Sejak tampil di TV secara tidak sengaja bersama Yoga
dengan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh wartawan, Santi mulai mendapatkan
perhatian dari teman-teman masa SMA dan kuliahnya, terutama mereka yang aktive di
rohis.
Kebanyakan dari mereka tidak setuju. Ya.... santi yang akhwat kok bersuamikan seorang
artis yang lagi diidolakan para remaja. Padahal ikhwan yang soleh juga masih
banyak yang mau pada gadis itu. Santi yang lembut dan disukai adik-adik
angkatnya apalagi kalau sedang mentoring pada adik tingkatnya mengena banget,
kok mau dinikahi cowok begituan meskipun cakep tapi swear dia bukan kriteria
ideal.
Malah
bahaya besar mungkin,
begitulah pandangan ketidak setujuan teman-temanya.
Mungkin dunia telah mengodanya. MasyaAllah. Santi
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul lewat dering telpon,
Hp, maupun email. Dia berusaha untuk bersikap bijaksana dan tabah.
Mungkin ini sudah jodoh, karena apapun yang yang terjadi
kita tidak dapat mengelak dari takdirnya. Ini bagian dari jihad saya, ukhti.
Sebagaimana Asiah yang bersuamikan fir’aun tapi mungkin hidayah belum hinggap
dihatinya, dan saya berharap suatu saat dia menjadi ikhwan yang baik dan
sholeh. Sebuah jawaban sebagai penguat hatinya yang kadang diterpa bimbang
karena dia juga manusia biasa yang pernah berharap seperti para akhwat lainya
punya impian mendapat suami yang sholeh namun tak semua impian mewujud kenyataan.
Ah... wanita itu begitu rindu sentuhan embun syurga yang
bisa menyemangatinya, menjadi aliran air yang bisa mendongkrak keresahan
dijiwanya. Tausiyyah dari
sahabat-sahabatnya yang selalu memberi warning dikala jeda dalam keadaan iman
lagi menurun, tapi kini.... Santi tergagap. Dia sekarang jarang ikut pengajian,
halaqah,
mabit sudah jarang di
lakukan. Mungkin inilah sebagian yang membuat
jiwanya gersang. Kenapa tidak menghidupkannya lagi?
Dulu dia berharap dikala imannya lagi menurun bakal ada
suami yang menyemangatinya. Seorang suami yang bisa diajaknya berjuang
merengkuh cintanya. Tapi sekarang.... kenyataan tak selalu sama dengan harapan
maka jalanilah kenyataan seperti air yang mengalir asal masih dalam rael yang diridhoinya.
Yoga semakin larut dalam dunia musiknya. Untuk mengobati
kesedihannya Santi menyibukan diri dengan menulis, sebagai proses dakwah dari
imajinasi kreatifnya. Bukankan menyampaikan kebenaran dengan pena pun bagian
dari dakwah juga. Santi merasa senang karena tulisannya kini banyak disukai
oleh pembaca.
Kabar tidak sedap muncul, dia membaca dari tabloid yang
dibelinya dari loper koran, kalau yoga ada hubungan dengan model yang mengisi
vidoklipnya. Santi ketinggalan berita karena dia jarang menonton tv dirumahnya
kecuali untuk acara berita saja, gosip para selebritis jarang sekali
dilihatnya.
Ketika seorang wartawan menanyainya saat dia pulang Work Shop kepenulisan diDepok.
“Bagaimana pendapat anda tentang hubungan suami anda
dengan model vidioklipnya?”
“ Saya tidak akan begitu saja percaya pada berita yang
simpang siur dan belum tentu kebenarannya.”
“ Tapi banyak orang yang telah memergokinya.”
“ Soal itu seharusnya bukan ditanyakan pada saya, tapi
pada orang yang bersangkutan.”
“ Bagaimana perasaan anda kalau berita ini benar?”
“Setiap problema pasti pasti ada solusinya, jadi selama
bisa dihadapi dengan kepala dingin kita bisa menyelesaikan secara baik-baik.”
“Anda tidak cemburu..?”
“Maaf, ini.
Masalah pribadi dan gosip-gosip seperti ini tidak
pantas jadi konsumsi publik, biar kami berdua menyelesaikannya sendiri.” Santi
segera mencegat taksi yang lewat dan sempat pamit pada wartawan itu.
Letih, itu perasaan yang dihinggapinya kini. Diapun ikut-ikutan jadi konsumsi publik, kemana-mana
jadi pusat perhatian dan jadi incaran wartawan. Betapa indahnya jadi orang
biasa-biasa saja.
Bu subroto tak urung menanyainya ingin memastikan
kebenaran gosip Yoga, rupanya berita sudah sampai ke keluarga itu. Ingin saja
Santi berkata, ‘ Perlu Ibu tahu, saya ini cuma istri pajangan saja
tak pernah dianggap ada dan saya benar-benar tersiksa, Bu. Tapi saya tak berdaya.’
“Ti, ibu ingin dengar sebenarnya apa yang terjadi
dirumahtangga kalian?
“Tidak ada apa-apa Bu,” Santi berusaha menutupi apa yang
telah terjadi. “Tapi saya tidak tahu dengan apa yang terjadi diluar sana.” Tambahnya.
“ Ya sudah.
Nanti Ibu akan bicara
dengan Yoga. Maaf
ya,
ibu sudah ganggu.”
“Ah... tidak apa-apa kok Bu.” Jawab Santi pelan.
Ketika
pembicaraan selesai santi menyandarkan tubuhnya kedinding ada bening kaca
dimatanya,
mendadak dia begitu
lemah.
Andai
bisa ingin saja seperti burung yang bebas merambahi ngarai kehidupan.
Hidup
dalam istana yang pondasinya rapuh, mungkin sebentar lagi rubuh karena
pilar-pilanya sudah keropos dimakan rayap. Suara adzan asyar yang mengalun
indah menembus kisi-kisi hatinya untuk segera melaksanakan perintahnya. Santi
segera beranjak menuju tempat wudhu.
****
“Kamu
pasti sudah ngadu pada ibu, sehingga dia mengintrogasi hubunganku dengan novel.”
tuduh Yoga.
“Aku
tidak harus ngomong ngaler-ngidul pada Ibu, karena media sudah ramai
membicarakannya.”
“Jadi
kamu percaya dengan gosip itu?” Yoga menarik tangan Santi kasar, tapi Santi
segera menepisnya.
“Media
tidak asal mengeluarkan berita kalau tidak ada bukti.”
“Perempuan
brengsek, sudah ku urus
dengan baik-baik tapi kau malah termakan gosip murahan seperti itu.”
“Mas
Yoga aku hanya minta kejujuranmu saja, terus terang aku letih disiksa dalam
rumah tangga seperti ini.
Sebab
percuma kita bersatupun
jika tak pernah ada keharmonisan. Kesabaranku telah menipis jika terus-menerus
didustai.” Mata Santi berkaca.
Yoga
tersenyum sinis.
”Jadi
selama ini,
kamu sudah merasa cukup sabar?”
Santi diam, tapi ia segera berlalu dari hadapan
Yoga sebab percuma memperpanjang persoalan, hanya akan berakhir dalam emosi
yang labil.
Yoga
mengacak rambutnya, ucapan Papa terngiang kembali ditelinganya.
“Papa
sengaja memilihkan istri seperti ini,” papa memperlihatkan gadis berkerudung, “
Agar kau bisa belajar menjadi lelaki sejati karena cinta itu ibarat menanam
sebuah bunga.
Jika kamu merawatnya dengan
baik
dan rajin menyiramnya maka suatu saat akan menghasilkan bunga
yang sedap dipandang dan menghasilkan harum yang semerbak.”
“Tapi
saya sudah...”
“Ingat
Yoga ,kamu harus nurut kata-kata Papa,
kalau ingin masa depanmu cemerlang karena restu orangtua.”
Uhh...
papa, Yoga benar-benar sebal tapi terpaksa menerima tawaran Papa menikah dengan
Santi sebab dalam sisi badungnya ia juga masih punya rasa cinta pada orang tua.
Yoga
menjambak rambutnya kesal, pernikahan hanya bikin repot saja, batinnya. Coba kalu kayak dulu kemanapun
bebas, orang mau mengkritik terserah dan ia bebas berpacaran dengan lusinan
gadis cantik seperi ganti baju saja layaknya. Tapi sekarang, wuih, ribet. Ada norma-norma yang ngak boleh
dilanggar biar tidak ada hati yang
terluka. TV
akan ramai membicarakannya, ibu dan ayah akan
marah besar serta Santi.... Yoga mulai dihinggapi rasa lelah dan kesal.
Dia
segera masuk kekamarnya dan mengunci pintunya. Capek juga setelah bulan-bulan
ini melakukan konser musik, tour kedaerah-daerah. Perhatiannya benar-benar
tersedot untuk musik.
****
Buku
Santi bestseller yang berjudul ‘kasih
dalam penantian’ jadi sorotan publik dan ramai diperbincangkan, mereka para
pembaca lebih banyak menyangkut pautkan
dengan rumahtangganya yang mulai goncang disaat pernikahan mereka yang menginjak
Satu tahun.
Banyak
kepedihan yang tersimpan dalam buku itu, seperti kisah nyata yang terselip
dalam novel itu tentang slide hidupnya.
“Kamu
sudah baca isi novel itu Ga?” Tanya Sandi penuh perhatian, mereka sebal juga
jadi konsumsi publik. Yah.... inilah konsekuensi jadi publik figur selalu jadi
sorotan. Orang-orang terlalu usil sampai ingin mengetahui masalah yang
sensitif, capek sebenarnya tapi materi dunia itu menjanjikan.
“Belum...”
“Yah
kamu, istri seorang penulis aja sampai ngak tahu. Seharunya kamu bangga. Istri
penulis dan suami penyanyi itu perpaduan yang unik dan dia bisa diajak
kerjasama untuk menciptakan lagu.”
“Gue
merasa menikahi perempuan itu hanya bikin hidup gue sial dan jadi konsumsi
publik.”
“Ga,
loe itu harusnya stabil. Harusnya loe bangga ada perempuan kayak gitu berani
ngadepin tantangan buat ngedampingi hidup loe.”
“Tantangan,
maksud loe?”
“Jarang
ada perempuan kayak gitu yang mau menikah dengan laki-laki kayak loe. Dunia dia
dan dunia loe itu berbeda dan yang pasti dia harus banyak mempertimbangkan
ketika dia mau kawin sama loe, termasuk perasaan.”
“Loe
bukanya nolongin gue, San.”
“Loe
tuh egois Ga, padahal apa yang kurang dari dia, cantik, alim, penulis lagi. Tinggal loe menerima dia, seperti dia memahami dan menerima
loe apa adanya.”
“Kok
loe malah nasehatin gue.” Yoga benar-benar marah.
“Ya,
sudah kalau loe ngak mau dikasih solusi sama gue.” Sandi malas berdebat tapi
dia menyodorkan novel yang baru dibelinya karena penasaran kenapa sampai ramai
diperbincangkan.
“Loe
baca, emosi gue sampai tergugah ketika baca novel ini. Tak sadar gue nangis,
tentang kesabaran seorang istri yang disia-siakan suaminya dan ending dari
novel itu ada sebuah penyesalan yang besar dari suaminya ketika Tania meninggal
karena kangker rahim, gue ikut terlarut dan seperti ikut menyelam dalam novel
ini.” Ujar sandi. “Perempuan tidak hanya butuh materi semata,Ga. Tapi juga
butuh kasih sayang.” Tambahnya.
“Tapikan
novel ini Cuma hasil imajinasi, kalau istriku berhasil itu karena kepiawaiannya
dia mengaduk emosi pembaca.”
“Mungkin
secara eksplisit dia menyampaikan pesan-pesan moral yang harus dipikirkan oleh
para suami bahwa kekerasan bukan solusi.”
Yoga
mulai tertarik untuk segera membaca novel itu. Kata demi kata dia telusuri tak
mau ada satu kata pun yang terlewat. Perjodohan orang tua, hm... hampir mirip
dengan kisah hidupnya. Kesabaran Tania.... dan kisah itu hampir mirip dengan
kisah yang dijalaninya bersama Santi.
Apa
maksud wanita itu, menulis novel setebal 200 halaman, apakah dia ingin
memberikan informasi pada publik bahwa rumah tangganya tak bahagia. Uh... Yoga
mulai emosi tapi dia harus menuntaskan isi novel ini sampai selesai, meskipun
jujur ada rasa sedih menelusup ruang hatinya ketika membaca novel ini tak sadar
dia pun mengusap air matanya,. Terlalu cengeng untuk menangisi sebuah cerita
rekaan padahal
dia laki-laki. Ada sisi ruang hatinya yang tersentuh. Ahh... dia merasa lungkrah tidak
bisa menyelami hati Santi terlalu jauh. Dalam diri wanita itu ada bakat yang
terpendam dan sangat berharga bila di gali. Haruskah dia bangga?
****
“Maksud
kamu sebenarnya apa menulis novel ini? .Yoga datang marah-marah dia melempar
buku itu kemuka Santi dengan kasar.
“Astagfirullah,”
ucap Santi
“Kamu
sengaja ingin memberitahukan pada orang-orang kalau rumah tangga kita itu
didalamnya rapuh dan sebentar lagi akan hancur.” Tuduh Yoga kejam.
“
Mas Yoga novel itu hanya rekaan, dan itu dibuat untuk kado temanku yang mau
menikah. Mas Yoga sudah baca kan halaman depannya dipersembahkan untuk siapa?”
“Alah...
kamu jangan mencoba berkelit dari aku, kenapa kamu tidak tulis cerita yang
romantis sebagai kado untuk temanmu itu?”
“
Mas Yoga, saya sama sekali tidak punya niat membuka aib dikeluarga kita, karena pernikahan tak pantas untuk
dinodai. Saya menulis cerita itu karena saya menginginkannya.”
“Tapi
kamu lihat hasilnya, mereka mengangap cerita itu nyata.”
“Itu
karena mereka haus akan informasi mas Yoga sebagai publik figur sehingga
hal-hal sepelepun dibesar-besarkan. Padahal...”
Yoga
kalap, dia mendamprat muka Santi keras. Santi terhuyung bibirnya pecah
berdarah.
“
Kamu hanya bikin sial seluruh hidupku.”
“
kalu begitu kenapa tidak ceraikan saja aku?” Seperti ada keberanian Santi
menantang mata Yoga padahal hatinya porak-poranda.
“Cerai!
Jadi itu yang kamu inginkan, baik besok kita uruskan karena aku bosan hidup
bersamamu.”
Santi
segera bangkit berlari kekamarnya, menangis terisak-isak pedih nian kenyataan
ini, padahal ini adalah hari ulangtahun pernikahannya. Tapi yang terjadi hanya percekcokan.
Santi dihinggapi rasa suram tentang masa depan rumahtangganya.
Santi
memasuk-masukan pakaianya ke kopernya lalu ia keluar, dia harus pergi dari
rumah neraka ini. Ketika melewati Yoga, Yoga segera mencegatnya.
“Mau
kemana kamu?”
“Pergi
dari sini.” Ucap Santi datar.
“Tidak
bisa.”
“Kenapa?”
“Karena
kamu masih menjadi miliku.” Yoga segera merebut koper Santi.
“
Bukankah kamu menginginkan aku pergi dari rumah ini? Percuma hidup disini pun, aku hanya jadi patung hidup dan
kamu bebas memperlakukanku sesuka hatimu. Kalau aku tak punya perasaan mudah
saja bagiku untuk menghancurkan karier mu dan penjara sebagai hukumanya karena
telah melakukan penyiksaan terhadapku diluar batas! Tapi aku masih punya perasaan
meskipun pernikahan ini penuh kekasaran dan dusta.” Ujar Santi dengan air mata
yang mengalir deras.
Yoga
terperanggah, banyak hal yang tak bisa diselami Yoga dari diri Santi, mungkin
perempuan itu terlalu sabar namun ia juga punya hak untuk berontak dan melawan.
“Maafkan
aku, aku memang mudah emosi tapi kamu jangan membuat semuanya tambah hancur.”
“Maaf… semudah itukah kamu mengucap kata
maaf setelah beberapa kali melakukan kesalahan yang sama. Aku punya kesabaran
yang terbatas dan tidak siap menyelami duniamu karena hanya akan terjerumus
pada lubang yang lebih dalam.
Perlu kamu ktahui aku tak selemah yang kamu duga. Jika terus di perlakukan
seperti ini aku akan melawannya melalui pengadilan!”
ujarnya tegas.
“Santi...”
Yoga segera menarik tangan istrinya. “Aku
tidak ingin ayah dan ibu sedih karena kejadian ini dan publik semakin ramai
memperbincangkan kita.”
Santi
menepisnya dengan kasar.
”Lebih
baik jujur meskipun itu pahit. Jika rumah tangga kita sudah tidak dapat
disatukan lagi, bukankah kebebasan yang kamu inginkan? Dan kamu bisa bebas
pacaran dengan siapapun.” Sergah Santi dingin.
“Kamu
adalah istriku dan kamu harus hargai aku.”
“Apa
pernah kamu juga menghargai aku?”
Hening
sesaat diantara mereka.
Santi sibuk menghapus air matanya.
“Jikapun
kita akan cerai aku hanya ingin dilakukan dengan baik-baik tidak dengan emosi. Karena saat melamar kamu pun dilakukan dengan baik-baik.
Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku tidak ingin kamu pergi membawa emosi.” Kata Yoga pelan.
Santi pun pergi kekamarnya meninggalkan
Yoga yang kini diam terpekur. [bersambung]
****
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini