Santi
menarik nafas pedih, impian mewujud keluarga sakinah mungkin hanya ada dalam angan.
Tema lagu yang dinyayikan Yoga bernilai picisan tapi sangat laku dipasaran.
Bagi Santi punya suami seorang penyanyi itu sebuah bahaya besar, apakah dirinya
harus mengikuti gaya istri seorang selebritis, tak ayal surat datang begitu
banyak, suara telepon tak berhenti berdering belum kalau Santi membayangkan
kalau Yoga bertemu dengan fans yang mengidolakannya pasti peluk cium terjadi.
Astagfirulllah,
tak ubahnya suamiku seperti patung berhala yang dipuja-puja manusia, dikagumi,
ditangisi padahal apakah akhlak Yoga pantas untuk diteladani, menjadi suami yang
mengayomi pun dia tak mampu.
Ya
Allah kenapa aku harus bersatu dengan lelaki yang seperti itu? Inikah ujian
dariMu, rintih Santi dalam sujud malamnya menangisi nasibnya yang malang.
****
Pagi
yang cerah santi baru saja menyelesaikan shalat dhuhanya, suara deringan
telepon berisik tak sabar.
“Hallo,
Asalamualaikum, bisa saya bicara dengan Santi wijaya.” Suara di sebrang
terdengar formal.
“
Saya sendiri, maaf anda siapa?”
“
Saya dari penerbit, novel yang anda ajukan beberapa bulan lalu dengan judul
kasih dalam penantian ternyata layak terbit.
Alhamdulillah,
laungan syukur membuncah di dada Santi, hatinya sedikit terobati.
“
Saya minta besok anda datang ke kantor kami untuk membicarakan kontrak bukunya.”
“
Baik pak, saya pasti akan datang.” janji
Santi.
Hatinya
bahagia
sekali. Lalu telepon ditutupnya.
Santi
berjalan ketepi jendela, suara berisik pohon mangga yang ditiup angin
menimbulkan irama gesekan dedaunan.
Hm....ia
berpikir kok kariernya muncul secara bersamaan dengan Yoga meski jalur yang
ditempuhnya
sangat berbeda.
Mungkin
ini sebuah keberkahan untuk dirinya sebagai pengobat kesedihan. Sedang nyamanya
melamun, telpon kembali berdering. Sekarang telpon dari Rima sahabatnya.
“Hallo
san, apa kabar? Wah aku ngak nyangka sama sekali kalau kamu bakal jadi istri
seorang penyayi, kecipratan beken nih dan bakalan jadi miliader.” Goda Rina di
telepon.
“
Tapi aku tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang istri penyayi,” ucap Santi
pelan.
“
Iya aku juga tahu, kamu pengenya punya suami kayak Ustadz kan? Kamu memang harus berjuang keras kalau
pengen Yoga jadi kayak Ustadz. Siap-siap lho, dapat kejaran wartawan dan kena
gosip murahan karena menjadi istri
seorang bintang.”
“Itulah
yang tidak aku inginkan Rim...”
“
Tapi itu resiko yang harus kamu hadapi sekarang,menjadi istri seorang bintang.”
“Aku
akan berusaha menghadapinya”.
“Nah...
itu baru Santi yang aku suka. Eh.... San Hp nya jangan ditutup dulu ya?”
“
Ada apa?”
“
Aku mengundangmu untuk datang ke acara peresmian Boutiqe ku
minggu depan sekalian selamatan dan banyak acara banyak lainnya. Datang ya...?”
“InsyaAllah,
aku senang mendengarnya.
Kalu
kamu sudah punya boutiqe sendiri.” Ujar Santi senang.
“
Kalau bisa sama Yoga , ya?”
“
Jika dia tidak sibuk.”
Yah
laki-laki itu cukup sibuk, apa mungkin dia mau di ajak ke acara yang beginian untuk menemani dirinya, rasanya tidak mungkin. Sekarang
saja dia jarang pulang tidak ada kabar beritanya. Pernikahan macam apakah ini?
Santi merasa gamang dengan kelanjutan rumah tangganya.
****
Lelaki
itu datang dengan wajah berbinar bahagia.
“
Sekarang aku sudah bisa mewujudkan impian terbesarku” ujarnya dengan mata
berbinar.
“
Selamat ya, Mas. Santi bahagia melihat Mas bisa sukses.”
Laki-laki
itu senang mendengar kata-kata istrinya, berarti dia mendukung karienya. Yoga
menatap wajah didepanya cantik dan begitu natural tanpa sapuan make-up hanya
sayang wajah itu tertutup jilbab coba kalau dibuka mungkin bisa disandingkan
dengan Salma hayek.
“
Bagaimana kalau malam ini kita makan di
restoran untuk merayakan kesuksesanku”. Tawar Yoga jadi baik ,karena hatinya sedang senang. Nggak salah kan sekali-kali ia menyenangkan
istri pilihan Papanya.
“Boleh
juga.”
“
Jangan lupa kamu harus dandan secantik mungkin. Sekarang kan kamu sudah menjadi
istri seorang penyanyi.”
Santi
tersenyum masgul, tapi menganguk juga. Tida apa-apa asal ia tidak dilarang
menutupi rambutnya.
Malam
itu mereka menikmati perannya sebagai suami istri yang sempurna. Yoga bersikap
baik dan romantis, mereka makan direstoran yang mahal. Meskipun hati Santi
kurang sreg memasuki restoran itu, mungkin karena tidak terbiasa meski
orangtuanya dari segi ekonomi tidak kekurangan tapi orangtua Santi membiasakan
anak-anaknya untuk hemat terhadap uang dan santi merasa tidak rela mengeluarkan
uang besar hanya untuk isi perut, bukankah lebih baik makan direstoran biasa
saja dan sisa uangnya di sumbangkan. Inikah gaya hidup punya suami seorang
penyanyi yang sudah punya nama, be a
start.
Ketika
mereka keluar dari restoran mendadak
kilatan bliz kamera menyorot mereka dan beberapa wartawan mendekatinya.
Astagfirullah,
santi sadar dengan apa yang terjadi. Apasih yang diinginkan para wartawan itu,
berita-berita murahan untuk dijadikan bahan gosip dan bagaimana juga mereka
tahu kalau Yoga
dan dirinya ada disini? Rupanya mereka sudah menguntitnya dari tadi, suatu hal
yang wajar karena Yoga sekarang sedang jadi sorotan dan jadi idola para remaja.
Begitulah
pertanyaan-pertanyaan yang kurang berbobot keluar dari mulut wartawan yang
ditanggapi Santi dengan sikap biasa saja ketika sang wartawan bertanya padanya.
“Bagaimana
perasaan anda menjadi istri seorang bintang?” Pertanyaan itu membuat Santi
bingung menjawab disatu sisi ia tidak
suka dengan frofesi suaminya yang diidolakan gadis-gadis padahal dia
jauh dari pigur idola tapi disisi lain ia tidak mungkin menjawab tidak senang,
itu jelas akan menyakiti perasaan Yoga.
“Senang
sekali, karena mas Yoga bisa menghibur orang lain”. Perih hati Santi
mengucapkannya, menghibur dengan lagu-lagu picisan yang tak bermakna.
“
Meskipun dia akan digilai jutaan fans?”
“
Tidak apa-apa itu konsekuensi menjadi istri seorang bintang saya harus siap
menghadapinya yang penting bisa menjaga dirinya.”
“Anda
masih tetap menulis?”
Haa...
santi terperangah, darimana wartawan itu tahu kalau dirinya seorang penulis.
“
Jangan kaget, saya pernah membaca novel-novel anda”
“Masih.”
jawab Santi pendek.
“
Bagaimana mas Yoga apa anda senang mempunyai istri cantik, berjilbab dan
seorang penulis?”
“
Tentu saja senang, ini anugrah buat saya.”
“
Kapan anda berencana punya anak?”
“Pinginnya
sih cepet-cepet, doainnya. “ Jawab yoga lancar.
Sesi
tanya jawab yang diajukan wartawan itu selesai juga, Santi menarik nafas lega.
Yoga
tidak menduga dengan jawaban Santi, dia pikir Santi akan berbicara tentang
profesi yang dilakukan suaminya tidak disukai tapi kenyataanya Santi tidak
mempermalukannya. Thank god.
****
Mitha
tidak biasanya sore hari ini menonton acara gosip yang ditayangkan stasion tv
swasta secara bersamaan ketika dia memijit remot TV berukuran 21 inchi itu, dia
melihat gadis berkerudung sedang dikerubuti wartawan dan disampingnya berdiri
seorang laki-laki yang dandananya jauh sekali dengan gadis berjilbab itu.
Mitha
mengerutkan keningnya, rasanya ia kenal dengan gadis berjilbab itu.
“Ya
ampun,
Santi!” Pekiknya dan laki-laki disebelahnya seperti pernah melihatnya, tapi
dimana? Ia mencoba mengingatnya dengan keras. Di tv saat pertunjukan konser
musik? Bukan. Tapi.... saat di restoran bersama Santi, laki-laki itu masuk
mengandeng seorang perempuan dengan mesra.
Ya
ampun, benarkah? Apa sebenarnya yang terjadi dengan Santi? Dia menikah dengan seorang penyanyi
yang termasuk pendatang baru di blantika musik indonesia. Mitha menggeleng tak
percaya.
Dia
baru sadar dengan wajah Santi yang mendadak mendung saat di restoran beberapa
bulan yang lalu. Mitha menyayangkan sekali gadis sebaik Santi harus bersanding
dengan lelaki macam Yoga. Ah... sungguh tidak layak batinnya.
Dia
segera mematikan TV dengan remot control yang ada disisinya, tidak terlalu
berminat karena ia bukan pecandu dunia TV.
Pernikahan itu tergantung
kita memandangnya Mit dan kebahagian adalah usaha keras kita.
Tiba-tiba perkataan Santi terngiang kembali.
Benarkah
Santi bahagia, Mitha sangsi. Bahagiakah punya suami yang berselingkuh.
“Mama,
suara zahra mengagetkannya.”
“
Ada apa?”
“
Mama katanya mau ngajak zahra jalan-jalan ke Mall.” Tagih zahra.
“
Iya, tapi buka sekarang nanti selesai maghrib.”
“Zahra
pengen sekarang Ma.” Rengek zahra.
“Zahra!”
Pelotot mitha galak. “Kamu jangan bikin Mama pusing, kalau kata Mama selesai
maghrib harus nurut.”
Anak
itu menunduk dengan muka cemberut lalu masuk kekamarnya.
Mitha
menarik nafas berulang kali, melihat zahra mendadak bayangan Rudi muncul. Wajah
gadis usia lima
tahun itu kalau sudah besar akan mirif ayahnya. Kadang kalau emosi lagi labil dia
benci melihat zahra dan ingin saja menyiksa anak itu, tapi
anak itu tak berdosa atas segala amarah dihatinya. Yang salah adalah dirinya terbuai
bujuk rayu Rudi
lelaki brengsek itu. Maka kalau Mitha
sedang emosi ia akan segera masuk kekamar dan mengunci pintu atau segera
berendam di kamar mandi. Terbukti cara itu cukup berhasil.
Satu-satunya
tekad Mitha
adalah menjadikan putrinya manusia berharga tidak seperti dirinya, meskipun Zahra tidak punya seorang ayah dan
yang paling pahit ketika mitha tidak diakui oleh keluarganya yang pengusaha
terhormat karena dia dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya. Ini memang
pahit, sebuah aib yang harus ditanggung sendiri dan harus membesarkan Zahra seorang diri.
“Jangan
tambah dosa untuk yang kedua kalinya, anak itu tak berdosa.” ujar Tina. Malah Tina berjanji
akan menolongnya jika Mitha tidak ingin merawat anak yang dilahirkannya. Dia
mengusulkan untuk diberikan pada kakak perempuannya yang sudak tujuh tahun
tidak dikaruniai anak. Mulanya Mitha setuju tapi setelah Zahra lahir naluri
keibuannya tidak rela kalau anak semanis Zahra diberikan pada orang lain,
maka ia bertekad untuk merawat sendiri putrinya.
Beruntung
ia punya bakat dagang, mungkin warisan dari keluarganya. Ketika subsidi dari
keluarganya terhenti, Mitha mulai berdagang pakaian dengan modal yang
dimilikinya. Dia membidik pakaian batik dengan bantuan temannya yang berasal
dari pekalongan. Sekarang bisnisnya sudah lumayan lancar dan banyak diminati ibu-ibu.
Dia sudah punya Boutiqe
sendiri dan berencana untuk membuka cabang baru di sebuah mall yang baru
dibangun di kota Bogor. Selain itu Mitha aktif disebuah LSM yang mengurusi
korban kekerasan pada rumah tangga terutama yang banyak dirugikan oleh ulah
laki-laki.
Mitha
tidak pernah berniat lagi untuk berumah
tangga
meski ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatinya dan bersikap baik dengan
menawarkan pernikahan,
tapi Mitha tak berminat. Dia lebih enjoy jadi single parent karena dia merasa
mampu menjadi figur seorang ibu sekaligus ayah untuk Zahra.
Ketika
selesai maghrib, Mitha menepati janjinya mengajak Zahra jalan-jalan ke Gramedia
baranang siang, kebetulan anak itu lebih suka baca buku ketimbang dibelikan
mainan. Mereka berdua turun dari angkot dan mau menyebrang jalan, tiba-tiba...
Ciiiiiiit......
sebuah mobil sedan berwarna metalik hampir saja menabrak Zahra, Mitha langsung lemas.
Laki-laki
disedan itu menurunkan kaca mobilnya. “Heh... kalau mau nyebrang, lihat kanan
kiri dong,
jangan main selonong aja!” Teriaknya marah.
Mitha
melotot merasa dilecehkan, “ Kamu yang hati-hati kalau nyetir mobil sudah tahu
lagi padat gini mau coba main seruduk.” Mitha emosi juga.
“Brengsek...!
laki-laki itu menepikan mobilnya kepinggir, dia merasa dilecehkan. Lalu dia
turun dari mobilnya meski sudah dilarang istrinya.
“Sudah
Rud, jangan bikin masalah.”
“Alah..
perempuan itu harus dikasih pelajaran!” Dia membanting pintu mobilnya.
“
Kamu jangan coba-coba bikin masalah dengan saya, ya?” Bentaknya sambil
mendekati Mitha.
Mitha
terperangah, mendadak dia muak dengan laki-laki didepannya. Dia masih ingat
dengan laki-laki yang memarahinya ini.
“
Kamu tidak punya hak untuk menyalahkan aku, Rudi!” Suara Mitha dingin.
Haaah..
Rudi tergagap. Dia tak mengira dengan perempuan yang hampir ditabraknya itu
adalah perempuan yang telah dihamilinya.
“Aku
tak menyangka kita akan bertemu dengan cara seperti ini. Kau adalah bajingan yang sudah membuat masadepanku
hancur!” geram Mitha marah. Setelah itu dia segera menarik Zahra segera berlalu dari hadapan
Rudi.
“Mitha....!”
teriaknya. Tapi tak digubris.
“Siapa, Rudi?” Tanya istrinya yang turun
dari mobil.
Pikiran
Rudi jadi kacau, pertemuan dengan Mitha tadi sesuatu yang tak pernah diduga dan
anak itu... mendadak hatinya diliputi awan kegelisahan. Dia bisa melihat jelas
anak kecil yang disamping Mitha ketika tersorot cahaya mobil. Dia begitu mirif
dengan aku, gumanya. Rudi jadi begitu rindu dengan sosok kecil itu, dia begitu
lucu dan menggemaskan.
Pernikannya
dengan Karina belum dikaruniai anak setelah membangunya hampir tiga tahun, yang
ada hanya percekcokan dan persaingan. Rudi merasa didikte. Dulu dia menerima
Karina, karena perempuan itu kaya meski dari segi usia dia lebih matang. Saat
mereka memulai debut rumah tangganya,
Karina sudah mendekati kepala tiga sedang Rudi baru 20 tahun saat itu.
Rudi
sudah lama mencari jejak Mitha, ternyata dia ada di Bogor juga. Ahh..
kapan-kapan aku bisa bertemu dengan dia lagi. Rudi melirik Karina di sisinya yang tertidur kelelahan.
Rencananya mereka akan kepuncak mengisi libur akhir pekan di villa punya ayah
Karina.
****
“Mama
yang tadi siapa sih? Kok marah-marah gitu.” Kata Zahra ketika sampai di Gramedia dalam deretan buku cerita
anak-anak.
“Mungkin
orang gila.” jawab mitha benci.
“Kok
jawabnya gitu sih Ma...”
“Stt....
Zahra kalau mau beli buku jangan tanya mecem-macem deh, Mama gak suka.”
Anak
itu langsung merengut diam, dan mulai memilih-milih buku yang menarik minatnya.
Sedang pikiran Mitha menerawang pada kejadian
tadi, Rudi laki-laki yang telah menghamilinya begitu terkejut melihatnya.
Pertama Mitha melihat ada bias keangkuhan disana, tiba-tiba perut Mitha merasa
mules.
Dan
ia sempat melihat wanita yang bersama Rudi, dilihat dari usia memang tak
sepadan namun parasnya lumayan manis.
“
Mama....” suara zahra membuyarkan lamunannya, mitha melirik zahra yang
memperlihatkan tumpukan buku yang ingin dibelinya. “Lima buku, boleh kan Ma”.
“
Coba mama lihat,” Mitha meneliti buku yang ingin dibeli putrinya. “Boleh...”
Ucap Mitha sambil menuntun putrinya menuju kemeja kasir.
Selesai
belanja buku mereka mampir dulu ke Pizza
hut untuk makan. Zahra sibuk nyerocos mengomentari bukunya, Mitha menanggapinya
dengan sabar kalau ada pertanyaan kritis dia berusaha menerangkannya sebisa
mungkin dengan penjelasan yang bisa dimengerti anak-anak sambil menunggu
pesanan Pizza. [bersambung]
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini