Uh,hari ini sebenarnya Icha males
banget pergi ke sekolah barunya. Hari ini adalah hari ketiga Icha ikutan
tradisi ospek yang bikin dia sebel setengah mati harus ngadepin kakak-kakak
senior yang jual tampang menyebalkan dan sok aksi. Banyak aturan yang di
terapkan mereka dan di suruh membawa barang yang aneh-aneh bikin kantong cekak
lagi. Kalau tahu gini mending ngulang lagi ke SMP tapi ia pasti akan di ledek
habis-habisan jadi siswa abadi berbaju biru.
Hari ini Icha di suruh kakak
seniornya membawa pulau Ikan maksudnya peyek ikan, bawa biji kacang ijo seratus
biji ,korek api cap Mak lampir dan pisang raja kembar siam dll. Bikin icha bete
asli kayaknya lebih asik lagi ngulang ke TK. Dua hari kemarin ia paling getol
banget kena hukuman karena bawaanya nggak pernah lengkap dan ia juga paling
sering banget melawan kakak senior. Kalau bisa Icha pengen ngajuin ke
Departemen Pendidikan kalau teradisi kayak ginian itu di hapus aja, nggak
mendidik. Ganti saja dengan yang lebih elit serta mendidik.
Kali ini Icha datang kesiangan sampai
di sekolah,karena tadi Icha harus mengerjakan pekerjaan rumah dulu. Selama mama
masuk rumah sakit karena kecapekan kerja, semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakan.
“Hai Kaca mata kenapa kamu datang
kesiangan? Nggak tau aturan sekolah !” bentak Kak Yuda senior kelas dua.
Orangnya sih ganteng tapi sok galaknya bikin amit-amit.
“Aku datang kesiangan karena bantu
orang tua dulu di rumah. Memasak,mencuci, sebangai anak yang baikkan wajib mementingkan perintah. . .”
“Heh kamu ini Yunior! Jadi selama
ospek ini kamu harus mematuhi perintah Senior,” bentak kak Yuda bikin Icha
gondok.
“Kak,sekarang ini sudah Zaman Demokrasi. Jadi teradisi Premanisme kayak begini
udah nggak laku !” jawab Icha kesel
“Eh,kamu ini mau jadi sok pahlawan !”
bentak Mbak Ita yang setali tiga uang
soal galaknya.
Jadi sok pahlawan lebih baik dari
pada sok premanisme, batin Icha. Kali
ini ia nggak berani ngomong langsung takut senior didepannya meledak kayak bom.
“Sekarang hukuman buat keterlambatan
kamu adalah merayu Kak Yuda dengan bahasa yang puitis!” suruh Mbak Ita bikin
Icha sebel.
“Kalau saya nggak mau.” Jawab Icha
cuek.
“Eh, kamu itu kalau disuruh senior
nurut !” bentak Mbak Ita lagi .
“Maaf saja deh Mbak, saya ini
orangnya nggak biasa begitu saja patuh
pada orang lain. Apalangi kalau alasannya nggak ilmiah kaya gini.” Ujarnya
tanpa takut.
“Heh kamu ini benar-benar pembangkang ya? !” Mbak Ita mulai
kesal dengan yuniornya yang bandel.
“Dan Kakak-kakak yang merasa senior
ini tidak lebih sebagai Tirani !” balik Icha
tanpa takut sedikitpun. Baginya
perbuatan kayak bengini harus dilawan. Jika dibiarkan begitu saja berarti ikut berpartisipasi menyuburkan
bibit-bibit premanisme tumbuh subur di negri ini. Tidak salah kalau negri ini tiap priodenya menghasilkan pemimpin-pemimpin pengecut.
Kak Yuda juga ikutan kesal, baru kali
ini ia nemuin siswa baru yang nggak
mempan di bentak-bentak.
“Sekarang kamu lari saja keliling
lapangan sepuluh putaran. Setelah itu segera gabung dengan kelompokmu.!” Suruh
Kak Yuda dengan paras tetap galak .
Untuk saat ini Icha terpaksa nurut.
Baginya mendingan keliling lapangan dari pada harus merayu Kak Yuda. N’tar dia
malah kegeeran lagi.
“Gila lu Cha, senior aja dilawan mana
keren lagi. Kalau gue mending disuruh merayu aja. “ bisik Tita.
“Bisa-sisa dia kegeeran kalau gue
merayunya. Lagian gue nggak punya banget
tampang merayu.” Jawabnya cuek.
“Emang dari sejak lahir gue udah
cakep. Marsanda aja kalah sama gue.” Ujarnya pede. Tapi Icha emang cakep kok,
apalagi kalau dia bisa lembut dikit.
“Ge-er banget lu !” Ledek Tita. “
Tapi ngomong-ngomong lu nggak jera tiap hari di hukum kakak senior.
‘Nggak lah, gue kan habis SMU mau
masuk Hukum, jadi kudu dari sekarang melatih diri berjiwa baja dalam menentang
ketidak adilan. Tapi lu juga harus tau setelah
gue pake baju putih abu-abu gue punya rencana untuk melakukan sesuatu.”
“Rencana apa Cha?”Tita jadi
penasaran.
“Bikin balasan ngerjain itu senior.”
Jawabnya kalem.
“Jadi ceritanya mau bales dendam?”
Icha mengangkat bahu acuh dan matanya
mulai fokus kedepan memperhatikan Dimas
yang disuruh kedepan untuk menyanyikan lagu pelangi tapi harus dinyayikan
dengan menggunakan akhiran hurup O
“Polongo-polongo… olokoh ondoh
mo. Moroh konong hojou do longot yong boro. Polokosomo Ogong… siopo gorongon . . .” ujarnya dengan
mimik lucu bikin suasana riuh
tergelak-gelak saat mendengarkan lagu
yang dinyayikan Dimas. Saat jam istirahat tiba, lepas sesaat dari suasana yang
bikin Icha bete gadis itu segera menggambungkan diri dengan teman-teman
cowoknya sambil buka bekal yang dibawa dari rumah.
“Gila banget tuh nenek sihir , tiap
hari dia pasti menghukum gue.” Keluh Dimas cowok yang bertampang Melayu.
“Sama gue aja bete ngadepin acara
kayak gini. Kalau ditambah lagi sampai
sebulan acara MOS-nya, gue acak-acakan deh sekalian muka para senior yang sok
aksi itu !” timpal Icha gemas.
“Kalau gitu kita harus bikin
balesan.” Ujar Dimas.
“Emang gue juga mau bikin
pembalasan.” Jawab Icha.
“Kalau gitu siiip deh.” Dimas
mengangkat tangan kanannya dan begitupun dengan Icha mereka akan kompakan buat
bikin pembalasan.
Akhirnya hari-hari yang bikin bete
itu lewat juga. Hari ini Icha sudah boleh pake baju abu-abu, serasa ia jadi
lebih dewasa sekarang. Pagi-pagi Icha sudah menclek di sekolah barunya nyaingin
satpam. Itu karena ada sesuatu yang mau dikerjakannya buat ngusilin pangeran
kodok yang ngerasa sudah jadi senior.
Sampai di sekolah Icha nggak
buru-buru masuk kekelasnya, tapi ia mejeng dulu didepan gerbang nunggu pangeran
kodok itu datang sambil baca koran baru. Pangeran kodok yang ditunggunya datang
juga setalah ditunggu hampir sepuluh menit. Icha menunggu sampai sasaranya
lewat lebih dulu setelah lewat ia segera melipat koranya lalu menyusulnya
dengan langkah tergesa. Akhirnya mereka tabrakan hingga buku Yuda berceceran.
“Eh,kamu tuh kalau jalan lihat-lihat
dong! Pakai kaca mata tapi jalan serudukan !” semprot Yuda kesal.
“Huh segitu aja sewot. Pasti belum
sarapan !” balas Icha tak kalah galak.
“Eh, kaca mata , kamu tuh jagan sok
jadi murid baru deh! Baru pakai seragam baru aja sudah sok aksi !”
“Disitu tuh yang jangan sok jadi
murid lama, hingga pakai semena-mena memperlakukan orang lain ! “ sengit Icha.
“Dengar ya kaca mata,aku tuh
sebenarnya males baget ngeladenin kamu dipagi yang cerah ini . Hanya bikin . .
.”
“ Apalagi aku , males banget melihat orang marah-marah, cuma ngerusak pagi
yang indah saja ! “ potong Icha setelah
berbicara ia langsung tancap gas berlari menuju kelasnya.
“ Gimana Cha sudah berhasil belum ?”
tanya Dimas setelah sampai dikelas .
“Baru pemanasan lu sendiri? “
“Sudah.” Jawab Dimas tanpa
menjelaskan aksi balas dendamnya.
“ Cha itu senior bagian lu masuk
kemari.” Ujar Dimas ribut .
“Tenang aja, paling dia mau jual
tampang gorilanya.” Sinis Icha.
“Selamat siang adik-adik. Maaf ya
kakak mengganggu sebentar. Siapa dari kelas ini yang mau ikutan Eskul pramuka?”
tanya Yuda dengan penuh wibawa.
“Nggaaaak. . .!’ jawab Icha kenceng
dibales tawa temen sekelasnya.
“Eh temen-temen ku yang ada dikelas ini,
kalian nggak boleh ikutan itu Eskul. Anak Pramuka itu jarang mandi,nggak sehat.
Gaya aja yang diduluin. Mendingan ikutan Rohis aja bareng aku. Kakak pembinanya
pada keren dan cantik sudah begitu
mereka pada lembut-lembut. Dijamin kalian nggak bakalan sakit hati
dibentak-bentak!” orasi Icha mempengaruhi teman sekelasnya bikin Yuda kesel
sama si kaca mata yang punya nama lengkap Raisya Adwzar.
Yuda berusaha untuk tampil tenang
didepan adik-adik kelasnya meskipun kesal setengah mati pada si kaca mata itu.
“Lu keterlaluan banget si Cha !’
protes Tita pada teman sebangkunya.
“Alah lu jangan sok bela dia deh !
Bagi gue orang kaya dia itu harus ditega-tegain. Kalau nggak dia bisa lebih
tega ! Sok jadi senior.” Ujar Icha sinis. Kayaknya Icha masih dendam baget sama
senior itu.
“Waktu itukan lagi Ospek dan acara
seperti udah tradisi.”
“Eh, Tita, denger ya, tradisi itu
bukan Tuhan jadi untuk apa melestarikan tradisi yang nggak mendidik gitu kalau
cuma nambah dosa aja! Gue lebih simpati sama anak rohis yang nggak banyak
ikutan aksi kayak gini. Kalau bisa tahun depan gue yang harus jadi osis di
sini, biar nggak ada lagi tradisi ospek yang kejam kayak gini.” Terang Icha
yang masih dendam dengan acara MOS kemarin.
“Jadi siapa di sini yang mau ikut
Eskul Pramuka?” tanya Kak yuda lagi.
Ternyata yang mengacungkan tangannya
cuma lima orang dari tiga puluh lima siswa. Yang lainnya memilih Rohis, Teater,
Band, PMR dan LKIR. Ich atersenyum menang melihat Kak Yuda keluar kelas dengan
tampang tidak segagah waktu pertama masuk. Makanya jangan main-main dengan
Raisya Adzwar, batin gadis itu.
Kali ini Icha kembali ngerjain
seniornya.
“Eh, itu uang siapa jatuh?” ujar Icha
ketika Yuda lewat di depan kelasnya. Yuda langsung melirik ke bawah.
“Hahaha…kena juga senior Pramuka di
kerjain Yunior,” ujar Icha sambil tergelak-gelak. Wajah Yuda langsung memerah
malu di liatin anal-anak kelas satu.
Sampai di kelasnya Yuda langsung
uring-uringan.
“Kenapa Yud, mukamu kusut banget pagi
ini?” tanya Faris perhatian.
“Hrggh… gue di kerjain lagi sama si
kaca mata itu, mana di depan umum lagi. Heran banget deh gue sama itu cewek,
tiap hari dia pasti ngerjain gue.”
“Habis sih kamu waktu MOS kemarin
kejam banget sama dia, jadinya tuh anak bales dendam.”
“Iya sih. Tapi dia sendiri yang
selalu bikin perkara dan gue nggak nyangka kalau dia bakal balas dendam. Eh,
kalau nggak salah dia itukan ikutan Rohis. Apakah dia menyebalkan juga?” Yuda
jadi penasaran pingin tahu sikap Icha saat di Rohis dan kebetulan Icha gabung
disana.
“Nggak tuh. Tapi anak satu itu
lumayan kritis. Dia yang paling banyak nanya, kayaknya dia cocock banget kalau
jadi kritikus.”
“Emang mungkin dia masih keturunan
tikus,” sinis Yuda.
“Sudah deh Yud, nggak usah di
pikirkan. Aku yakin bentar lagi dia jadi putri yang lembut. Apalagi kalau sudah
di kerudungin, di jamin kamu naksir dia mati-matian. Wajah dia kan lumayan
juga, kembarannya Zhang Ziyi,” komentar Faris.
“Gue dari pada naksir si kaca mata
mendingan sama temannya aja yang manis itu.” Kata Yuda. Lagian dia males naksir
anak kritis gitu entar malah ketularan kritis lagi. Meskipun pada awalnya Yuda
sempat terhipnotis melihat kembaran Zhang Ziyi itu. Rambutnya yang di kepang
dua, pakai kaca mata bikin tambah simpatik bagi yang melihat. Ternyata gadis
itu sangat menyebalkan di matanya.
“Bener kamu nggak naksir?” selidik
Faris.
“Yee, ngapain sih lu nanyain soal itu
segala? Jangan-jangan lo lagi yang naksir dia!” ketus Yuda.
“Hussh…aku sih mikir seribu kali
kalau harus naksir. Takut terlena dan kebablasan yang terjadi malah menabung
dosa. Nggak ada anggaran lagi buat naksir anak orang saat ini. Tapi kalau buat
di jadikan wife, boleh juga,” ujar Faris sambil nyengir.
“Sekalian lo lamar aja dari
sekarang,” saran Yuda.
“Nggak ah. Kalau ngelamar sekarang,
bisa-bisa aku nggak bakalan bisa meraih
cita-cita yang sedang aku arrange. Tapi kalau sudah dapat titel dokter boleh
juga,”
“Entar malah di ambil orang lagi,”
ujar Yuda.
Faris
mengangkat bahu. Dia lebih tertarik membaca buku biologi karena
pelajaran pertama akan segera di mulai.
Siuuuttt…geblug!!! Yuda terjatuh di
depan cewek-cewek manis karena dia secara tidak sengaja telah menginjak kulit
pisang yang emang sengaja di buang Icha buat ngerjain mangsanya.
“Ha…ha…ha…” Icha tertawa tertawa
tergelak-gelak di barengi temannya yang lain. Anak itu benar-benar jail banget
kalau sudah ngerjain orang.
Wajah Yuda langsung berubah seperti
kepiting rebus. Kalau tidak malu di tonton adik kelasnya, ingin saja ia
mencakar wajah gadis innocent itu.
“Makanya kalau jalan itu lihat-lihat
ke bawah. Jangan terlalu angkuh kalau jadi senior. Jatuh baru tahu rasa!”
ledeknya bikin Yuda tambah panas. Tapi cowok itu berusaha bersikap tenang demi
menjaga wibawa di depan adik kelas. Setelah bangkit, Yuda berlalu begitu saja.
“Cha, lo tuh kejam banget sama kak Yuda. Dia itu kan kakak kelas kita,
wajib untuk di hormati. Bukan ngerjainnya habis-habisan.”
“Biarin! Biar dia tahu rasa di
kerjain Yunior. Supaya nggak sok kecakepan.”
“Lo gimana sih, Cha. Katanya anak
Rohis tapi kelakuanmu nggak mencerminkan anak Rohis yang lembut, santun dan
alim.” Tegur Mitha.
“Lo jangan sok nasehatin gue deh!
Emangnya setiap anak Rohis itu harus sempurna kayak nabi? Ya nggaklah. Semuanya
jugakan butuh proses. Apalagi gue masih new comig, jadi nggak bisa jreng
lembut. Paham!”
“Cha, dendam itu kan nggak boleh.
Jadi untuk apa kamu terus-terusan menyimpan dendam pada kak Yuda dengan cara
mengusilinnya.”
“Sudah…sudah, lo ini cerewet banget
sih? Jangan-jangan lo naksir dia lagi!” sewot Icha galak membuat Tita langsung
diam.
Di kelas dua jurusan IPA, Faris sibuk
nasehatin Yuda yang pingin bales dendam pada Raisya Adzwar yang sudah banyak
ngusilin dirinya.
“Sudah Yud, nggak usah di jadikan
beban soal kejadian barusan. Nanti juga dia bakal berhenti dengan sendirinya.
Kalau kamu mau bikin pembalasan yang lebih kejam, itu malah akan bikin wibawamu
hancur di depan adik kelas. Ssebagai orang yang punya jiwa leader kamu tuh harus ksatria.”
“Tapi gue sudah banyak di
permalukan oleh itu cewek,” Yuda terlihat masih kesal dengan kejadian yang
menimpanya.
“Setiap orang juga pasti begitu jika
di perlakukan kurang ajar oleh orang lain. Kita pasti pingin bikin pembalasan
yang setimpal. Tapi kita jangan terburu dibakar oleh nafsu. Berjiwa sabarlah,
karena sabar adalah permatanya iman.” Nasehat Faris bijak.
“Thanks Ris atas nasehatnya.” Ujar
Yuda yang sudah bisa meredam emosinya karena di nasehatin Faris. Sebenarnya
Yuda kagum sama Faris yang bisa lebih sabar, perhatian dan sangat bertanggung jawab.
Pulang sekolah Icha bermaksud mau
menyebrang karena Bus yang di tungunya sudah datang. Dia tidak melihat sebuah motor melaju kencang
dari sampingnya.
“Icha awaaas!” teriak Tita
mengingatkan tapi terlambat tubuh Icha tertabrak motor sedang pengemudi motor
tersebut langsung kabur melarikan diri. Serempak teman-temannya segera menolong
termasuk Yuda ikut menolong dan segera membawa gadis itu ke rumah sakit. Icha
pingsan waktu di perjalanan menuju rumah sakit karena banyak darah yang di
keluarkan dari kepalanya.
Icha baru sadar dari pingsannya
setelah lima jam ia tak sadarkan diri. Alhamdulillah nyawanya masih bisa di
selamatkan berkat kemurahan Tuhan dan kebaikan seseorang yang rela
menyumbangkan darahnya untuk di donorkan. Kebetulan golongan darah Icha yang
bergolongan darah O sama dengan si pendonnor.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar
sayang,” ujar mama bahagia melihat putrinya sudah mulai sadar. Mama Icha yang
saat itu masih di kantor langsung segera pergi kerumah sakit ketika di kabari
putrinya kecelakaan.
“Icha kenapa ada di sini Ma?”
“Kamu kan kecelakaan Cha, saat mau
nyebrang waktu pulang sekolah itu,” jelas Mama yang dapat kabar dari Tita,
“Untung nyawamu masih bisa di selamatkan Cha. Karena temanmu ada yang bersedia
mendonorkan darahnya. Padahal Mama tadi sudah bingung banget mencari pendonor.
Di keluarga kita yang golongan darahnya sama dengan kamu cuma Papa kamu yang
kini entah dimana,” tambah wanita itu dengan raut muka tiba-tiba sedih jika
mengingat suaminya yang tidak bertanggung jawab hingga ia harus sendirian
membesarkan putri tunggalnya.
“Tita kan Ma, yang sudah donorin
darahnya?” tanya Icha penasaran.
“Bukan, tapi dia cowok. Mama lupa
nggak sempat menanyakan namanya. Tapi kita harus berterimakasih pada dia yang
sudah nolongin kamu.”
Icha sibuk menerka siapa temannya
yang sudah rela mendonorkan darahnya itu. Mungkin Dimas, pikirnya.
Besoknya Tita datang di temani Dimas
dan Kak Yuda. Lho kok dia juga ikut. Icha kelihatan kaget melihat mahluk yang
kerap di usilinya ada di sini.
“Nah Icha, nak ini yang sudah
menonorkan darahnya pada kamu sehingga nyawamu bisa tertolong. Trimakasih ya
nak, atas jasa baikmu.” Kata Mama lembut mengucapkan trimakasih pada Yuda. Sedang
Yuda cuma tersenyum samabil mengangguk sopan.
Icha terkejut demi mengetahui orang
yang sudah berjasa atas kehidupannya. Ternyata Kak Yuda yang selama ini sering
dia kerjai habis-habisan karena kebenciannya waktu MOS saat dia di
bentak-bentak senior.
“Kak yuda, makasih banget ya, sudah
mau nolongin Icha. Dan Icha juga minta maaf atas semua perlakuan yang telah
Icha lakukan pada kakak,” ujarnya dengan suara masih lemah.
“Kakak pasti maafin. Dan kamu cepat
sembuh ya, sekolah jadi sepi jika nggak ada kamu,” kata Yuda tulus.
Icha cuma bisa tersenyum. Sungguh dia
rindu akan sekolah. Mungkin butuh waktu yang cukup untuk kembali sekolah. [ selesai ]