Kenapa harus memilih bertugas ditempat terpencil Al?” Bapak menatapku seperti tidak setuju akan keputusanku untuk mengabdikan diri mengajar di daerah terpencil saat kuperlihatkan SK tugasku.
Aku menarik nafas. Pasti akan terasa berat bagi bapak melepasku, seberat bapak dulu melarangku untuk kuliah di Fakultas keguruan,karena harus mengikuti jejaknya seperti bapak sebagai akuntan dan ibu sebagai dokter gigi. Terbayang kembali perdebatanku dengan bapak lima tahun yang lalu dan aku harus bertarung memenangkan idealismeku.
“Kenapa harus masuk fakultas keguruan Al? Kamu dengan prestasimu,bisa memilih masuk jurusan-jurusan berkualitas. Bisa masuk hukum, kedokteran, tehnik atau psikologi dan bapak mampu membiayai kamu.”
“Karena negara sedang membutuhkan guru-guru yang berdedikasi dan berkualitas Pak. Yang menjadikan pengabdian bukan sebagai pelarian karena sulitnya mencari pekerjaan dan mencari kenyamanan mengejar PNS.
Tapi menjadi guru benar-benar panggilan jiwa untuk mempersiapkan generasi yng cerdas dan berkualitas. Bapak tahu kenapa Jepang bisa menjadi bangsa yang maju di segala bidang, padahal kemerdekaan kita dan kehancuran negri mereka, saat Nagasaki dan Hirosima di bom atom tidak jauh berbeda.
Jepang dalam 65 tahun sudah jauh meninggalkan kita, mereka mampu menjadi negara macan Asia, sedang kita masih tetap jadi negara ketiga dengan segala kebobrokan yang ada. Bapak tentu tahu apa rahasia kemajuan mereka? Karena pemerintah Jepang tahu arti penting seorang pendidik yang bakal melahirkan puluhan,ratusan bahkan ribuan generasi yang berkualitas. Maka tak heran saat kekalahan Jepang pada sekutu, yang ditanyakan sang kaisar bukan berapa jumlah perajurit yang terbunuh ,tapi berapa jumlah guru yang tersisa. Begitupun negara tetangga Malaysia, mereka sudah jauh kemajuannnya di banding kita karena negara sangat memfasilitasi dan mensejahterakan kehidupan gurunya.” Jelasku panjang lebar membuat bapak tidak banyak berkomentar dan meluluskan permintaanku.
“Jika itu memang idealisme mu, kejarlah. Bapak bangga pada kamu Al, yang memiliki cita-cita mulia ingin mempersiapkan generasi yang berkualitas. Bangsa ini sedang sakit parah, termasuk di bidang pendidikanpun sistemnya sudah rusak. Harus ada pembaharu yang berani mendobrak dengan terus menyemai bibit-bibit berkualitas yang nantinya menghasilkan buah yang unggul.”
“Alhamdulillah ya Allah...” laungan syukur membuncah didadaku karena dukungan bapak.
“Tapi kenapa harus di daerah yang sangat jauh, Al? Jika memang kamu ingin mencerdaskan bangsa, kamu bisa mengajar di sini. Kamu bisa memilih untuk mengajar di sekolah-sekolah unggulan, sekolah islam terpadu. Dengan IPK mu yang 3,9 dan pengalaman 2 tahun mengajar bapak yakin kamu bisa di terima, jika kamu melamar ke sekolah- sekolah elit yang ada di kota ini.” Tanya bapak membuyarkan lamunanku,tentang pertarungan idealismeku lima tahun lalu.
Aku menggigit bibir perih melihat realita pendidikan negri ini yang sangat terlihat ketimpangannnya. Pendidikan berkualitas hanya bisa di rasakan oleh kaum the have, sedang orang-orang miskin hanya mendapat pendidikan dengan kualitas yang seadanya. Bagaimana bangsa ini akan maju dan cerdas jika dari segi pendidikan saja sudah banyak ketimpangan? SD-SLTP gratis ,tapi masih banyak orang yang putus sekolah. Apakah ini akibat sistem negara yang menerapkan sekularisme ? Yang melahirkan ekonomi kapitalis di bidang ekonomoi, di mana pemerintah lebih membela kaum pemilik modal. Demokrasi di bidang politik, sosial budaya yang liberal, di bidang sosial dan sistem pendidikan sekuler yang jauh dari nilai agama di bidang pendidikan dan jelas di semua bidang akan melahirkan kebobrokan.
“Kalau aku memilih menjadi guru di sekolah berkualitas, lalu bagaimana dengan pendidikan daerah terpencil Pak? Padahal mereka pun berhak sejajar untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Di sini masih banyak teman-teman lain yang memiliki komitmen sama untuk mencerdaskan bangsa ,sedang aku biarlah mengabdikan diri mencerahkan bangsa di daerah yang masih jauh dari fasilitas modern biar menjadi tantangan bagiku.”
“Tapi kamu adalah anak perempuan bapak satu-satunya, bapak tak tega rasanya melepaskanmu sendirian ke tempat yang bapak sendiri tidak bisa mengawasimu.” Ujar Bapak sedih.
Mataku berkaca atas kekhawatiran bapak. Wajar dia takut kehilangan. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga ini ,dan yang paling dekat dengan Bapak.
“Insya Allah aku akan baik-baik saja Pak, tentunya dengan do’a bapak yang senantiasa di panjatkan pada Allah setiap saat. Hari libur, bapak juga kan bisa sering ke sana bersama ibu untuk menengok ku.”
“Ok lah, kalau itu memang sudah ke inginanmu, bapak tidak bisa melarang. Tidak bijak sebagai seorang ayah menghambat impian putrinya. Bapak bangga padamu tidak memiliki impian yang muluk, tapi di mata bapak cita-citamu sangat mulia.”
Aku mencium tangan bapak sebagai ungkapan rasa terima kasihku dan bapak menarik kepalaku kedadanya, mengelus jilbabku lembut. Kebersamaanku dengan bapak mungkin perlahan akan memudar, akan jarang lagi waktu senggang bersama bapak berdiskusi membahas masalah umat, membahas degradasi negri di mata generasi atau sekedar refreshing jalan-jalan sambil mampir ke warung-warung makan yang ada di pinggir jalan. Ah, bapak kaulah laki-laki idealku yang selalu mengajarkan kepadaku tentang kesederhanaan, keberanian, ketegasan, kepedulian namun tidak menghilangkan sosok kelembutan sebagai wanita yang tetap harus ku miliki.
***
Sekolah pengabdian. Kutatap bangunan yang bakal jadi tempatku mengajar begitu rapuh. Dingding ruangannya lembab di tumbuhi lumut, atapnya banyak yang bolong mungkin kalau hujan besar pasti akan terjadi banjir bandang di sekolah ini, begitupun dengan bangku-bangkunya sudah tak layak untuk di pakai.
Ingin saja ku menangis menatap kenyataan pendidikan di negri yang sudah merdeka, tapi fasilitasnya seperti di negri yang masih terjajah sangat ironis dengan pendidikan yang aku dapatkan saat masih sekolah dasar dulu. Bapak kalau kau ada disini kaupun pasti akan merasakan kesedihan yang sama denganku. Melihat bangunan yang hampir rubuh, melihat generasi-generasi yang lusuh dan kurang gizi akankah ilmu yang ku ajarkan pada mereka bisa terserap dengan baik?
Dulu aku melihat sekolah-sekolah rusak hanya di koran- koran, tapi sekarang di depan mata kepalaku sendiri, wajah- wajah kurang gizipun terpangpang jelas di hadapanku. Ini menandakan pemerintah benar-benar gagal mensejahterakan rakyatnya, dan rakyat terus di bodohi dengan data statistik manipulasi bikinan pemerintah yang menyatakan bahwa kemiskinan terus menurun 13,3% atau 31,9 juta jiwa dengan penghasilan Rp 211,726 perkapita perbulan dengan penghasilan Rp 5500 / hari sementara kebutuhan masyrakat yang termasuk kategori miskin saat ini mencapai 25000-30000/ hari. Perkiraan bank dunia terdapat seratus juta orang miskin yang ada di negri ini, lalu kemana hasil SDA yang melimpah ruah di negri ini larinya? Kekantong swasta dan asing sedang rakyat makan nasi aking dan tiwul.
Kususut air mataku yang semakin meler aku tak boleh cengeng berada di sini. Harus ceria dan tegar seperti anak-anak didiku meski mereka kekurangan gizi hidup dalam kemiskinan, tapi mereka seperti tak punya beban. Mungkin mereka tidak tahu bahwa mereka hidup di negri kaya raya tapi SDA terus menerus di hisap bangsa asing.
Data Walhi 2008 menyebutan 84% migas indonesia di kuasai bangsa asing sedang sisanya yang ke banyakan sumur tua di kuasai pertamina dan anehnya pemerintah malah berencana menjual aset negara yang terbukti sangat sehat dan meguntunggkan negara karena tekanan IMF atas nama privatisasi. Indonesiapun 70% sebagai pengekspor batu bara, pengekspor LNG terbesar di dunia dan mengekspor 500bph minyak. Tapi kenapa listrik sering padam, rakyat antri gas, minyak tanah juga bensin? padahal jika semua energi di gunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyat negri ini tidak perlu impor BBM. Ini menandakan kekayaan negri ini khususnya minyak bumi 90% di kuasai asing.
Kemana APBN buat pendidikan jika bangunan sekolah di negri ini sangat mengkhwatirkan dan kesejahteraan gurunya tidak terperhatikan? Pendidikan guru sudah selayaknya mendapat fasilitas yang memadai biar konsentrasi mereka dalam mendidik tidak terpecah dengan kepentingan urusan dapurnya yang harus tetap berasap, dan keluarganya yang harus tetap sejahtera.
Padahal jika aset negara di kelola dengan baik tak akan ada sekolah rusak, rakyat miskin, anak kurang gizi dsb. Indonesia memiliki 60 ladang minyak dan 38 diantaranya telah di eksplorasi dengan cadangan 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik(TCF) gas. Kapasitas produksi hingga tahun 2000 baru sekitar o,48 miliar barell minyak dan 2,26 triliun TCF menunjukan bahwa kafasitas BBM cukup untuk mencukupi kebutuhan rakyat dan sudah seharusnya pemerintah mampu mensejahterakan rakyatnya dengan Sumber daya alam yang ada di negri ini.
Jika harga minyak Internasional UU$ 125/ barrel dan biaya UU$ 15/ barrel serta impor 200 ribu bph maka pemerintah dengan harga Rp 4500/ liter atau UU$ 77/ barrel untung Indonesia UU$ 49,4 juta perhari atau Rp 165,8 triliun dalam setahun dengan 1 US @= Rp 9.200 tapi kenapa pemerintah bilang rugi Rp 123 triliun sehingga sampai tega mau menghapuskan subsidi BBM yang akan menaikan jumlah rakyat miskin, pengangguran dan tingkat anak putus sekolah.
Ah...aku semakin miris melihat kondisi bangsa yang semakin rancu dan tugasku sekarang adalah mencerdaskan generasi bangsa sedini mungkin biar mereka memiliki sifat nasionalisme yang mengakar dari kecil untuk mencintai negrinya sehingga di besar nanti mereka bisa jadi generasi yang mampu mengusir imprealisme yang bertopeng demokrasi, liberalisasi, yang terus menghisap kekayaan negri ini.
Dengan kekayaan sumberdaya alam yang ada Indonesia harusnya mampu seperti Firlandia yang mampu menciptakan sekolah, kuliah, dan kesehatan geratis bagi rakyatnya hanya dari sumber daya alam dari pengelolaan hutan yang cukup baik.
Bermacam agenda terancang di benaku sebagai seorang guru pertama aku harus mampu menjadi figur buat anak-anak lalu mengiring mereka pada cakrawala pemikiran yang mencerdaskan. Berada di sini sebenarnya sangat betah karena alamnya masih bersahabat begitupun dengan lingkungannya yang belum terkontaminasi virus modernisasi yang meerusak moral generasi, di sini orang-orangnya masih jujur, polos dan lugu. Banyak hal yang bisa kukerjakan, mendirikan taman bacaan, menghidupkan karang taruna, mengajar TPA dan pengajian remaja dsb.
***
Suasana KBM, hening menghias siang ku anak-anak sedang asyik mengerjakan tugas Matematika suasana di luar terlihat gelap karena sinar mentari terhalang pekat awan. Mendung di langit sebentar lagi sepertinya akan turun hujan. Perasaanku mulai di landa gelisah, hujan berarti akan membuat suasana kelas menjadi banjir maka aktivitas mengajarpun akan terhenti. Angin berhembus kencang di luar menyusup aroma dingin dan wingit daun-daun dan ranting saling berderak. Tiba-tiba ada perasaan sedih dan sepi melanda jiwaku. Tiba-tiba tanpa aku duga dingding ruangan retak dan rubuh menimpa murid-murid.
“Awas...!” teriaku tapi reruntuhan dingding itu menimpa salah satu murid sedang yang lain pada lari keluar menyelamatkan diri termasuk aku. Aku tidak sempat menyelamatkan Indra salah satu muridku yang paling cemerlang di sekolah. Air mataku menganak sungai membayangkan saat reruntuhan itu menimpa kepalanya. Wajah kesakitan itu...ya Allah... kenapa bobroknya bangunan ini harus membuat generasi yang tidak tahu apa-apapun harus ikut menderita. Kenapa tidak para koruptor saja yang Engkau hukum. Allah...astagfirullah...kenapa aku menyalahkan takdir Nya?
***
Suasana rumah sakit berkabut duka, nyawa Indra tak mampu di selamatkan terlalu banyak darah yang di keluarkan dari kepalanya. Kulihat ibunya meraung-raung menjerit histeris dan aku terdiam dalam isak tangis terbayang Indra dengan sorot mata yang haus akan ilmu saat aku menerangkan pelajaran bahkan pemikiran anak itu jauh melebihi anak-anak lainnya. Dalam semua pelajaran dia yang paling bersemangat mengajukan pertanyaan dan kini aku kehilangan satu generasi yang satu saat mungkin dia bisa mengubah peradaban negri ini. Tapi hidup ini adalah misteri, tidak ada seorangpun yang tahu tentang kematian seseorang.
Jika sistem pemerintah negri ini tidak rusak yang merembet pada kerusakan sistem pendukung lainnya di segala instansi yang merembet ke masalah fasilitas termasuk fasilitas pendidikan yang dananya di korupsi mungkin tidak akan pernah terjadi yang namanya sekolah runtuh sampai merengut nyawa korban. Siapa yang harus kusalahkan pada kejadian ini, takdirkah? Ah ...aku sungguh lelah karena berteriak lantangpun meminta pendidikan yang merata, kesejahteraan guru, fasilitas pendidikan yang memadai suara-suar a kami tak akan menembus telinga-telinga bisu yang sudah terkontaminasi paham sekuler di mana negarapun mengadopsi sistem sekuler warisan penjajah yang melahirkan ekonomi kapitalisme yang menindas rakyat. Suara rakyat yang bergaung dengan para mahasiswa yang melakukan demontrasi besar-besaran hanya dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu tidak pernah melahirkan kebijakan baru yang pro rakyat jika mampu menumbangkan rezim pun tidak mampu mengganti sistem yang ada padahal pergantian rezim sudah seharusnya di ikuti pergantian sistem yang saat ini memang sudah sangat rusak penuh borok di sana-sini. Tapi anehnya kenapa sistem warisan imprealis masih tetap di pertahankan sampai kini?
***
Dua bulan dari kejadian itu sekolah yang dulu rubuh kini sudah berdiri kembali. Apakah harus menunggu sekolah runtuh dulu dan merengut jiwa-jiwa muda yang haus dengan ilmu baru pemerintah peduli dan turun langsung melihat renovasi sekolah ini. Betapa menyedihkannya hidup di negri ini, sebagai rakyat selalu tertindas.
***
Memapar batas realitas dalam fiksi.
2012