Ketika orang tua tidak mampu menjadi panutan dalam kelurga, tidak mampu menjadi tempat untuk menanamkan ketakwaan pada putra dan putrinya, maka akhirnya mengalami dekadansi moral. Karena pilar keluarga sudah tidak berfungsi lagi. Rapuh dan keropos seperti dimakan rayap. Hal yang wajar jika generasi saat ini rapuh, lebay, cengeng dan manja.
Peran keluarga yang tidak totalitas dalam mendidik anak, menyebabkan anak-anak rusak dan lari pada pergaulan bebas seperti contoh gambar dibawah ini:
Dan ini semuanya akibat lemahnya ilmu yang dimiliki oleh keluarga tentang agama dan minimnya ilmu pengasuhan. Mereka menjadi orang tua yang serba nanggung, pernikahan terjadi hanya bermodal cinta, sehingga mereka belum benar-benar siap menjadi orang tua.
Harusnya memang Negara hadir mempersiapkan keluarga yang siap membangun generasi rabbani dengan menghadirkan pendidikan pra nikah terlebih dahulu, sebelum jadi orang tua. Dan bisa juga menyediakan kelas menjadi orang tua muslim yang berkualitas. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa hebatnya sebuah generasi bangsa, itu semua berawal dari hebatnya institusi keluarga. Tapi berharap pada Negara demokrasi sangat tidak mungkin, dimana negara ikut andil berperan merusaknya, dengan ikut mendukung para indusrti kapitalis yang ikut berperan menghancurkan keluarga dan generasinya.
Orang tua saat ini pun sangat disibukan oleh kehidupan matrealistik. Para ibu didorong untuk menjadi wanita karier dengan banyak menghabiskan waktunya dalam lingkup ruang kerja, hanya untuk pemenuhan materi semata dan juga mengejar kesetaraan gender. Waktu yang tersisa dirumah adalah kelelahan. Hingga fungsi ibu yang seharusnya mencetak generasi madani, tergadai oleh pesona lembaran materi. Jikapun Ibu ada dirumah fungsinya kurang greget, karena menjadi ibu hanya secara kebetulan saja, mengalir seperti air. Tanpa pernah mempersiapkan atau mencari ilmu untuk menjadi madrasah utama bagi anak-anaknya. Lebih miris kalau ibu hanya memposisikan dirinya sebagai pelayan anak-anak dan suaminya saja. Ibu adalah seorang yang memiliki multi peran, namun peran terbaik adalah mencetak generasi yang berkualitas dalam segala hal.
Begitu juga peran ayah masa kini sangat pincang. Kehilangan ayah pada diri anak-anak dampaknya sangat luar biasa. Banyak para ayah yang belum benar-benar siap untuk menjadi ayah, sehingga mereka tidak memiliki kedekatan dengan anak-anaknya secara emosi. Tuntutan ekonomi juga menjadi pengaruh besar, kurangnya ayah memiliki waktu untuk membersamai anak-anaknya, menyebabkan banyak ayah menjadi ayah yang kaku. Baginya peran ayah hanya cukup di pemenuhan mencari materi, sedang tugas mendidik diserahkan semuanya ke pada Ibu.
Anak yang kekurangan kasih sayang ayah biasanya akan memiliki kenderungan memiliki kepercayaan diri yang sangat rendah, memiliki masalah kedekatan dengan orang lain karena memiliki kepribadian yang posesif sehingga susah untuk dekat dengan orang lain. Untuk anak perempuan yang tidk memiliki peran ayah, dia akan cenderung mencari sosok ayah idaman lewat pasangannya yang lebih dewasa, untuk menggantikan peran ayah yang hilang. Maka cap pelakor pun menempel pada diri si anak. Sedangkan untuk anak laki-laki akan memiliki kecendrungan mengalami disorientasi seksual. Maka peran ayah wajib sekali hadir dalam tumbuh kembang anak.
Sesibuk apapun ayah seharusnya punya peran penting untuk memberi pengaruh kuat bagi anak-anaknya. Senantiasa mengajak bicara dari hati ke hati. Memiliki “quality time’ bersama anak-anaknya. Dan selalu mendukung serta memotivasi mereka tanpa kenal lelah. Sehingga anak tak akan pernah mencari sosok pahlawan lain diluaran sana, yang akan menjerumuskannya pada pergaulan yang salah. Karena ayah, sudah cukup menjadi hero untuk mereka.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali kisah yang sangat menonjolkan peran keayahan. Peran para nabi dalam mendidik anak, adalah contoh yang patut untuk kita tiru.
Rasulullah adalah sosok ayah terbaik bagi putra-putrinya. Disaat anak-anak perempuan di Arab tak dihargai keberadaannya, akibat budaya jahiliyah yang senantiasa mengubur anak perempuan hidup-hidup. Justru Rasulullah menunjukan kepada masyarakat yang masih kuat dengan adat jahiliyah dengan menggendong Fatimah dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Begitupun kecintaan beliau terhadap anak-anak tidak dapat diragukan. Senantiasa mengajak anak-anak bermain dengan mengajak balap lari, bercanda. Dan beliau adalah sosok yang paling sabar dihadapan anak-anak.
Nabi Ibrahin juga merupakan sosok ayah yang patut kita tiru dalam mendidik anak, beliau adalah ayah yang cukup sukses. Kedua anaknya menjadi nabi dan kedua istrinya bisa menjadi istri yang sholeha. Nabi Ismail yang jarang sekali bertemu dengan ayahnya, karena jarak Mesir dan Mekah yang cukup jauh, tapi tidak membuat Nabi Ismail kehilangan figure Ayah. Al-Qur’an mengkisahkan bagaimana kesalehan Ismail yang tunduk patuh pada permintaan ayahnya,hanya karena sebuah mimpi yang mengharuskan sang ayah menyembelih putra yang sangat dicintainya. Dan Nabi Ismail yakin itu semua perintah dari Allah SWT. Dan ini adalah bukti bahwa seorang ayah berhasil mendidik anak menjadi seorang yang bertakwa.
Keberhasilan nabi Yakub dalam mendidik nabi Yusuf juga sangat luar biasa. Dia mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Nabi Yakub sangat tahu anaknya akan menjadi orang besar berkat mimpi nabi Yusuf tentang 11 Bintang dan Matahari yang bersujud kepadanya, tetapi justru beliau tidak memanjakannya. Bahkan disaat Nabi Yusuf diceburkan kedalam sumur oleh saudara-saudaranya yang iri, Nabi Yakub tidak membabi buta memarahi anak-anaknya. Dia membiarkan kejadian itu mengalir apa-adanya. Meskipun hatinya sangat yakin sang anak belum meninggal, tapi apa yang menimpa sang anak dengan di buang kesumur, dijual, di fitnah dan dipenjara. Itulah yang mendewasakan Yusuf, hingga akhirnya Nabi Yusuf As menjadi seorang pembesar di Mesir.
Dari kisah diatas banyak keteladan yang patut kita tiru dalam pendidikan anak. Para Nabi adalah contoh terbaik dalam mendidik anak, agar para orang tua mampu menjadi suri tauladan yang baik, yang dimana orang tua muslim saat ini mengalami krisis keteladanan. Sehingga anak kehilangan sosok yang mampu untuk dijadikan figur. Dan sejatinya kerusakan anak berawal dari rumah. Tidak mampunya orang tua membimbing dan menanamkan keimanan pada diri anak menjadi individu yang bertakwa, menyebabkan sang anak susah dikendalikan, hingga akhirnya terjebak pergaulan bebas.
Nasehat Ali bin Abi Thalib : “Didiklah anak-anakmu 25 tahun sebelum lahir.” Itu artinya pendidikan menjadi orang tua harus dipersiapkan sedini mungkin baik oleh calon ayah ataupun calon ibu. Maka ketika memasuki fase menjadi orang tua sudah benar-benar siap menyiapkan anak-anak yang berbudi luhur dengan adabnya, dan kuat menggenggam keimanannya.
Dalam ilmu biologi pewarisan sifat sangat tergantung pada DNA yang diwariskan oleh orang tuanya. Ibu mewariskan sel DNA inti dan DNA mitokondria sementara sang ayah hanya mewarisi sel intinya saja. Penggabungan sel DNA ayah dan ibu ini yang nantinya akan diwariskan pada anaknya. Buah tidak akan pernah jatuh dari pohonnya. Karena itu sudah kewajiban orang tua atau calon orang tua mendidik dirinya dengan hal-hal kebaikan, agar kelak sikap sang anak mewarisi sikap baik kedua orang tuanya.
Keluarga diibaratkan sebuah bangunan. Untuk menjadi utuh harus saling menguatkan. Antara ayah dan ibu harus saling bekerjasama. Keluarga yang taat pada Rabb Nya, tentu akan mampu melahirkan anak-anak yang memiliki berkepribadian islam. Senantiasa menanamkan nilai-nilai tauhid pada anak,-anaknya. Dan dari keluarga-keluarga seperi inilah, peradaban islam akan kembali bersinar terang. []
0 Comments:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini