Santi
dan Yoga hari ini pergi kerumah orang tuanya
dan orang tua Yoga yang masih sama di Ciputat tapi kampung mereka saling
berjauhan.
Mereka akan bilang pada
orang tua tentang kisah cinta mereka yang tak bisa di satukan lagi dan
penceraian sebagai solusi rumah tangga mereka.
Mereka
tidak mau orang tauanya tahu dari media ketika sudah tak bersama lagi.
Mobil
melaju meninggalkan bogor, Santi tiba-tiba merasa mual dan ingin muntah...
Huek..huek...
rasa mual santi sudah tak tertahankan lagi, dia muntah dimobil dan kepalanya
mendadak pening.
Dan
huek... dia muntah lagi.
“Kamu
pasti masuk angin.” Yoga menepikan mobilnya kepinggir, lalu menyodorkan kayu
putih dan air mineral.
“Aku
benar-benar mual.” Santi meringis karena ingin muntah lagi.
“Kita
kerumah sakit saja dulu.”
“Nggak
usah.” tolak Santi
Merekapun
berhenti dulu menunggu Santi sembuh dari rasa mualnya dan Yoga mengajak Santi
untuk turun dulu, masuk kesebuah restoran. Setelah dirasa mual Santi reda,
perjalanan dilanjutkan lagi.
CIPUTAT...
Diruang
keluarga, rumah pak Subroto.
Bu
Subroto dan pak Subroto ada disana kecuali Hardian, cowok itu ada kegiatan
mabit di kampusnya.
“Bu,
pak sebenarnya kami datang kemari... “
Yoga memulai percakapan. “Maksud kedatangan kami, ingin memberitahukan
bahwa kami akan cerai.”
“Apa?!”
Pak Subroto kaget begitupun dengan Bu Subroto.
“Kenapa?”
Tanya bu Subroto.
“Kami
sudah tidak ada kecocokan lagi.” Santi yang bicara.
“Ini
pasti gara-gara kamu yang tidak bisa membahagiakan Santi.” Tuduh Pak Subroto
pada Yoga.
“Kamu
juga tidak bisa menghargai perasaan istrimu, malah pacaran dengan perempuan
lain.” Bu Subroto ikut bicara.
“Tapi
semua ini kan gara-gara ayah yang memaksa saya dengan perempuan yang tidak saya
kenal sebelumnya, dan terus terang saya tidak bisa mencintainya.” Ujar Yoga menumpahkan segala unek-uneknya.
“Jadi
persoalannya hanya karena tidak mencintai?”
“Ya...
jawab Yoga.”
“
Sungguh aneh, padahal apa yang kurang dari istrimu. Hanya dia tidak seksi, genit dan
tidak berpakaian yang memamerkan tubuhnya. Apakah itu perempuan yang kamu mau?”
Protes ayah.
“Ini
persoalan
hati yah.” Ucap Yoga pelan.
“Ya,
sudah dari pada kamu sudah tidak bisa diatur lagi. Lakukan saja sekehendak hatimu.” Ujar pak Subroto marah, dia segera bangkit
meninggalkan ruang keluarga.
Bu
Subroto mengusap dada. “ Ga, apakah tidak bisa dipikirkan lagi?”
Yoga
menggeleng. “Dunia saya dan Santi terlalu sulit untuk disatukan.”
“
Karena kamu tidak mau berusaha untuk mengubah sikap kamu. Ibu sebenarnya sudah
senang punya mantu seperti Santi tapi terserah kalian lah. Pernikahan tidak
bisa disatukan jika terlalu banyak perbedaan yang mencolok, meski jika mau
berusaha masih bisa di atasi.”
“Jadi ibu setuju kami cerai?” Ucap
Yoga.
“Kalau
perlu dipikirkan lagi jangan terburu-buru dan kalaupun itu terjadi ibu minta
cerainya talak satu saja, siapa tahu setelah berpisah kamu menyadari kalau
Santi bukan sekedar pilihan ayah tapi pilihan kamu sendiri.”
“Akan
saya pertimbangkan, Bu.” Jawab Yoga.
“
Dan Santi jika cerai itu terjadi, ibu berharap kamu tidak melupakan kami
disini. Sering-seringlah datang kemari karena kamu sudah ibu anggap anak
sendiri.”
IinsyaAllah
Bu.” Jawab Santi. Sebenarnya ia sangat
sayang pada mertuanya yang baik dan perhatian. Kalau saja Yoga suami yang baik
dan mengayomi.
****
Perceraipun
akhirnya terjadi. Karena
tidak ada yang bisa di perbaiki lagi dengan rumah tangganya.
Papa
Santi paling shock menerima hal ini, tapikan yang berkuasa dalam talak adalah
laki-laki. Sebagai orangtua ia merasa sedih dengan kegagalan rumah tangga
anaknya, mungkin ini salah dirinya yang terlalu otoriter pada anaknya termasuk
dalam masalah jodoh dia yang harus menentukan.
Kedua
putrinya gagal dalam menikah, ada sesuatu yang menyentuh hatinya.
“Santi, saya minta maaf atas semua
sikap kasar saya yang pernah dilakukan terhadap kamu. Saya berharap kamu mendapat jodoh
yang lebih baik.” Ujar Yoga sebelum pamit.
“Insya Allah saya akan memafkan.”
ujar Santi dengan mata berkaca. Mengantarkan Yoga sampai teras, setelah Yoga
pergi Santi berbalik dan menangis dipangkuan Mama.
Mama
mengusap-usap bahu Santi lembut.
“
Sabar anakku, setiap ujian akan dibalas dengan balasan yang lebih baik.”
nasehat mama. Mata papa ikut
berkaca, penyesalan memang selalu datang diakhir waktu.
“Maafkan
Papa,
nak.”
“Sudahlah
Pa, biarlah yang sudah terjadi segera berlalu.” Santi berusaha tabah mengobati
hatinya yang luka.
Hari
terus bergulir, Santi tidak mau larut dalam kesedihan, dia mengunjungi
teman-temannya dan juga Mitha. Mitha sangat terkejut saat Santi berkunjung
kerumahnya.
“Aku
sama sekali ngak nyangka kalau kamu istri seorang penyayi, sungguh kaget ketika
aku melihat kamu tampil ti TV saat itu”
“Sekarang
semuanya sudah berakhir Mit...”
“Maksudnya?”
“Kami
sudah bercerai, karena diantara kita sudah tidak ada kecocokan lagi.”
“Kok
bisa sih San?
Aku pikir rumah tangga kamu bahagia. Tapi aku baru sadar waktu kita
direstoran saat kita jumpa dulu, wajah kamu begitu pucat dan aku tahu kenapa
penyebabnya karena laki-laki yang duduk tak jauh dari kita makan itu adalah
suamimu. Kenapa sih kamu sampai bisa menikah sama dia?”
“Dipaksa
Papa.”
“What? Di zaman modern seperti ini kamu masih mengalami nasib seperti Siti nurbaya.”
“Karena
aku melakukannya demi mengejar restu orang tua. Tapi aku menyadari restu juga tanpa
pondasi iman yang seimbang akan rapuh karena yang Maha pembola-balik hati
manusia adalah Allah.”
“Syukurlah
kamu bisa lepas dari laki-laki seperti dia, sungguh aku juga nggak setuju kamu menikah dengan
laki-laki seperti itu. Gaya hidup laki-laki seperti dia akan awur-awuran,
cenderung bebas, hedonis.
Ya..
namanya juga selebritis.”
“Mama...”
tiba-tiba zahra muncul.
“Anak
mu?” ujar Santi.
“Ya,
zahra sini Mama kenalin sama temen Mama. Ini namanya tante Santi, ayo kasih
salam sama dia.” Zahra pun menuruti perintah Mitha
“Putrimu sangat manis.”
“Zahra ayo main lagi, sana.”
“Tapi listrikya padam Ma, jadi Zahra ngak bisa main game.”
“Ya sudah zahra main apa saja didalam.” Zahra pun segera
berlalu.
“Kamu beruntung San, ngak punya anak. Sedang aku .. udah
ditinggal lari, diusir orang tua, aku juga harus membesarkan Zahra sekaligus
menjadi ayah bagi dia.”
“Kamu tidak punya niat menikah lagi,Mith?”
“Untuk sekarang mugkin tidak, tapi jika suatu saat ada
laki-laki yang baik aku ingin menikah
lagi.”
“Aku
doain semoga kamu mendapat jodoh yang baik.”
“Amien..
sekarang untuk mengisi kesendirianmu apa saja yang dilakukan San?”
“Masih
aktif menulis dan rencana yang terpikir aku ingin terjun kedunia pendidikan.”
“Memangnya
jurusan kulihmu dulu apa?”
“FMIPA,
kalu bisa aku ingin mengajar didaerah saja, hitung-hitung menghilangkan stres,
hidup dikota boring juga.”
“Bagus
deh, aku setuju banget.
Tadinya
aku ingin ngajak kamu gabung dalam bisnis pakaian batik.”
“Kakakku
juga mengajak aku gabung dalam Wedding Organizer yang dia kelola.”
“Maksudnya
mbak Sarah? Aku kangen banget sama dia, bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah
baik, sekali-kali main dong mit, ke Jakarta.”
“Ya,
deh jika ada waktu luang.
Eh
airnya diminum dulu San...”
“Terimakasih.”
Ngobrol ngaler ngidul bikin haus juga. Santi minum orange juice dingin yang
disuguhkan Mitha. Udara diluar terasa menyengat sekali apalagi rumah Mitha
tidak ada pohon-pohon besar bikin udara tambah panas. Padahal ini kota hujan.
****
Baru
saja dua minggu cerai dari Santi, Yoga sudah dikabarkan pacaran dengan Isnia
seorang artis pendatang baru.
Cowok
itu mulai terbuka mengakui hubunganya dengan Isnia tidak seperti dengan noval
yang banyak menghindar dari kejaran wartawan.
“Gue
sekarang udah bebas dan mau pacaran dengan siapapun itu hak gue.”
“Maksud
anda bebas itu, anda telah cerai dari istri anda?”
“Ya.”
“kapan
itu?”
“
Dua minggu yang lalu tapi gue cerai tidak secara hukum di KUA terlalu lama dan
memakan waktu, jadi gue memilih yang singkat saja karena itu juga sudah sah.”
“
Tapi kan secara hukum status anda masih menikah dengan istri anda dan masih
tercatat di catatan sipil.”
“Itu
soal gampang, jika saya mau kapanpun dapat saya lakukan, tapi bukan sekarang.”
Santi
yang menyimak berita itu bisa menyimpulkan kalau Yoga laki-laki yang benar-benar tidak menghargai lembaga
pernikahan.
Kebebasan
sudah menjadi dewa dihatinya, dilihat dari cara bicaranya yang tanpa
pertimbangan mungkin hasil produksi barat.
Isnia
yang ditanyai, bagaimana pendapatnya tentang Yoga.
“
Mas Yoga baik dan nyambung bila diajak bicara dan saya sangat suka mendengarkan
lagunya, mungkin saya tersemasuk fans panatiknya.” Ujar Isnia dengan wajah
berbinar senang sambil melirik Yoga mesra.
Perasaan
santi ingin muntah melihat adegan itu dan tiba-tiba perutnya merasa mual, dia
segera mematikan TV. Huek... Santi segera lari ke kamar mandi dan muntah-
muntah, tubuhnya tersasa lemas.
“Kenapa San?” Tanya mama.
“Aku
mual, ma”. Wajah Santi pias. Baru saja bicara dengan ibunya dia sudah muntah
lagi.
Huek.....huek......
“Jangan-jangan
kamu...?” Mama tak meneruskan kata-katanya.
“Apa
Ma?”
“Hamil.”
“Nggak
mungkin Ma, aku rasa ini cuma masuk angin.” kelit Santi, tapi efek dari mual
itu belum juga hilang. Santi tak bisa mengelak ketika mama memaksanya untuk
kedokter dengan ditemani mama.
“Ibu
sudah melakukan tes urine?” tanya dokter Riani
“Maksud
dokter?”
“Selamat
ya,
ibu positif hamil.”
“Hamil?
Santi terperangah, dia lemas juga mendengar penjelasan dokter Riani.
“Ini
pasti kehamilan ibu yang pertama, suami anda pasti bahagia.”
“Terimakasih
dokter, alhamdulillah saya bahagia.” Santi berusaha menutupi rasa gundahnya.
Mama
kelihatan yang paling sedih ketika mendengar Santi hamil.
“Sudahlah
Ma, Santi akan merawat amanah yang telah Allah berikan ini.”
“Gimana
dengan Yoga?”
“Santi
tak akan pernah memberitahu dia, biar Santi sendiri yang akan membesarkannya.” tekadnya
sudah mantap.
Entah
kenapa setelah melihat Yoga pacaran lagi, Santi begitu benci. Dia tidak rela anaknya mempunyai
seorang ayah seperti Yoga.
“Kalau
begitu papa harus segera telepon Pak Subroto meminta Yoga harus tanggung jawab.”
Santi
menggeleng.
“Kalau
papa sayang Santi. Santi harap papa tidak memberitahu kehamilan ini.”
“Kenapa?
Dan bagaimana dengan tuduhan pada kamu yang hamil tanpa suami?”
“Kalau
bisa Santi akan pergi dari sini, mengasingkan diri sambil membesarkan kandungan
ini, dengan kandungan yang semakin besar Santi akan bilang kalau Suami Santi
sedang sekolah keluar negri.”
“Kenapa
kamu harus membohongi diri, San?”
“Karena
memberitahukan hal ini pada Yoga berarti memberikakan harapan untuk kembali
bersatu meskipun itu terpaksa, sementara Santi sudah tidak kuat untuk bersatu dengan Yoga yang kasar.”
Papa
pun mengalah demi keinginan anaknya.
Ketika
mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara ramai diluar rumahnya
dan mang Karmin
tukang kebun terpogoh-pogoh
masuk kedalam memberitahukan kalau ada wartawan diluar.
“Wartawan?”
Mama kaget, ada apalagi dengan para kuli
tinta itu mereka hanya mengusik ketenangan orang saja.
“Biar
papa temani, agar mereka tidak bertanya macam-macam padamu.” Papa
mempersilahkan para wartawan yang terdiri dari lima orang. Dua dari majalah,
satu dari tabloid dan dua ladi dari stasiun TV swasta lengkap dengan kameranya.
Pertanyaan
pun mengalir dari para kuli disket itu, santi menjawab dengan seperlunya.
Baginya mereka tak perlu tahu apa yang menimpanya dan sekali-kali papa membantu
menjawab.
“Sudah
tidak ada kecocokan lagi.” itulah
jawaban yang paling tepat saat ini.
“Apakah
bukan karena orang ketiga, seperti yang diberitakan.”
“Itu
hanya faktor kecil dan masih bisa kami atasi. Tapi hal utama
yang menyebabkan kami bercerai hanya karena banyak perbedaan saja.”
“Karena
dia seorang penyanyi yang banyak diidolakan remaja yang umumnya wanita?”
Untuk
menjawab hal ini Santi harus jujur meski sulit, kalau dia tidak suka dengan
frofesi Yoga sebagai penyanyi serta kehidupannya yang bebas. Tapi Santi tak menyebutkan Sikap
Yoga yang kasar dan tidak menghargai pernikahan.
Ketika
para wartawan itu pulang, santi merasa lega.
“Santi
capek
jadi kejaran para wartawan, lebih bahagia menjadi orang biasa seperti dulu
tanpa ada yang mengganggu. Kalau bisa Santi ingin secepatnya pergi dari sini. Santi ingin tenang, Pa.”
“Boleh,
Papa ijinkan. Nanti papa hubungi adik papa, Paman Hendra agar kamu tinggal didesanya.
Disana kamu bisa sekalian mengajar dan menulis.”
Santi
merasa lega, papa akhi-akhir ini sangat perhatian sekali padanya, mudah-mudahan
saja selamanya, amien.
****
Haris
terbengong didepan komputernya, rancangan interior yang dia kerjakan bersama
teman-temannya sudah jadi. Dia dan teman-temannya berusaha menciptakan
konsultasi eigeenering secara mandiri dan proyek
yang sudah dibangun satu tahun ini mulai lancar, klien berdatangan. Kini proyek
yang sedang ditanganinya sebuah mall dikawasan kota bogor.
“Har,
kamu sudah baca belum kisah tentang Santi Wijaya yang cerai dengan suaminya
yang penyanyi itu?” Ujar Rianto membuyarkan lamunan haris.
“Ap...apa,
Santi bercerai? Terus kenapa dengan dia?” Haris seperti tidak tertarik.
“Bukankah
kamu dulu sangat mengidolakan sosok muslimah itu?”
Haris
tersenyum dingin.
“Ya,
itu dulu saat virus dunia belum banyak mengotorinya, tapi sekarang dia tak lebih
sebagai perempuan matrealistis.” Ada
nada-nada sumbang dalam kata-kata Haris. Wajar saja karena Haris pernah
mengharapkan wanita itu dan ia kecewa ketika lamarannya yang baik ditolak
dengan alasan karena ayahnya tidak setuju. Haris kecewa saat itu, dia
belum menjadi ikhwan yang sempurna saat itu. Dia berubah karena ingin dekat dengan Santi
yang cukup familiar di LDK
dan Forum Jurnalistik.
Tapi sungguh aneh ketegasan wanita itu runtuh ketika ia dihadapkan dengan
persoalan yang terlalu agung untuk dibangun. Mungkin Yoga tampan dan kaya.
“Kamu masih kecewa?”
“Entahlah,
tapi aku sama sekali tidak berminat mendekati wanita bekas orang lain.”
“Kok
sinis
gitu sih.
Aku
kan nggak menyodorkan Santi untuk dinikahi
kamu. Cuma aku sedikit tahu dari Rima yang menikah dengan dr. Amri itu, kalau
Santi cukup tersiksa menikah dengan Yoga. Dia hanya tidak bisa melawan
kediktatoran ayahnya.”
Hm...
Haris
memandang keluar jendela memperhatikan kepadatan jalan raya yang macet.
Sampah-sampah mobil yang memadati jalan, tahun 2020 mungkin lebih dahsyat
dari ini karena sekarang saja manusia sudah berlomba untuk tampil mewah dengan
mobil keluaran terbaru yang selalu habis terjual di Show Room mobil.
“Terus
apa yang membuat dia bercerai?”
“
Katanya sudah tidak ada kecocokan lagi, kamu sudah baca kan isi novel yang
ditulis Santi yang menjadi pusat pembicaraan sebulan kebelakang.”
“Isi
novel kan hanya rekaan saja, dia punya hak untuk mengarang sesuai imajinasi
yang dia mau.”
“Tapi
bisa saja secara tersirat
dia menceritakan ketidakbahagiaan pernikahannya lewat fiksi. Kebanyakan penulis seperti itu.”
“Sudahlah
aku tak tertarik.” Haris kembali meneruskan pekerjaanya.
Haris
dan Rianto dulu satu angkatan di fakultasnya dengan Santi hanya mereka beda
jurusan. Haris dan Rianto di arsitek sedangkan Santi di FMIFA tapi mereka
sering bertemu dikegiatan kampus.
Rianto
pun tak berminat melanjutkan percakapan.
****
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini