Subscribe Us

Cinta di Atas Bara >> 5

Amir mengepalkan tangannya. Sejak mendengar Umi Aisyah masuk rumah sakit, ingin sekali ia memukul Sayid simanusia tak berguna itu. Dia lebih memilih perempuan nggak jelas dibanding ibu yang sudah bertarung dengan nyawa dan membesarkannya dengan penuh cinta. Kadang tak habis pikir dia manusia atau bukan? Semua Ibu yang waras di dunia tak akan rela melihat anaknya menikah dengan orang yang berbeda akidah.
Hati Amir sangat miris menatap wanita yang sangat dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Umi Aisyah meskipun bukan ibu kandungnya, tapi dari tubuh rapuh itu Amir merasakan kasih sayang yang berlimpah. Membersamai Amir dan Sayid tumbuh bersama dengan pengasuhan terbaik. Karena Ibu Amir sudah meninggal setelah melahirkannya. Jika Sayyid ada dihadapannya ingin saja ia memukulinya sampai babak belur. Hanya laki-laki sampah yang lebih memilih wanita belum jelas jadi jodohnya dibandingkan Ibunya sendiri. Bukankah Alqomah sahabat Rasulullah pun tidak mampu mengucap kalimat thoyibah diakhir hayatnya hanya karena terlalu mencintai istrinya. Anak laki-laki adalah milik ibunya maka perlakuan terhadap ibu harus lebih diutamakan.
"Kenapa anak itu melukai umi, Amir? Sedangkan kamu yang tidak terlahir dari rahim umi memperlakukan umi dengan baik." ujar Umi Aisyah perih.
"Ini ujian umi, meski rasanya menyakitkan kita harus menerima apa yang sudah Allah gariskan. Dia sudah dewasa, tanggung jawab umi dalam mendidiknya sudah selesai. Ketika Sayyid memilih jalan lain berarti sudah siap mempertanggung jawabkan semuanya. Umi harus sehat, karena masih banyak umat yang membutuhkan bimbingan umi." ujar Amir lembut sambil mengusap tangan Umi lembut.
"Tapi umi rasanya belum rela. Apa yang dilakukan Sayid pada keluarga teramat sangat menyakitkan."  ujar Umi dengan mata berkaca.
Melihat umi menangis, Amir merasa terluka. Jika wanita mulia ini, seperti Ibunya Malim Kundang, mungkin anak durhaka itu sudah dikutuk jadi batu. Seorang Ibu yang membagi apapun untuk anaknya, meskipun disaat sakit atau letih meraja, tapi inikah balasannya. Seorang Ibu yang selalu menangis ditiap sujudnya, hanya semata meminta anaknya tetap dijalan kebaikan  inikah balasan yang diterima. Bahkan sang Ibu menangis dalam sujud malamnya, meminta yang terbaik buat masa depan anaknya. Tapi terkadang anak selalu tak tau diri. Setiap anak yang cinta pada orang tua ketika ditanya tentang pengorbanan orang tua, pasti dia tidak akan mampu berkata-kata dan air mata selalu menjadi jawaban cintanya. Sayid sungguh lelaki yang sangat tega. Sebegitu kuatkah racun cinta terhadap lawan jenis memalingkan hatinya dari kebenaran.

"Umi adalah perempuan hebat yang Allah uji seberat ini, karena Dia sangat mencintaimu." Amir mencium tangan umi Aisyah lembut.
Mata umi makin meleleh. Sungguh ini kelembutan seorang anak laki-laki yang selalu didamba para orang tua ketika anaknya sudah beranjak dewasa. Cintanya, perhatiannya begitu besar dibanding anak yang lahir dari rahimnya. Dia tidak pernah mau orang tuanya terluka. Dan dia yang paling marah pada Sayid ketika laki-laki itu menyakiti  hati ibunya.
Amir mengusap air mata ibunya dengan penuh sayang. Hatinya merasa sakit melihat ibunya menangis.
" Nak, jangan pernah kamu meninggalkan umi, setelah kehilangan Sayid, Umi tidak ingin kehilangan anak umi lagi."
Dada Amir terasa sesak mendengar permintaan wanita yang sudah memberinya banyak cinta.
"Tidak akan umi, Amir akan menemani dan menjaga umi sampai maut memisahkan kita. Seorang anak laki-laki adalah milik Ibunya. Maka apapun yang Amir lakukan semua harus mendapat restu umi." ujar Amir dengan mata berkaca.
Ya Allah….mungkin engkau mengujiku dengan cobaan yang begitu berat. Tapi, engkau masih memberikan aku anak laki-laki yang jauh lebih baik,batin Umi Aisyah.
 ***

Pesantren Al-Mujahid yang terlihat megah dari luar masih ramai dengan segala aktivitasnya. Meskipun anak sang pemilik pesantren telah mencoreng noda yang begitu besar tapi tak menyurutkan aktivitas dakwah didalamnya. Kepercayaan mayarakat pun belum memudar. Karena masyarakat bisa menilai dengan objektif. Bahwa keimanan tidak bisa diwariskan dari seorang ayah yang bertakwa. Bahkan  Rasulullah dalam hadistnya mengatakan, bahwa diakhir zaman umat islam banyak yang beriman dipagi hari dan pada sore harinya kaffir. Dan seorang Abdullah bin Qosimi ulama sekelas Ibnu Taimiyah yang lahir Arab Saudi bisa meninggal dalam keadaan Atheis.
Keistiqhomahan manusia dalam memegang Dien-Nya tak pernah ada yang tau sampai kapan? Sulit diprediksi. Maka yang harus senantiasa diminta pada Allah terus ditetapkan dalam menggenggam agamanya. Seorang anak manusia ketika keluar dari sebuah jama'ah berjalan dalam kesendirian maka terputuslah kebaiakan dan dia seperti domba yang tersesat siap dimangsa para srigala lapar.
Di pesantren putri tampak kegalaun menerpa Aqilah.  Semenjak Sayid lebih memilih perempuan Eropa, wajah gadis cantik itu mendadak sendu. Pernikahannya terancam dibatalkan. Rasanya begitu berat menerima ujian ini. Dulu mereka dijodohkan oleh abinya Sayid sebelum laki-laki itu pergi melanjutkan magisternya. Dan keluarga mereka sepakat sepulang Sayid menyelesaikan pendidikannya maka pernikahan akan dilangsungkan.
Sudah lama Aqilah mengagumi Sayid. Sosok lelaki ideal yang diimpikan setiap perempuan untuk menjadi imam dalam hidupnya. Diam-diam dia selalu menyebutkan satu nama tersebut dalam untaian doanya. Tapi kini, semua yang diharapkan luluh lantak. Jika Sayid tidak mau menikahinya karena memilih gadis yang lebih baik,  masih seakidah, mungkin ia masih bisa mentolerir meski rasanya sama akan menyakitkan. Ketika Sayid memilih menggadaikan akidahnya hanya untuk perempuan lain dengan menyakiti keluarganya terlalu dalam, ini jauh lebih menyakitkan.
" Allah pasti punya rencana terindah untukmu Teh, meski Kang Sayid meninggalkan teteh." ujar Syaira lembut menghapus kegalauan seseorang yang sudah dianggap kakak dalam hidupnya."
Aqilah berusaha tersenyum meskipun kaku. Semua orang menasehatinya untuk bersabar. Sabar itu hanya mudah diucapkan oleh orang yang tidak merasakan, tapi coba berada diposisi yang sama, rasanya itu nggak semudah yang diucapkan.
"Makasih, dek. Teteh nggak tau harus bersedih atau bersyukur dengan kejadian ini. Sedih mungkin karena pernikahan terancam batal, dan bersyukur karena ternyata laki-laki itu bukan yang terbaik buat teteh. Tapi sudahlah nggak usah dibahas lagi." ujar Aqilah berusaha tegar, dan hari ini ia segera bersiap untuk ke kampus menjadi Asisten dosen adalah pekerjaan yang sedang dijalani satu tahun terakhir ini.
Syairapun ikut bersiap untuk pergi ke kampus yang sama dengan Aqilah. Bedanya dia masih bersetatus sebagai mahasiswi.
Keduanyapun berangkat dalam diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. []






0 Comments:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini