Hup.....
gahar banget.
Mereka
pasti akan sibuk kalau albumnya sudah keluar. Tour ke kota-kota, road show
mengisi acara di tv dan radio. Pokonya super sibuk dengan nama yang semakin
beken dan gosip-gosip akan mewarnai hidupnya inilah konsekuensi sebagai
penyayi, jadi Yoga akan semakin lupa dengan keberadaan orang dirumah.
****
Papa
tidak bisa berkutik saat Santi menceritakan kekerasan Yoga, dan Papa selalu
mementingkan dirinya sendiri.
“Papa
pikir aku bahagia” timpal Mbak Sarah. “Papa
lihat Danu yang jadi korban.
Pemaksaan
itu sakit Pa.... sakit...” ujar Mbak Sarah
perih kini ia sudah berani berbicara dengan Papa.
“
Maafkan Papa, Papa memang egois” ujar Papa sendu.
Mbak
Sarah dan Santi saling pandang, untuk pertama kalinya Papa mau mengakui
kesalahannya.
“
Papa pikir kalian bahagia, menikah dengan orang kaya yang masa depannya tentu
akan lebih baik. Kalian tidak akan melarat seperti papa dan mama kalian dulu
pertama menikah.
“
kehidupan yang bahagia bukan terletak pada harta, Pa... tapi dari cara kita
memandangnya.”
Tegas mbak Sarah.
Laki-laki
paruh baya itu menarik napas dalam. Matanya menerawang memandang
langit-langit.
“
Lantas apa yang kamu inginkan Santi? Bercerai dengan Yoga? Papa harap hal itu tidak terjadi. Papa akan
malu dengan keluarga pak Subroto, dia sangat ingin sekali punya menantu seperti
kamu.
Cobalah
pertimbangkan dengan bijak.”
Santi
diam. Rasanya, ah.... apakah aku akan mampu menghadapi kekerasan dan ketenaran
Yoga, Santi membatin. Mempunyai suami seorang pemusik, tapi aku harus bisa
bertahan bukankah dengan perhatian dan cinta semuanya bisa berubah.
“Akan
aku usahakan Pa.” ujar Santi pelan meskipun rasa gamang mendera jiwanya.
“Pulanglah
Santi, tidak baik lama-lama disini, karena sekarang kamu sudah punya suami.
Papa harap rumah tangga kalian bakal bahagia.” Ucap Papa penuh harap.
Hampir
satu mingggu Santi dirumah orang tuanya dan Yoga tak pernah sekalipun
menelponnya tapi sebuah kewajiban menuntunnya untuk pulang. Bersyukur dia telah
menyelesaikan novelnya dengan judul yang berbeda ‘Kasih dalam penantian’ hampir
mirip dengan kisah hidupnya. Tapi berakhir dengan tragis meskipun sempat ada
masa-masa yang romantis. Tania peran utama dalam novelnya meninggal karena
kangker rahim yang di deritanya. Dani begitu terpukul dengan kematian Tania,
kenapa masa bahagia itu harus berjalan sebentar. Sesaat mengecap kemanisan,
sesudah itu tumpah menyisakan sedih, luka dan cinta.
****
“Santi,
kamu tahu suamiku sangat suka dengan novel hadiah dari kamu itu, seperti kisah
nyata ada kepedihan di sana, dia sempat berkaca-kaca dan aku juga. Kamu tahu
San? Aku menangis, cengeng banget ya, San?
Tapi kamu berhasil mengaduk emosi pembaca.” Ujar Rena lewat telepon
setelah seminggu selesai pernikahannya.
“Terimakasih
atas pujiannya Ren, bikin hatiku melambung he..he...”
“Jangan-jangan
itu kisah hidupmu sendiri San?”
“
Bukan dong, itu cuma rekaan tapi pinter-pinternya aku mengaduk emosi pembaca.”
“Huuh....
narsis, tapi boleh juga diajuin keperbit San. Aku bakal jadi pembeli yang
pertama lho dan siapa tahu kebanjiran royalti.”
“
Sudah aku kirimin, mudah-mudahan diterima
ya Ren?”
“
Amien... sudah dulu ya San, tuh mas Amri memanggilku.” Tut..tut... suara telpon
di tutup.
Santi
menarik nafas, Rena tentu sangat bahagia dengan pernikahannya, dia sendiri
merasa gamang dengan istana yang bakal dibangun bersama Yoga, Santi mengigit
bibirnya sambil menyederkan tubuhnya ke dinding. Ya Allah berikan aku ketabahan
untuk menghadapinya.
****
Supraise
hari ini Santi kedatangan mertuanya pak Subroto dan Bu Subroto serta adiknya
mas Yoga, Hardian. Mereka sangat baik dan perhatian, disatu sisi Santi ingin
segera menghindar dari Yoga namun sikap perhatian keluarganya membuat dia
bertahan. Karena keinginan orangtuanyalah mengambil istri untuk anaknya, supaya
Yoga sedikit-sedikit dapat berubah.
“Jadi
hari minggu begini suamimu tidak ada dirumah?” Tanya bu Subroto prihatin apalagi
melihat tubuh menantunya yang kurusan dengan mata cekung. Dia sudah bisa
menebak kalau menantunya itu tersiksa walaupun Santi tidak cerita.
Santi menarik nafas berat meski dia tidak ingin kelihatan
begitu sedih didepan mertuanya.
“ Mas Yoga sibuk untuk merintis album pertamanya”
“ Ya ampun jadi anak itu masih memimpikan jadi penyayi
juga?” Bu Subroto kelihatan kesal.
“ Bagaimana rumah tangga kalian? Bapak sudah
tak sabar lagi menimang cucu dari kamu dan Yoga” ujar pak Subroto.
“
Baik-baik saja pak.”
“
Sebaiknya rumah ini ada pembantu biar Santi tidak terlalu capek dan jagan terlalu
banyak pikiran” timpal Bu Subroto.
“
Hardian juga udah kangen ingin gendong ponakan” ujar cowok yang baru kuliah
semester dua. Hardian sangat jauh dengan kakanya, dia sangat lembut dan
penurut.
Santi
tersenyum mendengar komentar keluarga suaminya.
Tiga
jam berselang, Yoga datang, sikapnya begitu manis berbeda kalau tidak ada
orangtuanya.
“
Istrimu itu jangan terlalu capek Ga, biar cepat hamil dan kamu jangan musik
terus yag diurusin, istrimu juga kan butuh perhatian” ujar Bu Subroto.
“
Yoga juga pingin cepet-cepet jadi ayah, Bu. Kan kalau udah punya anak pulang
ada yang nyambut, gitu kan San?” Yoga mengerling manis pada Santi.
Santi
tersenyum manis meski hatinya perih. Laki-laki itu begitu pandai bersandiwara.
Ya Allah mudah-mudahan saja dia tidak sedang bersandiwara. Di depan orang
tuanya Yoga bersikap sempurna, menjelma menjadi seorang suami yang romantis,
perhatian dia bahkan tidak segan-segan turun kedapur memasak, untuk makan malam
keluarganya.
“
Gimana Sup lobster jamurnya enak kan?” Yoga melirik Santi.
“Ehm...
enak,” Jawab Santi agak kaku, memang rasa masakan itu sangat lezat di lidahnya.
“ Mas Yoga pinter masak juga ya?” Santi berusaha mencairkan suasana didepan keluarganya.
“
Kebetulan waktu di Boston aku sering belajar masak pada temanku dari jepang.”
“
Wah, kalau masak setiap hari gini romantis banget,ya Mas?” Goda Hardian.
“
Tentu, iya kan say?” Yoga memegang tangan istrinya lembut. Wajah Santi
tiba-tiba memerah namun hatinya tiba-tiba merasa muak dengan sandiwara yang
sedang dilakukan Yoga.
“
Aku jadi kepengen nikah cepet-cepet,” ujar Hardian lagi. “Tapi istrinya pengen
kayak mbak Santi” tambah cowok itu.
Percakapan
berjalan dengan lancar seperti tidak terjadi apa-apa. Andai begini selamanya,
ah.... tentu bahagia, tapi mungkinkah? Batin Santi ragu.
****
“
Kamu ngomong apa saja sama ayah dan ibu selama aku ngak ada?” Tatap Yoga tajam
kembali kesikap aslinya setelah orangtuanya pergi.
“
Aku ngak ngomong apa-apa Mas”, Santi berusaha bersikap tenang.
“
Alaah.. jangan bohong, kamu pasti ngadu. Perempuan dimana-mana juga bisanya cuma
ngadu.” Yoga masih tetep ngotot.
“Maaf,
aku bukan perempuan yang secengeng mas kira, sehingga harus ngadu pada oranag
tua”. Ucap Santi pelan dan segera menghindar dari hadapan cowok itu.
“Awas
ya kalau kamu ngadu pada ayah dan ibuku, kamu bakal tau rasa!” Ancam Yoga.
Santi
tersenyum dalam hatinya, ternyata laki-laki itu penakut juga.
Suara
dering Hp Yoga berdering, cowok itu segera merongoh sakunya SMS dari temannya
di studio. Setelah membaca isi pesan itu, Yoga berlari kekamarnya dan segera
memasukan baju-bajunya keransel lalu keluar menemui Santi.
“
Aku pergi, tidak tau entah kapan pulang. Kamu jangan coba-coba menghubungiku.
“
Pergi kemana, mas?”
“
Perempuan tidak perlu tahu.”
Santi
menelan ludah pahit hatinya teriris pedih tapi ia hanya bisa pasrah.
“Hati-hati
ya mas.” Ia mengantarkan kedepan sambil memperhatikan mobil lelaki itu pergi
meninggalkan pekarangan rumah.
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini