tubuh istrinya tak berdaya, Yoga kelihatan panik juga apalagi dari jilbab putihnya ada rembesan darah. Cowok itu membopong tubuh
isttrinya ke mobil dan melarikannya ke Rumah Sakit takut terjadi apa-apa dengan
istrinya.
Yoga
kelihatan gelisah di ruang tunggu rumah sakit. Aduh bagaimana kalau luka Santi
patal dia harus bertanggung jawab. Bisa-bisa penjara sebagai hukumannya. Dengan pikiran resah dia menghisap
rokoknya.
“Bagaimana
keadaan istri saya dokter?” buru Yoga denga wajah panik.
“
Allamdulillah lukanya masih bisa ditangani. Namun jangan sampai hal ini terulang
lagi.
Karena
bisa mengalami keretakan tulang dan akan mengganggu ingatannya”.
“Benar
Dokter,
tidak terjadi apa-apa dengan istri saya?”
Dokter
itu mengangguk.
“Besok
sore sudah bisa di bawa pulang.
Jaga
baik-baik kondisi kesehatannya.” Tegas dokter Gunawan, lalu dia pamitan pada
Yoga.
Yoga
menarik nafas lega. Syukurlah,
batinya. Cowok itu berjalan melewati koridor mencari kantin, perutnya terasa
lapar sekali.
****
Santi sudah bisa beraktivitas lagi seperti biasa, meskipun
kadang-kadang dia merasa pusing kepalanya setelah kejadian itu. Dan yang paling
sedih ketika naskahnya yang hancur bersamaan dengan komputernya. Terpaksa dia
membeli lagi yang baru dengan membobol uang tabungannya. Sikap Yoga seperti
biasa lagi, seakan tidak
pernah
terjadi apa-apa.
Pagi ini,Yoga
marah-marah.
“ Kamu gimana sih? Jadi ibu rumah tangga, tapi sepagi ini belum bikin sarapan pagi. Aku kan lapar...”
“ Maaf kepalaku agak pusing dikit, jadi habis shubuh aku
tidur lagi.
Biasanya
juga mas Yoga nggak
sarapan dirumah.”
“ Alah pakai alasan lagi, kamu itu emang dasar pemalas!”
bentak Yoga.
Santi
memejamkan matanya perih, rumah tangga macam apa ini?
“ Cepat sediain, aku cuma punya waktu 15 menit”.
Hardiknya seperti pada seorang pembantu.
Santi
melangkah kedapur menyiapkan sarapan pagi untuk Yoga. Bikin nasi goreng di campur tahu,
baso, sosis dan sayuran, lebih praktis untuk waktu yang singkat.
Selesai
semuanya, dia menghidangkannya buat Yoga.
“ Ah nggak
enak!” Yoga dengan kasar mendorong piring makananya lalu meluncur jatuh ke
lantai dan menimbulkan suara praang...! pecahan piring itu berserakan bersama
nasi mengotori lantai. Hati Santi
seperti pecahan piring itu, hancur berkeping-keping.
“ Astagfirullah, Mas Yoga bisakah bicara tanpa menyakiti
perasaan saya”. Ujar Santi pilu.
“Kamu itu memang perempuan yang tidak becus segalanya. Heran kenapa ayah mau memilihkan
wanita seperti kamu untukku.”
Sahut Yoga kasar.
Santi sudah tidah kuat lagi mendengar kata-kata itu, dia berlalu kekamarnya. Menangis itu yang bisa dilakukan
olehnya.
“ Dasar perempuan cengeng!” Sinis Yoga sambil berlalu
dari tempat itu.
**
Sudah jelas Yoga tidak menghargai pernikahannya, sekali
berbuat kasar pasti akan berbuat kasar lagi. Pernikahannya tak akan berujung bahagia
kalau salah satunya tidak dapat diajak kerja sama. Ah, kenapa harus di takdirkan jadi perempuan lemah yang
mau begitu saja tunduk pada kekuasaan laki-laki. Coba kalau tawaran Papa ditolaknnya
dengan cara kabur, mungkin tidak akan
terjadi hal seperti ini.
Santi
menyusut air matanya. Dia memasukan
baju-bajunya ke koper, sesaat ia ingin pergi menenangkan dirinya. Ingin tenang berada dalam dekapan
mama. Ah... mama kenapa kita harus bernasib sama, desinya pilu.
Mama perempuan lembut yang selalu patuh pada perintah
Papa, Santi yakin mamanya tersiksa berada dalam tekanan Papa.
Mobil bis membawanya dari terminal Baranang siang menuju
Ciputat.
Papa pasti akan terkejut melihat kepulangannya. Hrhh… kenapa laki-laki itu belum sadar
juga.
Jam lima sore
Santi tiba di rumah orang tuanya. Mama menyambutnya dengan penuh haru Dia seperti merasakan penderitaan
yang dirasakan anaknya. Mata itu begitu cekung dan kurus. Santi merasakan
setuhan tangan mama yang lembut.
“ Kamu minta izin
dulu sama suamimu kemari?” tanya mama lembut.
Santi
menarik nafas berat.
“ Cuma lewat sms Ma...” sahutnya dengan nada getir.
“ Kamu pasti punya masalah.” tebak mama yakin
“ Ternyata Papa salah memilihkan pendamping untuk santi,
Ma.” mata Santi berkaca.
“ Sabar anaku, kamu melewatinya baru beberapa bulan.”
“ Tapi Santi sudah tak tahan Ma, dengan sikap kasarnya.
Santi tak ubah seperti pembantu dimatanya.”
Mama mengusap-ngusap punggung putrinya lembut sambil
mendengarkan curahan putrinya dengan sabar. Tak lupa ia memberikan
untaian nasihat dengan penuh bijaksana. Rumah tangga ibarat sebuah kapal yang
sedang berlayar di samudra jadi jangan berharap selamanya akan tenang, tapi harus siap menghadapinya dengan sikap tegar yang nyata. [bersambung]
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini