Subscribe Us

[NOVEL] MERAJUT BENING CINTA # 5



Santi menarik nafas pedih, impian mewujud keluarga sakinah mungkin hanya ada dalam angan. Tema lagu yang dinyayikan Yoga bernilai picisan tapi sangat laku dipasaran. Bagi Santi punya suami seorang penyanyi itu sebuah bahaya besar, apakah dirinya harus mengikuti gaya istri seorang selebritis, tak ayal surat datang begitu banyak, suara telepon tak berhenti berdering belum kalau Santi membayangkan kalau Yoga bertemu dengan fans yang mengidolakannya pasti peluk cium terjadi.
Astagfirulllah, tak ubahnya suamiku seperti patung berhala yang dipuja-puja manusia, dikagumi, ditangisi padahal apakah akhlak Yoga   pantas untuk diteladani, menjadi suami yang mengayomi pun dia tak mampu.
Ya Allah kenapa aku harus bersatu dengan lelaki yang seperti itu? Inikah ujian dariMu, rintih Santi dalam sujud malamnya menangisi nasibnya yang malang.
****
Pagi yang cerah santi baru saja menyelesaikan shalat dhuhanya, suara deringan telepon berisik tak sabar.
“Hallo, Asalamualaikum, bisa saya bicara dengan Santi wijaya.” Suara di sebrang terdengar formal.
“ Saya sendiri, maaf anda siapa?”
“ Saya dari penerbit, novel yang anda ajukan beberapa bulan lalu dengan judul kasih dalam penantian ternyata layak terbit.
Alhamdulillah, laungan syukur membuncah di dada Santi, hatinya sedikit terobati.
“ Saya minta besok anda datang ke kantor kami untuk membicarakan kontrak bukunya.”
“ Baik pak, saya pasti akan datang.”  janji Santi. Hatinya bahagia sekali. Lalu telepon ditutupnya.
Santi berjalan ketepi jendela, suara berisik pohon mangga yang ditiup angin menimbulkan irama gesekan dedaunan.
Hm....ia berpikir kok kariernya muncul secara bersamaan dengan Yoga meski jalur yang ditempuhnya sangat berbeda. Mungkin ini sebuah keberkahan untuk dirinya sebagai pengobat kesedihan. Sedang nyamanya melamun, telpon kembali berdering. Sekarang telpon dari Rima sahabatnya.
“Hallo san, apa kabar? Wah aku ngak nyangka sama sekali kalau kamu bakal jadi istri seorang penyayi, kecipratan beken nih dan bakalan jadi miliader.” Goda Rina di telepon.
“ Tapi aku tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang istri penyayi,” ucap Santi pelan.
“ Iya aku juga tahu, kamu pengenya punya suami kayak Ustadz  kan? Kamu memang harus berjuang keras kalau pengen Yoga jadi kayak Ustadz. Siap-siap lho, dapat kejaran wartawan dan kena gosip murahan  karena menjadi istri seorang bintang.
“Itulah yang tidak aku inginkan Rim...”
“ Tapi itu resiko yang harus kamu hadapi sekarang,menjadi istri seorang bintang.”
“Aku akan berusaha menghadapinya”.
“Nah... itu baru Santi yang aku suka. Eh.... San Hp nya jangan ditutup dulu ya?”
“ Ada apa?”
“ Aku mengundangmu untuk datang ke acara peresmian Boutiqe ku minggu depan sekalian  selamatan dan banyak acara banyak lainnya. Datang ya...?”
“InsyaAllah, aku senang mendengarnya. Kalu kamu sudah punya boutiqe sendiri.” Ujar Santi senang.
“ Kalau bisa sama Yoga , ya?”
“ Jika dia tidak sibuk.”
Yah laki-laki itu cukup sibuk, apa mungkin dia mau di ajak ke acara yang beginian untuk menemani dirinya, rasanya tidak mungkin. Sekarang saja dia jarang pulang tidak ada kabar beritanya. Pernikahan macam apakah ini? Santi merasa gamang dengan kelanjutan rumah tangganya.
****
Lelaki itu datang dengan wajah berbinar bahagia.
“ Sekarang aku sudah bisa mewujudkan impian terbesarku” ujarnya dengan mata berbinar.
“ Selamat ya, Mas. Santi bahagia melihat Mas bisa sukses.”
Laki-laki itu senang mendengar kata-kata istrinya, berarti dia mendukung karienya. Yoga menatap wajah didepanya cantik dan begitu natural tanpa sapuan make-up hanya sayang wajah itu tertutup jilbab coba kalau dibuka mungkin bisa disandingkan dengan Salma hayek.
“ Bagaimana kalau malam ini kita makan di  restoran untuk merayakan kesuksesanku”. Tawar Yoga jadi baik ,karena hatinya sedang senang. Nggak salah kan sekali-kali ia menyenangkan istri pilihan Papanya.
“Boleh juga.”
“ Jangan lupa kamu harus dandan secantik mungkin. Sekarang kan kamu sudah menjadi istri seorang penyanyi.”
Santi tersenyum masgul, tapi menganguk juga. Tida apa-apa asal ia tidak dilarang menutupi rambutnya.
Malam itu mereka menikmati perannya sebagai suami istri yang sempurna. Yoga bersikap baik dan romantis, mereka makan direstoran yang mahal. Meskipun hati Santi kurang sreg memasuki restoran itu, mungkin karena tidak terbiasa meski orangtuanya dari segi ekonomi tidak kekurangan tapi orangtua Santi membiasakan anak-anaknya untuk hemat terhadap uang dan santi merasa tidak rela mengeluarkan uang besar hanya untuk isi perut, bukankah lebih baik makan direstoran biasa saja dan sisa uangnya di sumbangkan. Inikah gaya hidup punya suami seorang penyanyi yang sudah punya nama,  be a start.
Ketika mereka keluar dari restoran  mendadak kilatan bliz kamera menyorot mereka dan beberapa wartawan mendekatinya.
Astagfirullah, santi sadar dengan apa yang terjadi. Apasih yang diinginkan para wartawan itu, berita-berita murahan untuk dijadikan bahan gosip dan bagaimana juga mereka tahu kalau Yoga dan dirinya ada disini? Rupanya mereka sudah menguntitnya dari tadi, suatu hal yang wajar karena Yoga sekarang sedang jadi sorotan dan jadi idola para remaja.
Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang kurang berbobot keluar dari mulut wartawan yang ditanggapi Santi dengan sikap biasa saja ketika sang wartawan bertanya padanya.
“Bagaimana perasaan anda menjadi istri seorang bintang?” Pertanyaan itu membuat Santi bingung menjawab disatu sisi ia tidak  suka dengan frofesi suaminya yang diidolakan gadis-gadis padahal dia jauh dari pigur idola tapi disisi lain ia tidak mungkin menjawab tidak senang, itu jelas akan menyakiti perasaan Yoga.
“Senang sekali, karena mas Yoga bisa menghibur orang lain”. Perih hati Santi mengucapkannya, menghibur dengan lagu-lagu picisan yang tak bermakna.
“ Meskipun dia akan digilai jutaan fans?”
“ Tidak apa-apa itu konsekuensi menjadi istri seorang bintang saya harus siap menghadapinya yang penting bisa menjaga dirinya.”
“Anda masih tetap menulis?”
Haa... santi terperangah, darimana wartawan itu tahu kalau dirinya seorang penulis.
“ Jangan kaget, saya pernah membaca novel-novel anda”
“Masih.” jawab Santi pendek.
“ Bagaimana mas Yoga apa anda senang mempunyai istri cantik, berjilbab dan seorang penulis?”
“ Tentu saja senang, ini anugrah buat saya.”
“ Kapan anda berencana punya anak?”
“Pinginnya sih cepet-cepet, doainnya. “ Jawab yoga lancar.
Sesi tanya jawab yang diajukan wartawan itu selesai juga, Santi menarik nafas lega.
Yoga tidak menduga dengan jawaban Santi, dia pikir Santi akan berbicara tentang profesi yang dilakukan suaminya tidak disukai tapi kenyataanya Santi tidak mempermalukannya. Thank god.
****
Mitha tidak biasanya sore hari ini menonton acara gosip yang ditayangkan stasion tv swasta secara bersamaan ketika dia memijit remot TV berukuran 21 inchi itu, dia melihat gadis berkerudung sedang dikerubuti wartawan dan disampingnya berdiri seorang laki-laki yang dandananya jauh sekali dengan gadis berjilbab itu.
Mitha mengerutkan keningnya, rasanya ia kenal dengan gadis berjilbab itu.
“Ya ampun, Santi!” Pekiknya dan laki-laki disebelahnya seperti pernah melihatnya, tapi dimana? Ia mencoba mengingatnya dengan keras. Di tv saat pertunjukan konser musik? Bukan. Tapi.... saat di restoran bersama Santi, laki-laki itu masuk mengandeng seorang perempuan dengan mesra.
Ya ampun, benarkah? Apa sebenarnya yang terjadi dengan Santi? Dia menikah dengan seorang penyanyi yang termasuk pendatang baru di blantika musik indonesia. Mitha menggeleng tak percaya. Dia baru sadar dengan wajah Santi yang mendadak mendung saat di restoran beberapa bulan yang lalu. Mitha menyayangkan sekali gadis sebaik Santi harus bersanding dengan lelaki macam Yoga. Ah... sungguh tidak layak batinnya.
Dia segera mematikan TV dengan remot control yang ada disisinya, tidak terlalu berminat karena ia bukan pecandu dunia TV.
Pernikahan itu tergantung kita memandangnya Mit dan kebahagian adalah usaha keras kita. Tiba-tiba perkataan Santi terngiang kembali.
Benarkah Santi bahagia, Mitha sangsi. Bahagiakah punya suami yang berselingkuh.
“Mama, suara zahra mengagetkannya.”
“ Ada apa?”
“ Mama katanya mau ngajak zahra jalan-jalan ke Mall.” Tagih zahra.
“ Iya, tapi buka sekarang nanti selesai maghrib.”
“Zahra pengen sekarang Ma.” Rengek zahra.
“Zahra!” Pelotot mitha galak. “Kamu jangan bikin Mama pusing, kalau kata Mama selesai maghrib harus nurut.”
Anak itu menunduk dengan muka cemberut lalu masuk kekamarnya.
Mitha menarik nafas berulang kali, melihat zahra mendadak bayangan Rudi muncul. Wajah gadis usia lima tahun itu kalau sudah besar akan mirif ayahnya. Kadang kalau emosi lagi labil dia benci melihat zahra dan ingin saja menyiksa anak itu, tapi anak itu tak berdosa atas segala amarah dihatinya. Yang salah adalah dirinya terbuai bujuk rayu Rudi lelaki brengsek itu. Maka kalau Mitha sedang emosi ia akan segera masuk kekamar dan mengunci pintu atau segera berendam di kamar mandi. Terbukti cara itu cukup berhasil.
Satu-satunya tekad Mitha adalah menjadikan putrinya manusia berharga tidak seperti dirinya, meskipun Zahra tidak punya seorang ayah dan yang paling pahit ketika mitha tidak diakui oleh keluarganya yang pengusaha terhormat karena dia dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya. Ini memang pahit, sebuah aib yang harus ditanggung sendiri dan harus membesarkan Zahra seorang diri.
Jangan tambah dosa untuk yang kedua kalinya, anak itu tak berdosa.” ujar Tina. Malah Tina berjanji akan menolongnya jika Mitha tidak ingin merawat anak yang dilahirkannya. Dia mengusulkan untuk diberikan pada kakak perempuannya yang sudak tujuh tahun tidak dikaruniai anak. Mulanya Mitha setuju tapi setelah Zahra lahir naluri keibuannya tidak rela kalau anak semanis Zahra diberikan pada orang lain, maka ia bertekad untuk merawat sendiri putrinya.
Beruntung ia punya bakat dagang, mungkin warisan dari keluarganya. Ketika subsidi dari keluarganya terhenti, Mitha mulai berdagang pakaian dengan modal yang dimilikinya. Dia membidik pakaian batik dengan bantuan temannya yang berasal dari pekalongan. Sekarang bisnisnya sudah lumayan lancar dan banyak diminati ibu-ibu. Dia sudah punya Boutiqe sendiri dan berencana untuk membuka cabang baru di sebuah mall yang baru dibangun di kota Bogor. Selain itu Mitha aktif disebuah LSM yang mengurusi korban kekerasan pada rumah tangga terutama yang banyak dirugikan oleh ulah laki-laki.
Mitha tidak pernah berniat lagi untuk berumah tangga meski ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatinya dan bersikap baik dengan menawarkan pernikahan, tapi Mitha tak berminat. Dia lebih enjoy jadi single parent karena dia merasa mampu menjadi figur seorang ibu sekaligus ayah untuk Zahra.
Ketika selesai maghrib, Mitha menepati janjinya mengajak Zahra jalan-jalan ke Gramedia baranang siang, kebetulan anak itu lebih suka baca buku ketimbang dibelikan mainan. Mereka berdua turun dari angkot dan mau menyebrang jalan, tiba-tiba...
Ciiiiiiit...... sebuah mobil sedan berwarna metalik hampir saja menabrak Zahra,  Mitha langsung lemas.
Laki-laki disedan itu menurunkan kaca mobilnya. “Heh... kalau mau nyebrang, lihat kanan kiri dong, jangan main selonong aja!” Teriaknya marah.
Mitha melotot merasa dilecehkan, “ Kamu yang hati-hati kalau nyetir mobil sudah tahu lagi padat gini mau coba main seruduk.” Mitha emosi juga.
“Brengsek...! laki-laki itu menepikan mobilnya kepinggir, dia merasa dilecehkan. Lalu dia turun dari mobilnya meski sudah dilarang istrinya.
“Sudah Rud, jangan bikin masalah.”
“Alah.. perempuan itu harus dikasih pelajaran!” Dia membanting pintu mobilnya.
“ Kamu jangan coba-coba bikin masalah dengan saya, ya?” Bentaknya sambil mendekati Mitha.
Mitha terperangah, mendadak dia muak dengan laki-laki didepannya. Dia masih ingat dengan laki-laki yang memarahinya ini.
“ Kamu tidak punya hak untuk menyalahkan aku, Rudi!” Suara Mitha dingin.
Haaah.. Rudi tergagap. Dia tak mengira dengan perempuan yang hampir ditabraknya itu adalah perempuan yang telah dihamilinya.
“Aku tak menyangka kita akan bertemu dengan cara seperti ini. Kau adalah bajingan yang sudah membuat masadepanku hancur!” geram Mitha marah. Setelah itu dia segera menarik Zahra segera berlalu dari hadapan Rudi.
“Mitha....!” teriaknya. Tapi tak digubris.
“Siapa, Rudi?” Tanya istrinya yang turun dari mobil.
Pikiran Rudi jadi kacau, pertemuan dengan Mitha tadi sesuatu yang tak pernah diduga dan anak itu... mendadak hatinya diliputi awan kegelisahan. Dia bisa melihat jelas anak kecil yang disamping Mitha ketika tersorot cahaya mobil. Dia begitu mirif dengan aku, gumanya. Rudi jadi begitu rindu dengan sosok kecil itu, dia begitu lucu dan menggemaskan.
Pernikannya dengan Karina belum dikaruniai anak setelah membangunya hampir tiga tahun, yang ada hanya percekcokan dan persaingan. Rudi merasa didikte. Dulu dia menerima Karina, karena perempuan itu kaya meski dari segi usia dia lebih matang. Saat mereka memulai debut rumah tangganya, Karina sudah mendekati kepala tiga sedang Rudi baru 20 tahun saat itu.
Rudi sudah lama mencari jejak Mitha, ternyata dia ada di Bogor juga. Ahh.. kapan-kapan aku bisa bertemu dengan dia lagi. Rudi melirik Karina di sisinya yang tertidur kelelahan. Rencananya mereka akan kepuncak mengisi libur akhir pekan di villa punya ayah Karina.
****
“Mama yang tadi siapa sih? Kok marah-marah gitu.” Kata Zahra ketika sampai di Gramedia dalam deretan buku cerita anak-anak.
“Mungkin orang gila.” jawab mitha benci.
“Kok jawabnya gitu sih Ma...”
“Stt.... Zahra kalau mau beli buku jangan tanya mecem-macem deh, Mama gak suka.”
Anak itu langsung merengut diam, dan mulai memilih-milih buku yang menarik minatnya. Sedang pikiran Mitha menerawang pada kejadian  tadi, Rudi laki-laki yang telah menghamilinya begitu terkejut melihatnya. Pertama Mitha melihat ada bias keangkuhan disana, tiba-tiba perut Mitha merasa mules. Dan ia sempat melihat wanita yang bersama Rudi, dilihat dari usia memang tak sepadan namun parasnya lumayan manis.
“ Mama....” suara zahra membuyarkan lamunannya, mitha melirik zahra yang memperlihatkan tumpukan buku yang ingin dibelinya. “Lima buku, boleh  kan Ma”.
“ Coba mama lihat,” Mitha meneliti buku yang ingin dibeli putrinya. “Boleh...” Ucap Mitha sambil menuntun putrinya menuju kemeja kasir.
Selesai belanja buku mereka mampir dulu ke Pizza hut untuk makan. Zahra sibuk nyerocos mengomentari bukunya, Mitha menanggapinya dengan sabar kalau ada pertanyaan kritis dia berusaha menerangkannya sebisa mungkin dengan penjelasan yang bisa dimengerti anak-anak sambil menunggu pesanan Pizza. [bersambung]

0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini